Kamis, 06 Agustus 2009

Pesona Baduy Dalam (Part 2)

Saya begitu takjub dengan keteraturan ritme biologis yang dimiliki suku Baduy Dalam. Meskipun tidak mengenal jam dan adanya perbedaan pengaturan sistem bulan, namun mereka tetap dapat mempertahankan eksistensinya karena sistem tertutup yang telah dibangun dan dilaksanakan selama berabad-abad.

Suku Baduy bangun dipagi hari saat ayam mulai berkokok, kemudian bagi para wanita akan ke sungai atau menumbuk ani-ani dan melakukan persiapan sebelum berladang. Pada saat matahari terbit, wanita dan pria dewasa sudah meninggalkan rumah dan pergi ke ladang. Tak jarang mereka pun membawa serta anak-anaknya. Baru setelah kurang lebih pukul 4-5 sore mereka kembali dan menyiapkan makan malam. Menjelang senja, kampung sudah mulai sepi. Ketika gelap menyelimuti, mereka sudah masuk kedalam rumah. hanya sekitar 1-3 orang yang bertugas melakukan ronda demi menjaga keamanan kampung.

Bagi para wanita lajang, setiap malam minggu diadakan perkumpulan pada sebuah aula. Terkadang pria lajang akan menghibur dengan diiringi lantunan kecapi untuk dipersembahkan bagi para wanita lajang tersebut. Namun jangan sampai pada saat tersebut, pendatang mencoba untuk bergabung maka para wanita akan malu dan meninggalkan aula.

Setiap sabtu malam, beberapa suku Baduy kerap berkunjung kedesa terdekat untuk melihat berita terkini mengenai dunia luar. Sehingga tak hanya bahasa sunda saja yang mereka kuasai, bahasa Indonesia pun dan sedikit bahasa Inggris mereka kuasai dengan cara otodidak. Pada bulan tertentu dan pekerjaan diladang sedikit longgar, mereka akan berkunjung kekota sekedar mengunjungi teman (mereka akan menganggap teman bagi setiap pengunjung) atau panggilan salah seorang pengunjung untuk keperluan riset atau ilmu pengetahuan. Bahkan untuk urusan klenik pun, menjadi alasan mereka mengunjungi dunia luar bagi orang yang memerlukannya. Atau untuk sekedar berbelanja kebutuhan dasar, seperti membeli manik-manik sebagai bahan dasar membuat kalung dan gelang yang dilaksanakan para wanita. Biasanya setelah berkunjung, mereka akan memperoleh uang untuk tambahan keperluan hidup.


Suku Baduy hanya diperkenankan berjalan tanpa alas kaki kemanapun tujuannya. Mereka dilarang menggunakan kendaraan. Oleh karena itu, butuh waktu 3-4 hari untuk sampai ketempat tujuan seperti Jakarta. Ini merupakan hukum adat. Mereka yakin akan tertimpa bencana jika melanggar aturan. Meskipun mereka belum pernah menemukan fakta tersebut, namun mereka tidak mau melanggarnya.
Dalam sistem pernikahan Suku Baduy melakukan monogami, jika pasangan meninggal barulah mereka dapat menikah lagi. umumnya satu keluarga memiliki banyak anak. Orangtua akan menjodohkan anak remajanya yang terlebih dahulu diajukan kepada “puun” untuk memperoleh persetujuannya. Tidak diperbolehkan menikah satu keturunan, namun apabila tak ada pilihan maka sesama cucu yang berbeda orangtua boleh menikah. Peradaban yang tertanam dengan baik selama bertahun-tahun, dimana jika incest (menikah satu keturunan) dilakukan maka dapat melahirkan generasi yang cacat.

Suku Baduy Dalam memahami arti hidup. Dalam perjalanan usia, pria dan wanita memiliki kewajiban mengolah dan mempertahankan adat setempat. Dari mulai bermusyawarah dalam pemilihan pemimpin adat, membangun rumah kampung adat, menjaga ladang dan kawasan kampung adat, serta mempertahankan sistem dan hukum adat Baduy Dalam dengan cara menyampaikan kepada keturunannya secara lisan.

Ketika melahirkan, suku Baduy Dalam memiliki dukun yang disebut Paraji. Jarang terjadi kasus sulit, kalaupun ada maka bidan dari Baduy Luar pun diperkenankan membantu. Meskipun demikian, kematian bayi tak dapat dihindarkan. Jenazah akan dikebumikan di bagian selatan kampung Baduy Dalam, dengan sebelumnya dimandikan terlebih dahulu.

Mata pencaharian suku Baduy Dalam adalah berladang. Mereka memiliki kepercayaan untuk tidak mengubah bentang alam atau disebut pikukuh, sehingga menanam padi dilakukan dengan huma atau disebut padi huma. Padi huma tidak memerlukan irigasi, menanamnya seperti tanaman biasa. Untuk memaksimalkan berladang, digunakan bambu (salah satu ujung batang dibuat runcing) yang ditancapkan ke tanah untuk menunjang daun dan batang. Selain padi, secara tumpang sari dilakukan selingan menanam singkong, kacang tanah. Setiap kepala keluarga memiliki kurang lebih 2 hektar ladang garapan. Dengan luas tersebut, suku Baduy Dalam ada juga yang menanam durian. Jika panen, mereka seringkali menjualnya ke luar. Namun demikian, mereka pun kerap mengalami kekurangan pangan. Dengan demikian, mereka akan ke pasar di desa sebelah untuk membeli pangan seperti tempe, ikan dan beras serta sayuran. selain tanaman, Baduy Dalam melepaskan ternak ayamnya di ladang. Kadang ayam menjadi santapan mereka, namun lebih khusus untuk acara tertentu seperti perkawinan dan perayaan.

Lumbung untuk menampung hasil panen. Foto ini hanya contoh yang diambil dari Desa Nanggerang di luar Baduy Dalam, karena larangan mengambil dokumentasi sehingga foto ini hanya digunakan sebagai ilustrasi. Suku Baduy Dalam pada saat panen, akan melakukan Seba atau kunjungan ke Bupati dan Gubernur sebagai bentuk penghargaan terhadap pemerintah dan menjalin silaturahmi.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...