Jumat, 13 Juni 2008

Islam dan Buah Reformasi

Menurut bahasa, kata salafiah berasal dari kata salaf yang artinya orang-orang terdahulu dalam ilmu, iman, kebaikan dan keutamaan. Pada saat ini sebutan salafiyah adalah untuk umat islam yang mengikuti ajaran Muhammad sesuai dengan syariat yang tertuang pada Quran dan hadist, sedangkan yang menyimpang dari Quran dan hadist disebut bid’ah. Penafsiran akan Quran dan hadis antar ulama pun dari jaman wafatnya sang rasul hingga saat ini masih menjadi perdebatan guna mencari titik temu menuju jalan kebenaran-Nya. Relativitas pemahaman dan perkembangan zaman yang merupakan rahmat-Nya adalah pemicu perbedaan hingga saat ini. Namun tetap saja penggodokan ayat2 suci tsb harus selalu menjadi agenda para pemikir agar manusia kembali kepada khitohnya.

Seorang ustad mengatakan bahwa didunia ini ada 73 aliran islam, dan hanya satu yang sesuai dengan syariat Nabi Muhammad maka selebihnya yang 73 itu adalah bid’ah. Untung saja sang ustad tidak melanjutkan dengan kata2 yang menimbulkan SARA. Artinya begini, karena didalam islam sendiri pun banyak terdapat aliran dan kebetulan sang ustad mendeklarasikan bahwa dirinya seorang salafi adalah wajar jika beliau kemudian melajutkan dengan pemikiran2 yang sesuai dengan ajaran yang dipahaminya. Karena seperti kita ketahui, saat ini ormas umat islam pun sedang sibuk mengoreksi yang terbenar dari aliran yang dianutnya. Lihat saja, FPI (Front Pembela Islam) dan laskar islam berseteru dengan AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebesan Beragama dan Berkeyakinan) padahal mereka sama2 mengaku muslim malah saling tuding dan merasa paling benar. Kemudian disebut-sebut NU dan Muhammadiyah ikut bertanggung jawab akan kerusuhan itu.

Memang benar ini adalah era reformasi dimana diartikan sama dengan kebebasan berekspresi dan berpendapat, tetapi kok konteksnya sepertinya malah melenceng dari esensinya. Penyebabnya adalah perdebatan mengenai aliran Ahmadiyah, padahal sebelumnya ada aliran2 yang juga diperdebatkan yang mirip2 seperti ini, contohnya Lia Aminuddin yang juga mengaku sebagai nabi begitu juga dengan Mussadeq. Padahal kalau kita mau efektif dan efisien dalam menangani krisis bangsa, ada baiknya bila kita memikirkan hal yang jauh lebih produktif dari hanya sekedar mengganggu keyakinan umat lain. Toh jika kita mengaku negara hukum, maka sang pendemo dan pelaku rusuh seharusnya mengetahui aturan hukum di Indonesia karena semuanya sudah jelas tercantum didalam undang-undang negara kita. Atau pikiran positifnya adalah anggap saja kerusuhan monas adalah buah dari suatu reformasi.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...