Jumat, 27 Juni 2008

PSK dan Korupsi

Sekedar menilik topik lama yang mungkin hingga kini masih ada yang memperdebatkan, keberadaan kaum Pekerja Seks Komersil (PSK). Sebagian besar sudah pasti menjatuhkan vonis tersangka kepada mereka. Padahal bak mencari asal muasal mana lebih dulu ayam dengan telur, kasus ini jelas tak jauh berbeda. Kontroversi kerap muncul jika forum diskusi dibuka, hal ini wajar karena masing-masing pihak memiliki sudut pandang sendiri dalam menilai cara kerja dan dampak dari kegiatan para PSK.

Kalau Surabaya punya Gang Dolly, Semarang dengan kawasan Sunan Kuning, Sarkem di Yogyakarta dan Bandung dengan Saritemnya, maka Jakarta dulu terkenal dengan Kramat tunggaknya. Tempat yang terkenal dengan transaksi malamnya, kini semakin banyak merebak. Lokalisasi menjadi arena perputaran uang yang sangat signifikan dan secara gamblang merupakan sumber nafkah potensial.

Istilah PSK mengalami penghalusan makna, artinya profesi dalam hal transaksi seksualitas yang memiliki harga tersendiri. Alasan utamanya adalah untuk mencari makan. Walaupun tidak sedikit yang mempertahankan gaya hidupnya dengan tambahan pendapatan dari profesi ini. Biar bagaimanapun fenoma ini memunculkan reaksi keras dari para ibu-ibu yang merasa rumah tangganya terganggu karena ulah jual beli seks ini. Padahal perlu diingat, para pelaku penjual jasa seks ini membuka bisnisnya karena terdapat permintaan dipasaran. Sama halnya dengan prinsip ekonomi, dimana kebutuhan masyarakat akan menciptakan peluang baik bagi dunia perdagangan baik barang ataupun jasa. Kemudian inovasi bervariasi guna memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan.

Pengguna setia jasa dunia seks ini jangan disangka hanya dari golongan orang yang kesepian tanpa istri, kurang pendidikan dan bobrok moral. Mereka yang aktif datang ketempat remang-remang ini banyak dari kalangan berduit, rumah tangga yang baik-baik saja, pejabat negara (lihat saja contoh anggota DPR, Al-amin Nasution), kaum intelektual dan tidak jarang yang terlihat bernuansa religi juga mencicipinya.

Makanya tidak adil jika kita hanya menganggap pelacur sebagai biang aib, padahal penjaja seks ini ada karena pembeli mencari. Transaksi pun dilakukan karena kesepakatan. Layaknya jual beli yang sah, antara sipenjual jasa dan sipembeli sama-sama mendapat untung. Dan mereka tidak merugikan orang lain, lepas apakah akibat sipembeli kemudian membawa malapateka kerumah karena penyakit atau lebih menyukai sensasi diluar rumahnya. Karena kadang menjadi dilema bagi pelacur seperti misalnya, pemakaian kondom yang disosialisasikan. Ada banyak pelanggan yang lebih suka tidak menggunakan kondom, dari pada tidak laku dan kalah bersaing, si PSK menerima saja permintaan konsumen tsb. Akibatnya penyakit dapat ditularkan dari lokalisasi dan dibawa pulang oleh sipembeli, padahal ini bukan salah sipenjual.

Memang pekerjaan ini adalah jenis yang terburuk karena dimasyarakat kita ini merupakan praktek perzinahan. Tetapi alangkah bijaknya jika melihat dari sudut tertentu, misalnya profesi ini menyelamatkan banyak keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya dari desakan ekonomi yang kian menjepit mereka toh daripada mencuri. Alternatif pekerjaan ini dilakukan guna mencukupi kehidupan sehari-hari bagi mereka yang memilihnya dengan segala konsekwensi. Melacurkan diri walau dimata masyarakat adalah hina, namun sejatinya profesi ini tidak mengambil hak apapun dari orang lain. Ini murni layaknya aktifitas pasar karena tidak mengurangi hak pembeli sedikitpun, bahkan tidak mengurangi timbangan seperti yang biasa dilakukan para pedagang dipasar pada umumnya yang dianggap pekerjaannya lebih mulia. Dan bisnis ini tidak merugikan siapapun karena dilakukan oleh pihak-pihak yang memang ingin mencemplungkan diri, mereka tidak hina seperi para koruptor.

