Rabu, 08 Oktober 2008

Esensi Sejarah



Sejarah memiliki kedalaman makna yang tak terhingga bagi perkembangan pemikiran dan pemahaman akan apapun. Sejarah dapat tertuang dalam simbol, peninggalan-peninggalan berupa catatan, tradisi dan doktrin-doktrin melalui sebuah perkumpulan atau institusi baik resmi maupun tidak resmi. Kemampuan kita memahami masa lalu sangat menentukan kemampuan kita memahami masa kini. Jadi bagaimana kita membedakan kebenaran dari kepercayaan? Bagaimana kita menulis sejarah kita, personal atau kultural untuk menemukan jati diri kita? Bagaimana kita menembus tahun, abad dari penyimpangan sejarah untuk menemukan kebenaran hakiki?

Mengurai kebenaran sejarah adalah suatu hal yang wajib bagi berbagai dunia pengetahuan, namun akan lain halnya jika sejarah yang coba diungkapkan adalah mengenai kebenaran suatu agama. Hal ini masih menjadi polemik, karena kaum fundamentalis dan tekstualis menganggap tabu jika kebenaran yang terungkap jauh dari intepretasi yang selama ini sudah dijabarkan dan mereka yakini berdasarkan teks-teks pakem. Namun bagaimana jika kebenaran akan fakta lama bahkan ribuan tahun lamanya kemudian muncul seiring dengan teori-teori pendukung, dimana keberadaannya dapat menggoyahkan eksistensi keyakinan yang sudah lama kita jalani?

Di era keterbukaan dan kemudahan akses akan informasi, sangat besar kontribusinya dalam memuaskan dahaga kaum progresif dan religius refusenik untuk mencari kebenaran. Karena bagi mereka, mengeksplorasi keragu-raguan dapat merangsang kepercayaan diri dan menyingkirkan agama dari ruang publik bukan saja tidak realistis tetapi juga tidak produktif.

Hingga saat ini kedudukan agama dan ilmu pengetahuan masih dipisahkan oleh sekat, ibarat memisahkan air dengan minyak maka hal ini akan sulit dilakukan. Agama menuntun kita untuk percaya dulu, jika terjadi ragu-ragu dan mulai berpikir maka kita harus mencari alasan-alasan pembenaran keragu-raguan untuk dapat kembali percaya.

Agama berbeda prosesnya dengan pengetahuan. Pengetahuan diawali dari perkembangan filsafat yang didasari atas keragu-raguan, pertanyaan-pertanyaan, adanya masalah yang muncul, adanya fenomena yang belum pernah dibahas. Kemudian semuanya diproses dengan cara berpikir dan mencari jawaban. Jika jawabannya sudah mampu membuang keragu-raguan, baru menyatakan yakin akan jawaban kebenaran yang didapat. Hasil berpikir tersebut disebut pengetahuan.

Sikap apologetik kaum fundamentalis nampaknya tidak sesuai dengan cara berpikir kaum progresif. Sikap kaum puritan tsb bahkan dapat memunculkan sikap untolerir terhadap terkuaknya suatu kebenaran baru. Pada akhirnya mereka akan semakin mengagungkan agama mereka dan menganggap bahwa hanya agama merekalah yang paling benar. Nampaknya fenomena ini mengakar dalam pada sebagian besar umat Islam di Indonesia seperti contoh FPI yang ngotot mengganyang Ahmadiyah.

Hal ini menimbulkan stigma bahwa umat muslim dianggap belum dewasa. Coba saja kita sedikit belajar pada saat umat Kristiani ketika menanggapi terbitnya novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Meskipun tertuang dalam bentuk novel yang sudah pasti tidak perlu dianggap benar isinya, namun dalam novel tsb menguak fakta-fakta yang dapat mengguncangkan eksistensi gereja dan ajarannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti kaum kristiani kemudian menghujat sang penulis dan melakukan somasi. Mereka mampu mentolerir dan berpikir kembali bahwa keyakinanlah yang terpenting. Terlepas apakah yang mereka yakini selama ini adalah salah jika dirunut fakta sejarahnya. Namun mereka tetap meyakini bahwa jika apa yang selama ini mereka yakini membuat mereka hidup lebih baik sebagai makhluk Tuhan, maka itulah yang mereka jalani.

Umat Kristen sudah mampu menerima kritik. Mereka dapat dengan tenang menjalani keyakinannya, meskipun banyak fakta yang menunjukkan bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. Namun bagi mereka Yesus adalah inspirasi umat manusia. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang Yesus jalankan, dapat dijadikan panutan hidup manusia. Itu saja bukti yang sudah dibuktikan.

Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam sudah siap jika Al-Quran dikritik? Atau apakah sudah benar fakta ke-empat mashab yang menjadi pedoman kaum salafi adalah yang terbaik? atau apakah gerakan sholat yang selama ini kita jalani sudah sesuai esensinya? Dan apakah bacaan-bacaan Quran yang kita coba baca dengan tartil itu sudah benar-benar kita pahami maknanya atau hanya sekedar mengejar pahala? Lalu bagaimana relevansinya antara syariat yang kita jalankan dengan pembentukan karakter mental kita? Berapa banyak dari sekian umat yang mampu membentuk generasi khalifah selanjutnya?

Padahal kritik datang karena kecintaan kita untuk mengoreksi yang telah ada. Kritik untuk mencari kebenaran hakiki yang relevan dengan zamannya. Meskipun pada akhirnya parameter kebenaran akan bermuara pada keyakinan diri sendiri.


-Y-

Tidak ada komentar:

Pilihan dan Alamat Rezeki

Kata Satre begini: "We are our choices" artinya, apa yang menjadikan dan membentuk karakter, nilai atau keadaan kita saat ini adal...