Senin, 16 Juni 2008

Macet

Meluangkan beberapa jam untuk terpaksa terlibat dalam kemacetan sudah menjadi agenda harian bagi warga jakarta dalam perhitungannya mengejar deadline ke suatu tempat. Meskipun pemerintah telah berusaha,tetap saja macet tidak berkurang.

Pembangunan fly over dan under pass, aturan 3 in 1 dan lajur khusus pengendara motor serta proyek busway belum juga mengatasi masalah macet. Malah terlihat menjadi masalah baru dengan bertambahnya titik-titik wilayah dan deret panjang kemacetan. Belum lagi imbas dari meningkatnya harga BBM dan adanya bus tranjakarta (TJ) yang membuat parah para pengusaha dan supir angkutan umum. Tingginya harga BBM dan kemacetan membuat pendapatan para supir menjadi tidak seimbang dengan pengeluaran. Mereka tidak mampu bersaing dengan fasilitas seperti TJ dan ditambah lagi maraknya penjualan sepeda motor,semakin membuat para penumpang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadinya. Macet dan menurunnya daya beli masyarakat membuat berkurangnya jumlah penumpang karena pengurangan jumlah rit perharinya, otomatis penghasilan para supir jadi jauh berkurang. Maka bertambahlah faktor penyebab meningkatnya angka kemiskinan.

Keberadaan TJ adalah langkah awal peningkatan sarana angkutan dijakarta, walaupun dengan armada terbatas paling tidak kita punya public transport yang ga malu-maluin. Pada masa bang Yos, TJ ditujukan mengatasi masalah macet dengan maksud agar warga jakarta mau beralih menggunakannya dan mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Tetapi pengelolahannya terlihat lambat dan kurang memperhitungkan banyaknya warga jakarta yang harus diangkut. Kurangnya dana untuk menambah armada dan koridor menjadi permasalahan utama TJ. Pembangunan penambahan koridor VIII, IX dan X yang tak kunjung selesai menjadi penyebab kemacetan karena penyempitan ruas jalan dan tetap banyaknya jumlah kendaraan pribadi.

Sumber didalam koran kompas mengatakan 80 persen jalan umum dipenuhi kendaraan pribadi yang membawa hanya 20 persen populasi. Melihat fakta ini, perlu evaluasi mencari penyebab dan solusinya.

Macet disini dapat diartikan sebagai antrian kendaraan disuatu jalan untuk dilaluinya menuju ke suatu tempat tujuan. Macet diklasifikasikan menjadi 3 yaitu padat lancar, padat merayap, padat benar-benar padat nggak bergerak. Klasifikasi terakhir biasanya untuk kasus tertentu seperti meluapnya banjir kanal ditol Prof.Sedyatmo (terlihat seperti mobil-mobil dipaksa numpang parkir didalam tol selama berjam-jam), adanya kebakaran dan aksi demo (wadah aspirasi atau menambah keruwetan?).

Jika kita mau merunut jalan yang dalam kondisi macet, mungkin kita bisa mendapatkan penyebabnya. Kita mulai saja. Pertama kita dapati hasil merunut jalan, ternyata macet terjadi karena jalan yang parah, bolong dan nggak karuan rusaknya. Kalau tidak hati-hati, kecelakaan bisa jadi makanan sehari-hari. Demi kehati-hatian dan kenyamanan serta menghindari resiko rusaknya kendaraan maka pengemudi akan mengurangi kecepatannya. Maka jadilah antrian panjang dibelakang menunggu gilirannya melalui jalan yang rusak tadi perlahan-lahan.

Ada lagi hasil runutan ternyata karena bottleneck atau penyempitan ruas jalan akibat adanya proyek busway. Padahal aktif juga belum, tetapi sudah mengurangi jatah lalulalang kendaraan karena pengerjaannya yang setengah hati. Belum lagi diruas yang sempit itu atau dibeberapa tempat, angkutan umum seenaknya naik dan turunkan penumpang (budaya ketidak dispilinan antara supir dan penumpang sulit diubah, seharusnya ini menjadi tanggungjawab bersama). Ulah bus dan angkot ini juga menyumbang kemacetan di ibukota.

Yang lebih menarik lagi jalan tol. Jalan (yang seharusnya) bebas hambatan ini terlihat macet yang didominasi mobil pribadi di jam rawan macet (pagi mulai jam 7-9 dan sore jam 5-8 malam). Tol juga jadi alternatif favorit menghindari aturan 3 in 1 (atau jangan2, ini aturan yang nggak cerdas dan sengaja menguntungkan jasa marga..yah mengingat ada juga pihak jasa marga yang menjadi wakil di DPR?!!).

Pada jam-jam rawan macet jalan tol dan non tol sama-sama mengalami kemacetan dengan tingkat kecepatan kendaraan dan kepanjangan deret macet yang hanya sedikit berbeda. Melihat tol yang seharusnya menjadi solusi, ternyata tidak juga membuahkan hasil.

Penyebab utama macet adalah banyaknya jumlah kendaraan yang ada diibukota ini dengan efektifitas daya angkut populasi yang rendah. Coba saja survei keperusahaan penjualan mobil dan motor baik baru ataupun bekas, setiap tahunnya akan kita dapati jumlah yang selalu meningkat. Ini berarti peredaran mobil dan motor dijakarta semakin meningkat tiap tahunnya, padahal tidak sebanding dengan prasarana penambah dan pelebaran ruas jalan yang dilakukan pemerintah (karena memang sudah sedikit lahan yang harus dilebarkan). Semakin bertambah dan semakin sumpeklah jakarta dengan kendaraan2 pribadi (Polusi pun tinggi). Kemudahan memiliki kendaraan menjadi motivasi bagi para pengguna kendaraan pribadi. Contohnya kemudahan cicilan, dan mobil second (atau mungkin 3rd or 4th) yang dengan 40 juta saja seseorang sudah dapat memiliki mobil.

