Kamis, 07 Agustus 2008

Marah itu Melelahkan

Perihal menangani emosi dan egois adalah masalah kebiasaan menyingkapi. Seperti saya, terbiasa menyingkapi marah secara spontan dan dalam waktu yang lama. Marah yang timbul hanya karena keadaan tidak seperti yang sudah dibayangkan dan dirancang, maka secara spontan marahlah saya, bahkan hal kecil yang membuat saya hanya tidak nyaman pun dapat menjadi pemicunya. Padahal seringkali orang yang menyebabkan angan2 saya menjadi gagal pun bingung, melihat kemarahan ini yang tiba-tiba. Juga orang yang tanpa sengaja telah merusak rasa nyaman saya, terkadang tak habis pikir melihat bibir ini yang seketika mengatupkan rapat-rapat dan menjadi irit bicara serta kata-kata.

Jika sudah marah, segalanya dan semua orang menjadi salah. Kemarahan terus saya kembangkan untuk membenarkan sikap marah pertama. Saya berusaha membenarkan diri bahwa saya berhak marah, karena ketidaknyaman (padahal bisa jadi karena saya hanya membesar2kan keadaan). Kekeliruan sedikit (bahkan yang tidak ada hubungan dengan marah pokok pun) akan membuat emosi dan kemarahan semakin menjadi-jadi. Maka tak pelak kemarahan yang spontan tsb memakan waktu cukup lama.

Hal diatas karena saya terbiasa menyingkapi marah dengan runutan marah selanjutnya. Tak sempat berpikir, bahwa orang disekeliling menjadi bingung dengan sikap saya dan juga perubahan raut wajah saya yang menjadi sangat buruk rupa. Sampai akhirnya saya merasa sangat capek, dan jika bukan karena ada hal yang baik sengaja atau tidak dapat merubah mood, maka tidur adalah solusi terbaik menuntaskan kedongkolan lokal saya itu.

Melihat sikap suami dan orang-orang terdekat yang menyingkapi segala keadaan dengan tenang, saya begitu malu dan iri! Mereka bijaksana mengelola perasaan, begitu dewasanya dengan segera memaknai hikmah disetiap keadaan sehingga tak sempat memberi ruang pada kejengkelan, dan begitu cerdasnya memerankan rasional menghadapi segala situasi yang bahkan menurut saya sangat tidak menyenangkan. Manifestasi semuanya membuat mereka terlihat selalu tenang dan nyaman.

Seorang guru berkata, bahwa marah adalah masalah kebiasaan menyingkapi. Ya.. mungkin saya terbiasa menyingkapi marah seperti itu, dan mungkin mereka-mereka (orang tenang) itu sudah terbiasa dan terlatih menyingkapi marah seolah-olah tak pernah mengenal istilah marah. Karena marah sungguh membuatku lelah, maka saya pun bertekad mengubah kebiasaan marah saya yang jelek itu!!

Pasti dibutuhkan latihan sejak dini untuk dapat menjadi orang tenang itu, dan untuk menunjang latihan perubahan sikap ini ada satu yang lebih penting, yaitu rasional. Rasional membangkitkan kesadaran, dimana saya harus sadar bahwa saya sedang latihan untuk merubah sikap menanggapi kemarahan sendiri, dan ketika api marah mulai tersulut, harus dengan segera berpikir rasional untuk sadar dengan segera memenjarakan sang amarah.

Sulit pada awalnya, untuk tetap tersenyum saat suami membuat ulah (padahal ini hanya perasaan saya sendiri). Hanya karena meletakkan barang tidak pada tempatnya saja, begitu terpancing emosi ini. Kebiasaan jeleknya (bagi saya, tapi mungkin bagi orang wajar saja – hanya karena kebiasaannya tidak seperti yang saya harapkan), sering membuat luput kesopanan dan akhirnya yang keluar dari mulut saya adalah intonasi sinis dan seringkali saya seperti anjing galak yang meyalak. Padahal dengan teguran halus, tanpa urat pun sudah pasti dia akan memindahkan sesuai keinginan saya. Tapi inilah ulah saya memanjakan emosi, sehingga marah kerap sekali meyambangi hati ini dan membuat diri ini terus berkubang disekitar kemarahan.

Namun sesulit apapun awal, harus tetap ditekadkan agar dapat memutuskan persahabatan dengan kejengkelan. Akhirnya saya dapat mencoba awalnya. Meski sangat berat proses ini, saya tetap usaha kurangi kegalakan dan sikap-sikap sinis. Mencoba cepat menancapkan pikiran logis, pada saat orang lain mengganggu keadaan nyaman ini. Memang tidak setiap kesempatan saya mampu mengendalikan marah, tapi paling tidak saya berusaha mengurangi frekuensinya.

Walau terkadang pembenaran bahwa emosi, jengkel, marah, dan kesal adalah hal yang sangat manusiawi, namun tetap saja saya tak mau menjalin hubungan dengannya. Karena hal-hal itu hanya membuat saya capek dan tidak mampu melihat kemurnian-kemurnian hidup, ditambah lagi banyak waktu terbuang dan memampatkan produktifitas karena seketika saja otak menjadi mogok bekerja seolah-olah menikmati si pemilik raga mengelus-elus egoismenya.

Semoga bukan hanya sekedar harapan saja, karena didepan masih sangat banyak hal-hal yang harus dihadapi. Jika sekedar emosi saja saya tak mampu menaklukkannya, bagaimana dengan seabrek persoalan lain yang masih banyak menghadang sedangkan tujuan hidup untuk memberi warna dunia masih jauh terhampar??

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...