Para pejabat dan petinggi korup yang berdasi dan intelek malah jauh lebih menjijikan dari para PSK karena mengambil hak dan merugikan banyak orang. Namun dengan selubung yang lebih rapih lagi (karena dianggap dipercaya dan jabatan halal sehingga tidak mudah terendus), semakin lama berkuasa maka semakin besarlah kerugian negara. Moral mereka jauh lebih buruk dari pada pencuri ayam yang hanya mengambil seekor ayam tetangga kemudian mati dikeroyok karena hanya untuk makan keluarga. Juga bahkan jauh lebih maksiat dari pelacuran.

Memberantas kawasan prostitusi sama susahnya dengan memberantas korupsi. Karena budaya korupsi sudah terlalu mengakar dan sulit diberantas. Kasus terbongkarnya konspirasi dan terima suap dikalangan kejaksaan yang seharusnya menjadi arena peradilan menjatuhkan pamor MA karena ternyata menjalar dan sudah mendarah daging hingga kepetinggi negara yang seharusnya terpercaya.

Bea cukai juga ikut terkuak padahal sudah menjadi rahasia umum praktek suap menyuap ini terjadi di Dirjen pajak, walaupun cuma shock terapy paling tidak kerja KPK sudah menunjukan hasil. Padahal bukan tidak mungkin praktek korupsi masih banyak bercokol didepartemen lain misalnya Setneg dan atau kepresidenan???!. Para koruptor akan memelas jika tertangkap dan meminta keringanan hukuman padahal mereka dan keluarganya hidup mulia dengan makan dan tidur yang serba enak dari hasil hak orang lain.

Jika saja pemimpin kita dapat dengan tegas memberantas korupsi ini dan mau menampari serta menciptakan budaya malu (agar pejabat korup segera mengundurkan diri seperi di korea selatan) maka berapa trilyun uang negara akan terselamatkan. Presiden itu seperti wartawan yang serba tahu segalanya tentang kondisi dan seluk beluk rakyatnya sebelum sampai ke khalayak umum. Oleh sebab itu bukan tidak mungkin jika presiden pun sebenarnya sudah tahu praktek-praktek dan zona aman para pelaku korupsi ini sebelum tim KPK menyelidiki. Tinggal kebijaksanaannya saja untuk menyelamatkan nasib bangsa. Toh, keppres masih sangat sakti di Indonesia.

Atau mungkin masih ada indikasi menyelamatkan diri sendiri? Atau pura-pura tidak tahu atau pura-pura tertipu. Lah wong kasus gampang saja seperti Blue energy-nya si Joko Suprapto bisa (red. pura-pura) tertipu.

Bicara soal bohong-berbohong sepertinya sudah menjadi salah satu budaya terburuk dinegara kita. Padahal satu kebohongan akan menciptakan puluhan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang pertama. Lihat saja Jampidsus Kemas Yahya dan Jamdatun Untung Udji. Mereka seolah-olah bicara pada orang dungu agar dipercaya tanpa memberikan fakta dan bukti-bukti. Dengan percaya diri mereka mengatakan kebohongan dan berusaha menutupi kebohongan lain tatkala ada penyangkalan dari pihak luar.
Saat ini banyak orang-orang yang dengan percaya diri berbohong dan menganggap seolah kita semua adalah orang blo’on yang mau mempercayainya tanpa disertai fakta dan bukti. Bahkan ada yang sudah jelas-jelas tertangkap berbohong pun masih percaya diri mempertahankan kebohongannya, tinggal gantian kita yang waras untuk bersikap bijak menanggapinya.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...