Jumat, 29 Agustus 2008

Batik dan Maknanya

Niat kita memasyarakatkan batik sepertinya dapat dikatakan berhasil. Hal inipun bukan tanpa sebab. Dalam waktu kurang dari setahun terakhir sejak Malaysia mencoba mengklaim batik sebagai kekayaan budayanya, warga Indonesia seolah terbakar semangat nasionalismenya. Batik berkembang dengan cepat menjadi sebuah trend.

Hampir setiap hari dapat kita jumpai para pengguna batik baik sebagai busana kerja, kostum kepesta, pakaian sehari-hari, bahkan baju tidur. Tentunya fenomena ini banyak menuai keuntungan, misalnya dari segi budaya maka terlihat Indonesia memiliki penduduk yang terkesan cinta akan karya negri sendiri. Sedangkan dari segi perekonomian sangat jelas meningkat pesat bagi para pembatik dan pedagang. Kemajuan positif yaitu tanpa campur tangan pemerintah ternyata masyarakat kita telah mampu melaksanakan swadesi.


Konsep swadesi dipelopori oleh Mahatma Gandhi pada abad 19 guna melawan imperialisme Inggris. Selain memperjuangkan perekonomiannya, Gandhi juga berusaha mempertahankan kain sari sebagai jati diri bangsa yang wajib dilestarikan. Dan perjuangannya berbuah gemilang, hingga kini masih banyak warga India yang menggunakan kostum kain sari ketempat umum dan bahkan acara kenegaraan, sehingga merupakan kebanggaan India karena dunia internasional pun mengagumi eksotisme kain sari India.

Sejak awal pencanangan swadesi kain sari, rakyat India pun secara berkesinambungan melestarikan budayanya sebagai pakaian sehari-hari sehingga tak heran jika hingga kini kain sari masih terjaga eksistensinya. Hal ini berbeda dengan swadesi batik yang sekarang sedang terjadi di Indonesia.

Pada zaman Presiden Soeharto, Indonesia pernah berusaha menggerakkan swadesi batik melalui pakaian seragam sekolah batik sebagai atasan dengan dipadankan bawahan rok/celana berwarna putih. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB (Wikipedia). Sayangnya, seiring pergantian kepemimpinan (yang berganti juga peraturan---baca.era reformasi dan demokrasi ) maka seragam batik anak sekolah bukan lagi menjadi wewenang pusat. Mungkin jika warga kita mampu memahami esensi peraturan orde baru (yang belum tentu melulu salah itu), maka bukan tidak mungkin diera informasi ini, sekolah pun sejak dini memperkenalkan dan menanam kecintaan generasi penerus akan budaya sendiri melalui seragam batik.

Walau sempat terputus batikisasi kita, namun saat ini kita boleh sedikit bangga melihat perkembangan antusiasme masyarakat memakai batik disegala acara. Hanya saja jika dirunut sedikit akan sejarah dan filsafat batik, apakah sudah relevan usaha berbatik ria ini dengan kesungguhan memaknai nilai-nilai budayanya??


Batik dalam bahasa Jawa dari kata ‘amba’ yang artinya menulis, dan ‘titik’. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta (wikipedia).

Setiap motif batik memiliki makna dan filosofisnya. Pada motif tertentu dianggap sakral dan hanya dapat digunakan pada acara khusus, serta kalangan tertentu. Berdasarkan fungsi kain batik dikeraton, batik hanya digunakan sebagai kain bawahan dan tidak umum jika digunakan sebagai kemeja. Dan setiap motif pun memiliki peruntukannya masin-masing. Contohnya ‘motif Sido Mukti’ (yang artinya ‘sido’ = jadi, dan ‘mukti’ = sakti) hanya boleh digunakan oleh kalangan keluarga keraton, ‘motif Wahyu Tumurun’ (yang artinya turunnya wahyu) digunakan hanya pada upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta), ‘motif Parang’ yang bernuansa cukup ramai biasanya dipakai untuk acara pesta atau menghadiri suatu perayaan, terakhir untuk menghadiri lawatan kematian digunakan warna yang lebih lembut yaitu ‘motif kawung’, dan motif Kawung hanya boleh dipakai sebagai bawahan bukan baju atasan. Dan keempat motif batik tersebut hanya diperuntukan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh digunakan oleh masyarakat umum (Sumber : Cak Roeslan).

Lepas dari empat macam motif batik yang telah disebutkan diatas, tentunya masih banyak motif lain yang berkembang dan tiap daerah penghasil batik akan memiliki ciri khas sendiri. Melihat kenyataan sekarang dimana asal tabrak sembarang motif dengan design terkini, tampaknya masyarakat hanya sekedar memakai batik sebagai suatu mode. Motif batik menjadi bias makna karena mode tak memahami nilai-nilai luhurnya. Nah, untuk tetap menghargai makna batik dan melestarikan kandungan nilai filosofi yang terkandung pada motif batik keraton maka akan lebih baik jika kita mengeksplorasi berbagai macam kreasi model pakaian dari kain batik ini dari motif-motif lain diluar yang sudah menjadi pakem keraton.

Jika masyarakat kreatif merancang busana batik diluar motif-motif yang sudah memiliki pakem nilai, maka batik akan tetap memiliki nilai tinggi dimata dunia. Karena jika untuk batik motif tertentu, kita mau menghargai dan melestarikan kandungan maknanya maka boleh jadi kita juga dapat disebut sebagai negara yang menghargai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dengan begitu, tentunya dunia akan dapat menghargai Indonesia sebagai negara yang mau menjaga kelestarian makna batik sendiri dan memahami filosofi budayanya sendiri.

Fenomena batik hampir sama seperti Islam di Indonesia. Agama Islam menjadi agama mayoritas yang dianut lebih dari setengah jumlah total penduduk. Namun sayangnya seperti juga batik, dimana banyak yang sekedar hanya memeluk Islam tanpa benar-benar memahami esensi dan maknanya. Apalagi untuk benar-benar menjalankan kandungan filosofi ajaran Islam, lah wong bisa jadi untuk memahami maknanya saja kita masih jauh dari itu. Wallahualam.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...