Rabu, 08 Oktober 2008

Pulau Onrust dan Gelar Haji

Diantara beberapa pulau-pulau kecil yang ada dikepulauan seribu, mungkin sebagian besar sudah banyak yang mengenal satu pulau yang bernama pulau Onrust. Pulau seluas 12 hektar yang hingga kini masih terdapat puing-puing bekas bangsal dan sejenis tempat karantina. Namun masih saja terlihat mempesona dan menarik bagi para pecinta pantai dan eksotis pulau karena letaknya dilepas pantai utara teluk Jakarta. Di pulau ini masih terlihat bangunan-bangunan peninggalan penjajah Belanda seperti benteng dan pelabuhan kuno.

Pulau Onrust merupakan pelabuhan VOC sebelum pindah ke pelabuhan Tanjung priok, Jakarta Utara. Pulau Onrust ini juga merupakan markas tentara penjajah Belanda sebelum masuk Jakarta dan mendudukinya. Di pulau inilah tentara Belanda melakukan aktivitas bongkar muat logistik perang.
Tahun 1920-an, Pulau Onrust juga menjadi asrama haji sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi. Pada masa itu Indonesia masih dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Pergerakan rakyat Indonesia dari tokoh panutan dan intelektual dianggap sebagai pemberontakan yang dapat merugikan pihak Belanda.

Belanda memanfaatkan tradisi islam Indonesia yang menganut paham wajib pergi haji ke Arab Saudi. Belanda melakukan propaganda dengan alih-alih untuk membantu menunaikan Rukun Islam tersebut dengan membantu biaya akomodasi bagi para intelektual dengan satu syarat.

Pada waktu itu, transportasi yang digunakan adalah kapal laut yang dapat memakan waktu perjalanan bolak-balik hingga empat bulan lamanya, sedangkan lamanya proses haji di mekah memakan waktu satu bulan. Untuk itu perlu untuk membangun tempat karantina calon haji di Pulau Onrust sebelum kapal-kapal mereka diberangkatkan dari pulau ini. Para calon haji di Pulau Onrust diadaptasikan dengan udara laut sebelum menuju ke Arab Saudi

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, pihak Belanda mengajukan syarata yaitu mereka harus menerima label bersertifikat, dengan gelar ‘Haji’. Hal ini merupakan kebanggaan karena tidaklah mudah pergi haji dan tidak sedikit jika harus mengeluarkan biaya sendiri. Gelar haji ini digunakan sebagai gelar panggilan dan menjadi penanda bahwa seseorang telah selesai menunaikan rukun Islam yang ke-5.

Namun dibalik labelisasi ini, sebenarnya Belanda memiliki maksud untuk menandai pemberontak yang telah dibiayainya ini. Belanda mengamati orang-orang yang berlabel haji ini, karena ketika mereka pergi haji dan mengetahui dunia luar, mereka mengalami perkembangan pemikiran yang menyebabkan mereka menjadi pemberontak.

Contoh tokoh-tokoh pergerakan yang mudah terdeteksi oleh Belanda misalnya Kyai Mojo dan K.H. Agus Salim. Mereka dibiayai dan diberangkatkan ke Mekah agar mudah terpantau keberadaannya. Karena tidak banyak yang sudah berhaji dan dimanapun mereka berada maka masyarakat tetap menjuluki dengan gelar ‘Haji’ ini, sehingga mudah bagi Belanda untuk mendeteksi lokasi sang pemberontak.

Sayangnya hingga kini, masyarakat kita masih banyak yang begitu bangganya dengan gelar ‘Haji’ ini, terlepas dari pengetahuan akan asal muasal gelar ini muncul dipermukaan bumi Indonesia. Bahkan dijadikan titel resmi sekaligus ‘plakat tingkat keimanan dan kekayaan seseorang’ yang bisa sangat besar kemungkinan rianya pada struktur sosial kita. Dan ironisnya, gelar dan kebanggaan haji ini hanya ada di Indonesia :)

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...