Selasa, 05 Agustus 2008

Arus Utama Islam (Chapter 4)

Perlunya mempelajari sejarah adalah agar kita tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan membuat sejarah baru yang lebih baik dari sebelumnya. Kebiasaan, kepribadian dan persepsi kita bahkan keyakinanpun adalah produk warisan dari meniru tradisi sejarah. Contohnya saja agama Islam yang kita anut, tak ada pilihan selain harus sesuai keyakinan orangtua. Dan dengan segala kekecewaan akan meremukkan hati mereka jika kita berani pindah agama lain, maka yang terjadi usaha-usaha pembenaran akan Islam pun tertanam dipikiran kita bahwa Islam adalah agama yang terbaik. Lepas dari bagaimana sejarah Islam sendiri, yang menjadi patokan pertama adalah bagaimana pun Islam is the best.

Itulah arus utama paham umat muslim saat ini, arus utama yang menyatakan Islam selalu baik sejak zaman Rasulullah dari mulai adat kebiasaan, kesopanan, politik, kepemimpinan, toleransi, dan pokoknya menyeluruh dari hablum minallah sampai hablum minannas. Islam adalah agama yang sempurna. Hingga tanpa disadari esensi ibadah sering luput karena kita melaksanakan syariat-syariat tanpa mencari tahu kebenarannya dari meniru pendahulu yang kita anggap sudah pasti benar, bahkan bertanya kelogisan syariat pun dianggap tabu.

Sejarah yang diwariskan berisi kebaikan memang wajib disampaikan untuk kemashlahatan, namun bukan berarti keburukan ditutup-tutupi hanya agar generasi penerus tidak melihat ada stigma didalam sejarah. Keotentikan sejarah pun harus selalu di up grade relevansinya supaya tetap sesuai pada zamannya, jika ada petuah sejarah yang sudah tidak relevan lagi maka lebih baik diabaikan saja. Apapun bentuk sejarah, keorosinilannya harus selalu dijaga sebagai bahan studi generasi mendatang.

Halnya dengan sejarah Islam, tradisi, cara beribadah dan persepsi yang diyakini warisan Rasulullah, arus utama muslim saat ini menyatakan kesempurnaan Islam dari segala sudut pandang. Padahal arus utama ini bisa jadi karena mengungkap keburukan Islam dianggap salah, fakta tentang keburukan Islam dianggap dapat merusak ahli waris. Cacat-cacat sejarah Islam ditutupi oleh penguasa-penguasa Islam yang dianggap amirul mukminin, agar aib tak terburai. Atau mungkin distorsi persepsi sehingga sampailah produk muslim saat ini yang ‘mengagungkan’ Islam itu sendiri. Menentang arus utama dianggap tiada!

Tapi apa salah jika kita memiliki aib? Belajar dari kesalahan. Seperti filosofi master Oogway (Kung Fu Panda) :”yesterday is a history, today is a gift, and tomorrow is a future. That’s why we call today as a present (hadiah)”.

Mungkin kebetulan saja saat ini adalah era keterbukaan berpikir dan keterbukaan informasi, ditambah lagi kemudahan akses melalui internet membuka keran kebenaran dari segala sudut pandang yang selama ini tersumbat, dapat menyegarkan umat muslim yang haus kebenaran. Seperti tulisan Irshad Manji penulis asal Kanada (Beriman Tanpa Rasa Takut – dapat diakses diinternet), begitu cerdas mengulas perspektif Islam dari seorang muslim refusenik yang mencari kebenaran dengan fakta-fakta dan analisa yang tajam. Inspiratif menggugah mindset yang selama ini menjadi arus utama muslim, dengan ulasan yang tak terbantahkan. Untuk sebuah pencerahan, buku ini sangat baik dibaca!

Atau mungkin sejak dahulu, pendahulu kita juga sudah berusaha membeberkan dan terbentur ruang karena kurangnya fasilitas penyebar berita. Atau mungkin tersekat ruang gerak karena ulah pemimpin yang berkuasa. Wallahu’alam.

Namun kabar baik dari negeri sendiri, seperti mengiringi era keterbukaan ini dengan rencananya penerbit Paramadina turut serta mengedarkan terjemahan penulis Mesir, Faraj Fouda (dibunuh dikantornya pada 8 Maret 1992 karena dituduh murtad) dalam karyanya, al-Haqiiqa al-Ghaaibah (Kegelapan yang Hilang)—yang dengan sangat berani membongkar sisi-sisi gelap sejarah Arab muslim di masa lampau (Ahmad Syafii Maarif, Gatra no.38/2008).

Pendiri Maarif Institute dan sekaligus Guru Besar Sejarah tsb berpendapat agar umat Islam jangan ‘memberhalakan’ masa silam, seakan-akan semuanya itu bebas dari cacat. Kecuali era Nabi Muhammad SAW dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah-khalifah yang lain, baik Umayyah maupun Abbasiyah, hampir semua berkubang dalam kemewahan, kekejaman, dan pesta-pora. Sejarah buruk agar dijadikan cermin untuk dapat mengulangi tindakan yang benar seperti saat perang di era Rasulullah yang terjadi semata-mata untuk mempertahankan diri, demi tegaknya keadilan, keamanan, kebenaran, dan persamaan. Kebijakan nabi selalu diarahkan untuk terwujudnya nilai-nilai mulia sebagai cerminan rahmat Allah untuk seluruh manusia, termasuk mereka yang tidak beriman.

Bisa jadi tulisan Irshad dan Guru Besar Sejarah di atas adalah hanya secuil dari terungkapnya kebenaran-kebenaran yang selama ini kita yakini, sehingga adalah tugas besar untuk dapat merubah keyakinan arus utama selama ini yang mensakralkan agama Islam ketimbang Allah itu sendiri. Istilah Cak Roeslan adalah mendesakralisasi tauhid. Namun pertanyaannya, apakah sudah siap jika kita hanya menjadi batu kecil pemecah riak dan bahkan tenggelam dari derasnya arus utama muslim kita selama ini??

Menurut Cak Nun, ada 3 jenis kebenaran. Pertama kebenaran diri sendiri, kedua kebenaran umum (dimana suatu kebenaran diyakini oleh mayoritas setempat), dan ketiga adalah kebenaran itu sendiri. Maka, kebenaran manakah yang selama ini kita yakini??
Wallahu’alam..

-Y-

Tidak ada komentar:

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...