19 Juli 2009
Setelah sarapan dengan mi instan didalam gelas, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Baduy Dalam lainnya yaitu Cikartawana dan Cikeusik. Kedua kampung tersebut dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Luas kedua kampung ini lebih kecil dibandingkan dengan kampung Cibeo dan jumlah Kepala Keluarganya pun lebih sedikit. Pada saat kami singgah, tampak lenggang suasana kampung karena warga berladang. Hanya beberapa wanita dan anak-anak serta seorang pria yang bertugas menjaga keamanan kampung yang terlihat.
Paling kiri : Jama’. Paling kanan : Pulung. Anak-anak Baduy yang dianggap mulai besar. Keempat anak ini membantu mebawakan tas peserta rombongan. |
Jalan tetap berbukit dan panas. Meski demikian, tak menyurutkan para pembalak liar memapah dipundaknya batang kayu curian yang kami temui dalam perjalanan pulang. Entah mengapa, begitu mudahnya para pembalak tersebut memapah batang demi batang gelondongan kayu tersebut. Jika hal ini terus dilakukan, maka besar kemungkingan keseimbangan hutan dapat terganggu.
Dari cikeusik hanya membutuhkan waktu 1,5 jam dengan berjalan kaki untuk sampai di desa Nanggerang. Rute pulang yang dipilih berbeda dengan keberangkatan. Padalah setelah jembatan terakhir yang memisahkan Baduy Dalam dan desa luar, dapat ditempuh dengan ojek. Sehingga dapat dikatakan dari desa Nanggerang, perjalanan relatif lebih mudah dan lebih cepat hanya 1 jam berjalan kaki.
Jembatan Pembatas Desa Nanggerang dengan Desa Kanekes (Baduy Dalam) |
Catatan Penulis
Suku Baduy Dalam memiliki hukum adat yang berlaku sama untuk ketiga kawasannya yaitu kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Dalam sistem yang terbentuk secara turun temurun tersebut sejak berabad-abad lamanya, tidak menggoyahkan keyakinan yang kuat dari setiap suku untuk mentaati. Aturan yang dengan setia dipatuhi oleh warganya, serta larangan bersekolah membuat warga tidak akan berpikir menyimpang dan berani membangkang. Tidak adanya listrik dan terputusnya jalur masuk informasi ke dalam kawasan adat merupakan sistem tertutup yang terbentuk. Selain itu, larangan dokumentasi dan ketiadaan informasi akan sejarah suku Baduy Dalam dapat meminimalisasi sentuhan dunia luar mengeksplorasi lebih dalam kawasan tersebut (yang besar kemungkingan malah dapat merusak sistem adat yang ada).
Meskipun setiap warga memiliki hak asasi untuk memajukan pendidikannya, namun dengan adat Baduy Dalam yang terbentuk maka kita patut berterimakasih kepada suku Baduy Dalam akan kearifan lokal yang mereka miliki. Ditengah hingar bingar kemajuan informasi dan telekomunikasi serta sarana dan prasarana, suku Baduy Dalam tetap mempertahankan budayanya. Dengan adat dan kebudayaan tersebut, maka konservasi alam terjaga dengan sangat baik. Tanah pegunungan Kendeng tetap terjaga berkat keyakinan pikukuh dalam berladang yang tidak mengubah bentang alam. Sehingga tanaman dapat dengan baik menyerap hujan dan menyimpan air tanah, dan erosi dan tanah longsor dapat dihindari. Hutan larangan yang merupakan hutan lindung dapat terpelihara dengan sendirinya tanpa sentuhan pemerintah (departemen kehutanan). Dengan demikian sumber mata air pegunungan (aquifer) dapat terpelihara, Keseimbangan ekologis hutan terjaga dan kebutuhan air bagi penduduk desa dan kota setempat dapat tercukupi. Ditambah lagi pemadangan yang indah dan segarnya udara pegunungan serta jernihnya air sungai yang mengalir masih dapat kita nikmati.
Hal ini tak lepas dari kerjasama berbagai pihak. Pertama, tentu saja komitmen dari suku Baduy Dalam untuk mempertahankan budayanya ditengah arus perkembangan peradaban yang begitu cepat. Kedua, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan memberikan sepenuhnya hak ulayat suku Baduy Dalam, serta menjaga dan memantau kawasan wisata sebagai cagar budaya agar tetap exist. Ketiga, warga desa diluar kawasan Baduy Dalam dan para pengunjung agar menghargai serta patuh akan ketentuan adat yang berlaku. Jika semua bekerjasama menghormati budaya yang ada, maka keharmonisan dan keseimbangan lingkungan dapat terjaga. Hal ini berkat Kearifan lokal yang terbentuk dari budaya suku Baduy Dalam, dan merupakan bekal bagi generasi yang akan datang untuk dapat menikmati lingkungan yang bersih dan sehat.
Namun apabila terjadi suatu keadaan dimana keterbukaan arus masuk menuju kawasan wisata budaya suku Baduy Dalam menjadi lebih mudah, contohnya jika tidak perlu lagi berjalan kaki dan tersedia sarana transportasi dengan mudah, maka hal ini berpotensi rusaknya sistem tertutup adat yang telah ada sehingga memungkinkan pudarnya hukum adat dan keberadaan suku Baduy Dalam itu sendiri.
-Y-
-Y-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar