Ada banyak alasan mayoritas muslim melakukan ibadah haji dan umroh seperti misalnya sebagai perjalanan ritual penyucian jiwa; tempat mendekatkan diri kepada Allah; mencari kedamaian; tempat menebus dosa dan taubat; serta melaksanakan haji sebagai kewajiban rukun iman Islam. Inilah main stream yang menjadi kontradiksi ditengah kecamuk resesi ekonomi yang memunculkan banyak kemiskinan. Bahkan dapat dikatakan prosesi spiritual yang ngotot ini mungkin hanya terjadi di kalangan umat Islam.
Ngotot yang sekuel dengan memaksa karena umat muslim berpatokan haji kepada rukun Islam yang notabene wajib dilaksanakan. Padahal esensi ibadah haji, menurut Drs KH Djudjun Djunaedi, MAg (pengasuh ponpes Garut - Antara) sebenarnya adalah ibadah "ghairu mahdoh", yakni ibadah yang lebih menekankan kepada hubungan sosial (hablun minannas), sehingga kuat dimensi sosial-kemanusiaannya.
Ada dua analogi. Pertama, jika kita membeli sebuah minuman jus maka hukumnya adalah mubah jika diminum (dalam status hukum dunia islam boleh dilakukan bahkan cenderung dianjurkan, tetapi tidak ada konsekuensi pahala-.id.wikipedia), namun akan menjadi haram hukumnya bila uang untuk membeli minuman tsb berasal dari hasil mencuri. Kedua, jika dihadapan kita terdapat daging babi maka jelas-jelas hukumnya (QS. 2:173, 16:115) adalah haram jika dimakan, tetapi adalah wajib hukumnya jika kita akan mati apabila kita tidak memakan daging tsb. Sedikit analogi yang menyiratkan fleksibilitas hukum dalam memberi sudut pandang pada sebuah kasus.
Haji adalah hak setiap manusia dalam memenuhi hasrat spiritualnya, dan karena dengan Allah adalah hubungan yang sangat pribadi maka wajar jika setiap insan memiliki cara masing-masing. Melihat pernyataan bapak pengasuh ponpres diatas maka ada baiknya jika kita melihat dari segi manfaatnya dari keutamaan haji ini.
Menurut MenAg tahun 2007 jumlah calon jemaah haji Indonesia mencapai 210.000 dan jumlah umat Islam Indonesia adalah jauh lebih besar dibanding jamaah haji dari 22 negara Arab (-Antara). Data ini menunjukan begitu besarnya antusias warga muslim kita dalam meraih pemantapan spiritualnya. Yah walaupun faktanya gelar haji yang didapat dari hasil perjalanan ruhani ini tidak juga banyak menelurkan jiwa-jiwa yang benar-benar mencerminkan esensinya (seperti si haji yang korupsi, si pak-bu haji yang sombong, yang masih doyan ngibul, yang masih senang bergunjing, yang masih senang judi) maka dikatakan ibadah wajib ber-haji ini korelasinya tidak signifikan terhadap keimanan. Lalu dimana letak hikmah haji?? Apa keistimewaannya??
Tidak sedikit biaya yang ditelan dalam perhelatan ibadah ini, minimal 25juta rupiah per orang. Sungguh ironi mengingat berjuta-juta rakyat Indonesia kelaparan, warga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatannya, penduduk direnggut kebodohan karena tak ada biaya, dan berbagai derita yang selalu menghantui, sedangkan melihat jumlah jamaah haji yang begitu besar menghamburkan uangnya untuk sekedar mengulangi ritual hajinya dengan dana yang sangat berarti bagi orang miskin. Andai separuh saja dari total jamaah mau menyalurkan kepekaannya terhadap penderitaan sesama maka minimal 2.5 trilyun rupiah adalah jumlah yang sangat besar ini dapat mengurangi jutaan perut-perut yang kelaparan.
