Kamis, 06 Agustus 2009

Pesona Baduy Dalam (Part 3)

Kepercayaan dan Sistem Tanggal

Tak ada data sejarah yang dengan jelas menerangkan asal muasal suku Baduy Dalam, karena tidak adanya budaya menulis dan menuangkan dalam simbol maka hanya dapat diperkirakan nenek moyang suku ini terbentuk. Mereka menganut animisme, tidak mengenal ritual dalam keseharian. Mereka hanya menjalankan laku sederhana dan patuh kepada hukum adat yang diyakini secara turun temurun. Kepercayaan mereka disebut Sunda Wiwitan.

Suku Baduy Dalam sangat menghormati pemimpin adat atau Puun, namun dalam keseharian kedudukan Puun setara dengan Jaro (semacam lurah) dan warga lainnya. Puun dan Jaro dipilih secara musyawarah, bukan secara turun temurun. Saat ini Puun telah memimpin suku Baduy selama kurang lebih 32 tahun. Mereka sangat yakin, dengan kepemimpinannya maka warga terhindar dari sakit dan selalu sehat.

Dalam sistem pertanggalan, dikenal 12 bulan yaitu: Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanem, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, Hapid Kayu. Saat kami berkunjung, warga meyakini jatuh pada bulan Kaanem. Karena mereka tak mengenal angka dan berhitung, maka usia pun dihitung dengan mengira-ngira. Jadi jangan berharap, mereka memiliki akte kelahiran.

Bagi para pendatang yang hendak mengunjungi kawasan wisata tersebut, Baduy Dalam tidak selalu membuka pintu bagi para pengunjung. Pada saat Upacara Kawaluh yang jatuh pada bulan Kasa, Karo dan Katiga. Bulan ini dianggap suci, sehingga suku Baduy dalam berpuasa dan melakukan mati geni (tanpa api). Kemudian Upacara Ngalaksa, seperti lebaran sebagai perayaan atas berpuasa selama tiga bulan. Suku Baduy Dalam tidak memperkenankan warga asing selain keturunan Cina berkunjung ke kawasan wisata. Nenek moyang mereka hanya menganggap saudara kepada keturunan Cina karena sebagai pedagang.

Perilaku dan keseharian suku Baduy Dalam sangat sederhana dan tanpa ambisi. Sebuah pertanyaan saya lontarkan kepada beberapa warga mengenai alasan kesederhanaan tersebut. Jawaban yang dilontarkan begitu cerdas dan masuk akal. Bagi mereka keseragamanlah yang membuat mereka tidak saling iri. Bentuk dan ukuran rumah yang sama, cara dan model berpakaian yang sama, luas ladang yang kurang lebih sama, serta mata pencaharian yang sama membuat mereka tak perlu iri dengan tetangga. Meskipun sudah mengenal uang dari hasil menjual kerajinan tangan dan hasil panen serta upah menjadi porter, yang tentunya jumlahnya akan berbeda pada setiap kepala keluarga, namun tetap tidak membuat mereka iri.

Amanat Buyut yang digantung sebelum memasuki kawasan wisata Baduy dalam melalui Desa Naggerang. Papan tsb merupakan norma keseharian bagi suku Baduy dalam yang ditulis oleh Pemerintah Kabupaten Lebak
Sistem adat yang terbentuk, membuat setiap warga tidak ingin iri dan saling pamer. Salah seorang warga menjelaskan demikian : “beda dengan dikota, yang satu punya mobil, terus yang satu punya motor. Disinikan (Baduy Dalam) ga boleh punya apa-apa, jadi ga bisa ngiri”. Pernah ada seorang warga Baduy Dalam dititipkan barang dagangan oleh orang luar dengan menggelar makanan, padahal si warga tersebut tidak pernah bermaksud mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Namun tetap saja hukum adat mengusir warga tersebut dan dikeluarkan dari identitas sebagai warga Baduy Dalam. Ketentuan bagi warga Suku Baduy Dalam, hanya diperbolehkan menjual hasil kerajinan tangan sendiri dan hasil panen sendiri. Sehingga tak ayal, sesampainya kami disana disambut penjual dari desa sebelah yang menawarkan cenderamata seperti gantungan kunci, teko, centong nasi dan sayur, cincin, gelang dan slayer. Sedangkan dari warga Suku Baduy menawarkan tas anyaman kayu berwarna coklat seharga 20 ribu dan syal hitam seharga 30 ribu. Harga dapat bervariasi, tergantung si empunya cenderamata memberi harga. Dan ketentuannya, para pengunjung tidak boleh menawar. Meskipun demikian, warga Baduy Dalam tidak pernah berusaha mengambil keuntungan terlalu banyak.

Warga Baduy Dalam tidak pernah mengotori daerahnya dengan sampah anorganik. Bagi pengunjung dilarang menggunakan sampo, sabun dan pasta gigi di sungai. Dengan demikian terjaga kebersihan air dari polutan. Sedangkan sampah anorganik seperti plastik akan dikumpulkan menjadi satu dan segera dibakar. Selama perjalanan menuju Cibeo, ketua rombongan Daniel Ismandaru mengumpulkan satu kantong besar sampah plastik yang ditemukan di jalan. Kegiatan menjaga lingkungan ini telah lama ia lakukan sejak tahun 1992 pertama kali menginjak Baduy Dalam. Pada saat itu, medan perjalanan sangat berbeda jauh dengan saat ini yang jauh lebih mudah.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...