Berikut ini adalah ide Cak Roeslan, memang bukan orisinil dari saya tapi sayang jika harus saya telan sendiri (toh menulis kan bukan berarti harus selalu ide orisinil, tetapi sekedar melatih mengembangkan kreativitas dengan cara dan gaya sendiri).

Jika solusinya membatasi quota pertahun penjualan mobil dan motor maka dampaknya akan membuat mati pelan-pelan industri otomotif di Indonesia. Padahal industri ini sangat besar kotribusinya terhadap perekonomian kita.

Alternatif lain yaitu melibatkan pemerintah sebagai kontrol pusat. Sebelumnya mari kita kembali melihat masalah lambatnya kelanjutan proyek busway. Sejak tahun 2005, identitas kelembagaan TJ dirubah menjadi PT. Jakarta Transportindo oleh bang Yos supaya Badan Pengelola (BP) TJ lebih lincah dalam pengoperasian busway dan lebih mudah dalam pengelolaan keuangan dan memaksimalkan kinerjanya. Meski sudah menjadi PT, pengoperasiannya tetap disubsidi. Misalnya, setelah dihitung ternyata tiketnya mahal, subsidi tetap dikucurkan agar harga tiket terjangkau masyarakat. Atau subsidi digunakan untuk pengadaan armada tambahan. Karena kita sedang berada dalam krisis keuangan maka tinggal menunggu apakah pemerintah menjadikan transportasi dan perbaikan infrastruktur sebagai prioritas utama dalam anggaran belanja dan subsidi pemerintah?

Seharusnya pemerintah memiliki suatu sistem yang praktis dan jelas dalam hal pengadaan anggaran khusus untuk revitalisasi infrastruktur dan transportasi umum. Selama ini subsidi tergantung dari APBN yang birokrasinya panjang dan lama. Misalnya begini, proposal yang diajukan untuk perbaikan jalan X dengan luas Y meter berada dimeja Dewan I diminggu pertama. Kemudian berada di Dewan II diminggu ke-2, selanjutnya dan selanjutnya sampai disetujuilah proposal tersebut dengan dana M sesuai dg proposal tsb setelah 1 bulan dari pertama proposal diajukan. Setibanya dilapangan ternyata kerusakan jalan bertambah lebar menjadi Y+Z meter. Dana M yang diterima terpaksa digunakan untuk memperbaiki jalan yang sudah bertambah rusaknya itu, dengan perhitungan yang meleset, alhasil perbaikan kualitas jalan tidak maksimal.

Sekarang kita berandai-andai. Seharusnya pemerintah berani menaikkan pajak kendaraan baik mobil atau motor (walau mengundang reaksi tapi cuek aja/ juga dimaksudkan untuk mengundang efek jera) asal dengan komitmen terhadap kopensasi yang bertanggung jawab yaitu biaya pajak digunakan wabil khusus untuk pembangunan dan kelancaran infrastruktur dan angkutan umum tanpa diganggu gugat untuk kepentingan lain yang ditampung oleh dirjen pajak dan tidak disetorkan ke kas negara. Sehingga jika ada proposal yang masuk maka dana sudah tersedia dan proses pencairan dana tidak memakan banyak waktu dan dapat langsung digunakan dari dana yang didapat dari hasil pajak kendaraan. Sistem ini semacam shortcut untuk mempercepat kucuran subsidi. Pendapatan dari hasil pajak kendaraan ini juga dapat digunakan untuk realisasi penambahan armada dan koridor juga untuk subisidi tarif agar mudah terjangkau warga. Sehingga jika system ini sudah berjalan maka public transport lainnya sejenis busway akan dengan mudah terrealisasi. Dengan pajak kendaraan yang tinggi (supaya kendaraan pribadi hanya dimiliki oleh orang yang benar2 mampu membayar pajak) dan lancarnya prasarana angkutan umum dan jalan maka warga akan termotivasi untuk meninggalkan kendaraan pribadinya.

Bicara mengenai system pajak kita yang salah, mari kita coba bercermin pada Negara tetangga. Pajak motor di Australia itu lebih tinggi dari pada pajak mobil. Sehingga jarang orang yang memiliki motor, kalau toh ada warga pemilik motor pastilah dia orang yang sangat mapan. Di negara kita, orang dengan mudah membeli motor karena tidak ada tuntutan pajak yang tinggi. Tetapi negara tetangga kita itu sudah barang tentu sangat jauh berbeda kondisi angkutan umumnya dengan kita. Lihat saja Singapura yang kotanya jauh lebih sempit dari Jakarta dengan pajak yang tinggi dan system transportasi dan infrastruktur yang mendukung, warga lebih suka menggunakan fasilitas umum ketimbang mobil pribadinya. Di Indonesia semua tinggal tergantung kepada pemerintah apakah berani men-deregulasi terkait masalah perpajakan dan system ini? Toh jika infrastruktur berjalan lancar maka otomatis perekonomian dan sektor pariwisata juga akan menunjukan efek positifnya, apalagi julukan istilah ‘macet’ mungkin akan langka kita temukan :)

Yah..memang sangat kecil kemungkinan jika ide ini dapat sampai pada yang berwenang, tapi paling tidak isi kepala ini sudah dituangkan dan akan tersenyum jika saya membacanya nanti.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...