Perspektif kepekaan sosial adalah cerminan utama realisasi dari keimanan, karena masalah dengan hubungan Allah adalah hubungan vertikal yang sifatnya tersembunyi. Orang lain akan lebih mudah menafsirkan manfaat dari keimanan seseorang apabila kita mau peduli akan kesejahteraan sosial. Kalau hanya menyerap kenikmatan bathin sendiri dengan cara memenuhinya ala ritual-ritual mahal itu sedangkan kita seolah-olah tak memiliki kepekaan terhadap sekeliling, kedengarannya terlalu egois.
Lagi pula bila alih-alih untuk dekat dengan Allah, kenapa harus jauh-jauh ke Arab? Berat diongkos bukan? Kenapa harus jauh mencari perwujudan Allah yang kata orang ada jauh diatas langit? Coba saja istilah, ‘berdoalah pada yang Diatas (Allah)’, pasti familiar bukan? Apa dengan haji untuk biar orang tahu bahwa kita termasuk orang alim? Malah jadi ujub (ria, pamera).
Persepsi umum umat muslim bahwa Allah seperti jauh dari kita adalah sebuah kontradiksi. Allah itu ada dimana-mana, Allah selalu bersama kita kemanapun kita berada (QS. 57:4). Tapi mengapa sepertinya kita jadi mengabaikan hakikat haji dengan alasan yang bermacam-macam. Ibadah adalah baik, namun yang lebih baik adalah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (agar tidak menjadi ria) karena Allah maha mengetahui (QS. 2:271).
Manusia adalah makhluk ciptaan-NYA, segala yang kita lakukan adalah kehendak-NYA, dan semua kejadian adalah takdirnya. Setiap sel dari tubuh kita adalah ciptaan-NYA. Segala aktivitas sel kita juga atas kehendak-NYA, dari mulai pertukaran proton, Na, K serta segala kekompleksan mekanismenya yang tak pernah kita sadari adalah atas kuasa dan kebesaran-NYA. Kumpulan sel membentuk tubuh kita ini adalah sudah takdir-NYA, yang dengan kuasa-NYA tidak ada satupun manusia yang sama persis padahal sudah ribuan tahun Tuhan menciptakan berbagai bentuk manusia. Bahkan benda-benda, tumbuhan, binatang, gunung, langit dan lautan tak ada yang memiliki kekuatan untuk menggerakannya selain Allah. Kedudukan manusia bisa jadi seperti pandangan Bang Cokhy bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan (red-yang persepsi kemungkinan ini sama kedudukannya dengan benda2 lain dibumi), dimana tidak ada satu kejadian pun yang luput dari aturan Tuhan.
Jika manusia dan sekelilingnya serta segala kegiatannya adalah atas kuasa-NYA artinya Allah hakikatnya adalah selalu bersama kita, dekat bahkan selalu menyelubungi disetiap waktu dan keadaan. Lalu mengapa manusia melupakan keberadaan-NYA?
Untuk mendekat dan mencari kebenaran-NYA manusia harus kembali pada kesucian, kembali pada kemurnian hati, ketulusan menjalankan segalanya dalam hidup dan dikembalikan bahwa hidup adalah milik-NYA. Bahwa harta adalah bukan milik kita tetapi titipan-NYA, dimana hanya manusia makhluk yang diberi akal maka manusia adalah khalifah yang bertugas menjaga kehidupan dan keseimbangan sosial dan lingkungan yang adalah manifestasi ciptaan-NYA.
Mengambil istilah Cak Nun untuk ironi beratus ribu jamaah haji dan bahkan umroh ditengah jutaan kelaparan dan kemiskinan rakyat maka legitimasi yang diberikan adalah secara ekstrinsik melakukan ibadah tetapi secara intrinsik mereka tidak beragama.
Sekedar bahan renungan, yang ketika anda berkesempatan membaca inipun, sudah pasti Allah sudah memasukan kedalam catatan-NYA yang disebut takdir. Allah Maha Segala.
-Y-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar