Rabu, 29 Juli 2009

Pesona Baduy Dalam (Part 1)

Informasi melalui internet yang mengantarkan saya mengunjungi suku Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung - Banten. Bersama teman-teman dari rombongan Rumah Sakit Umum Adjidarmo yang diketuai oleh Daniel Ismandaru, pada tanggal 18 Juli 2009 kami melakukan perjalanan menuju daerah terpencil dengan jarak 40 km dari kota Rangkasbitung dengan minibus. Sesampainya di terminal Cibolegar (-merupakan desa terakhir yang masih dapat ditempuh dengan kendaraan), lima orang suku Baduy Dalam telah menunggu kami di depan sebuah toko kosong warga. Mereka adalah Kang Anas, Ki tua, Sengseng, Juli dan si kecil Jama’. Setelah dua jam dengan minibus dari RSU, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki kurang lebih 12 km untuk dapat sampai di Kampung Cibeo yaitu salah satu dari tiga kawasan Baduy Dalam.

Rombongan Berpose
Perjalanan sedikit ringan karena urang kanekes atau urang baduy (sebutan bagi orang baduy) terbiasa menjadi porter dan guide bagi rombongan pengunjung. Jama’ (10 tahun) pun turut serta membawakan tas teringan dari salah satu rombongan, baginya membawakan tas adalah sebuah latihan agar menjadi kuat kelak di usia dewasa. Meskipun paling kecil, kelincahan Jama’ tidak pernah berada di baris belakang selama perjalanan. Suku Baduy Dalam beranggapan bahwa anak seusia Jama’ merupakan permulaan menuju kedewasaan sehingga wajib menggunakan ikat kepala berwarna putih seperti bapak-bapak dan remaja pria suku Baduy Dalam lakukan. Pakaian pria dewasa pun dibuat seragam, yaitu kain dari katun berwarna putih atau biru kehitaman yang dibeli dari daerah Majalengka. Kain tersebut lalu dijahit oleh para wanita suku Baduy Dalam tanpa menggunakan mesin jahit. Pola baju pria tanpa menggunakan kerah, kantong dan bagian leher hanya berbentuk ‘V’ sampai bagian dada. Pada bagian tepi bahan dijahit dengan benang berwarna warni dan tertata sangat rapih. Pakaian ini sering disebut dengan jamang sangsang. Dan Pria Baduy menggunakan rok berupa kain panjang yang dililitkan sepanjang lutut berwarna biru kehitaman.

Ada baiknya kami melakukan perjalanan disaat musim kemarau, sehingga jalan setapak berupa tanah dan sebagian berbatu (dipinggir sungai) menjadi kering dan lebih mudah dilalui. Sehingga tapak sepatu kami mudah melekat pada tanah dan bebatuan. Karena hampir sebagian besar medan yang dilalui berupa bukit dan tanjakan. Dalam keadaan seperti itu pun masih dibutuhkan kehati-hatian untuk menghindari resiko terperosok ke jurang. Meskipun demikian, tak ayal kerap terjadi kecelakaan kecil yang dialami peserta rombongan karena letih dan panasnya cuaca sehingga merosot beberapa meter dari pijakan akhir.

Setelah tiga jam berjalan kaki, akhirnya kami sampai di kampung Cibeo. Rumah panggung yang berjajar dan tertata rapih menghadap utara dan selatan dibuat seragam dalam bentuk dan ukuran yang sama. Dalam satu kampung kurang lebih dihuni oleh 90 Kepala Keluarga. Setiap kampung Baduy Dalam di pimpin oleh adat tertinggi yang disebut Puun. Rumah pemimpin adat ini, terpisah dari rumah warga dengan pekarangan rumput hijau dan dibelakang rumahnya adalah hutan larangan (maksudnya tidak untuk berladang).

Rumah kampung Baduy Dalam terbuat dari kayu dan daun lontar untuk atapnya. Dengan luas kurang lebih 100 m2, setiap rumah dibangun dengan cara gotong royong warga yang terdiri dari 20-25 orang. Suku Baduy tidak mengenal budaya menulis dan membaca. Menurut hukum adat, mereka tidak diperkenankan sekolah. Namun demikian mereka dapat menghitung. Pengetahuan itupun mereka peroleh pada saat berinteraksi dengan pendatang atau saat berkunjung ke desa dan kota. Oleh karena itu arsitektur rumah, ukurannya dibuat dengan mengira-ngira. Setiap kepala kelurga harus memiliki satu dapur sendiri. Apabila dalam satu rumah terdapat dua kepala keluarga maka harus dibuat dua dapur dan dua kamar. Mereka tidak diperkenankan memasak atau menyalakan api ditanah, sehingga dapur tetap berada diatas rumah panggung dengan ditaburi tanah terlebih dahulu agar tidak membakar alas rumah yang terbuat dari kayu. Hukum adat menyiratkan aturan untuk tidak mematikan api sebelum kayu bakar terbakar habis, meskipun masakan telah matang. Hal ini menarik, karena bagi para wanita berkewajiban memperhatikan si bungsu (sebutan bagi ujung kayu bakar yang telah lebih dari separuh terbakar) agar tidak melebihi kotak tanah dan membakar alas kayu rumah. Jika mereka lalai menjalankan kewajibannya, maka akan memicu kebakaran yang akan menimpa seluruh rumah warga.


Rumah warga hanya berjarak kurang lebih dua meter. Tidak ditemui paku dalam pembuatan rumah, mereka hanya menggunakan pasak dan serabut dari kayu yang berfungsi sebagai pengikat. Begitupun jembatan diatas kali kanekes, hanya menggunakan bambu atau batang pohon dan ikat tali tambang yang terbuat dari kayu berwarna hitam.

Jembatan tanpa menggunakan paku yang berada diluar Kawasan Baduy Dalam, daerah antara Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Ditangan kanan Kang Jali menggenggam gelas dari potongan batang bambu. Gelas tersebut baru saja dibuatnya dengan memotongnya menggunakan sebilah golok yang selalu diselipkan dipinggangnya jika bepergian. Gelas dari bambu merupakan piranti dapur yang digunakan sehari-hari oleh suku Baduy Dalam. Bisa juga digunakan mangkuk atau piring yang terbuat dari keramik, selain dari bahan tersebut, maka tidak diperkenankan.
-Y-

Tidak ada komentar:

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...