Selasa, 08 Juli 2008

Arus Utama Islam (Chapter 2)

Kokohnya sebuah agama terjadi karena para penganutnya dengan setia melaksanakan tradisi dan ajaran-ajaran yang diwariskan dari pendahulunya. Penyebaran ajaran dilakukan secara berkesinambungan agar rantai kepercayaan tsb tidak terputus disuatu masa dan dapat selalu diturunkan pada generasi berikutnya.


Sebuah keluarga tanpa disadari memiliki tradisi secara paksa mewariskan keyakinan beragamanya kepada keturunannya. Memang adalah sebuah kewajiban jika memberikan pelajaran yang baik kepada anak mengenai konsep dasar pemahaman akan Tuhan akan tetapi bukanlah hak orangtua untuk marah dan kecewa jika ketika dewasa sang anak memilih agama yang berbeda. Karena agama manapun tidak ada yang mengajarkan untuk memaksakan keyakinannya kepada orang lain, walau anak sekalipun.

Namun tidak dapat dipungkiri, kebiasaan warisan keyakinan ini sangat efektif penyebarannya. Seperti Islam yang merupakan ajaran warisan Nabi Muhammad sejak tahun 610 M (tahun pertama keRasulannya) dapat dirawat penyebarannya melalui sahabat dan pengikutnya hingga kini.

Dapat dipastikan bahwa metode utama warisan keyakinan Islam adalah belajar dengan ‘meniru’ (mungkin terdengar aneh), tapi coba lihat cara mengajar agama disekolah-sekolah atau ditempat-tempat pengajian atau mungkin dilingkungan rumah sendiri. Para anak didik dituntut untuk melakukan hal yang sama dilakukan gurunya (bisa orangtua atau guru agama) sebagai contoh seperti yang dikerjakan Rasul, dari mulai cara melaksanakan syariat (wudhu, sholat, puasa) hingga pemahaman-pemahaman akan gambaran tentang Islam dan konsep Sang Pencipta. Ada hal yang wajib dan yang sunah. Wajib hukumnya untuk sholat sedangkan sunnah adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah yang jika umat Islam menjalankannya maka mendapat pahala.

Arus utama pemikiran Islam saat ini adalah mengabaikan kontradiksi mengenai konsep “pahala dan dosa”; “surga dan neraka”; “takut kepada Allah”; "takut mati".

Warisan pemahaman mengenai “pahala dan dosa”, bahwa kita diajarkan untuk melakukan kebaikan agar mendapat pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal diakherat nanti dan kalau berbohong atau berbuat jahat maka kita berdosa dan mengurangi timbangan amal kita.

Entah dari mana awal konsep perniagaan ini, namun agak janggal karena sepertinya dengan Allah kita menjadi hitung-hitungan. Bukankah nikmat dan anugerah yang diberikan-NYA sudah begitu berlimpah, seperti mata yang dapat melihat, organ tubuh yang berfungsi dengan baik, berpikir dan bekerja serta bergerak adalah pemberian-NYA yang patut kita jadikan alasan untuk bersyukur dan mengingat-NYA setiap saat. Setiap nafas saja yang merupakan limpahan nikmatnya kita tidak pernah menghitung, Tapi kok sholat yang hanya 5 menit saja kita minta pahala dan balasan??

Dengan kemelimpahan nikmatnya saja kita tidak mampu membalas kebaikan-NYA, tapi bila kita puasa sehari saja atau sekedar menyebut nama-NYA, lantas kita mengharapkan pahala dan balasan dari-NYA yang setimpal (bahkan ada yang mengharap limpahan rejeki dan tempat yang enak disurga). Apa tidak berlebihan namanya???

Sedangkan ada yang sholat dan puasa kemudian melakukan kejahatan, lalu untuk menutupi dosanya, ia tambahi pahala dengan bersedekah sebanyak-banyaknya dan berhaji tetapi kejahatannya tetap dilakukan karena konsep perniagaan dengan Allah tadi itu yang menurut perhitungannya sudah mencukupi hitungan pahalanya sebagai bekal akherat.

Begitulah contoh potret perniagaan dengan Allah. Dan kenyataannya, banyak yang melaksanakan kewajiban-kewajiban rukun Islam (syahadat, sholat, zakat, puasa, haji) yang masih mengharapkan pahala tanpa menyadari ketidak adilan sikap kita terhadap nikmat Allah atas 'gagasan jual beli' ini.

Kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA. Sholat menjadi wajib karena hakikat sholat adalah mengingat Allah (QS. 20:14). Kewajiban bagi kita bersyukur dengan mengingat-NYA setiap saat karena sebaik-baiknya ibadah adalah mengingat Allah (QS. 29:45) dan ikhlas dalam berserah diri (QS 4:125). Ikhlas adalah tidak mengharap imbalan apapun, baik itu surga sekalipun.

Kemudian jika kita mengharapkan surga bagaimana? Boleh jadi surga itu sendiri sebenarnya tidak ada. Karena jika kita masih mengharap surga, maka akan sama halnya dengan kita melakukan ibadah dengan mengharap pahala. Kalau ikhlas, ya ikhlas saja, tidak meminta atau berharap sedikitpun akan balasan. Kalau kita masih mengharap surga, berarti sama saja kita tidak ikhlas. Terus bagaimana dengan neraka?

Bisa jadi tempat yang namanya neraka pun sebenarnya hanya kiasan dan bukan seperti yang digambarkan bahwa neraka itu ruangan penuh api dan tempatnya setan, bahkan lebih dahsyat lagi anggapan bahwa Allah tempatnya di surga sedangkan neraka tempatnya setan. Toh sampai saat ini belum pernah ada saksi yang benar-benar telah menyaksikan bagaimana gambaran neraka itu bisa disebut sebagai tempatnya setan dan penuh dengan api. Kalau setan di neraka, betapa hebatnya setan bisa menciptakan neraka. Surga adalah ciptaan Allah, maka berarti neraka pun juga ciptaan-NYA. Berarti, Allah berada baik disurga maupun di neraka.

Kemudian kita diajarkan bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan kejahatan berasal dari setan. Bukankah anggapan ini malah menyesatkan? Kan sama saja kita menganggap bahwa kedudukan Allah dan setan sama? Bisa jadi konsep setan sendiri juga bukan merupakan suatu zat atau makhluk. Tetapi anasir jahat yang kerap muncul disifat manusia. Dan kekuatan melakukan kejahatan yang ada dipikiran manusia adalah berasal dari Allah. Pikiran dan kejadian apapun yang ada dikehidupan ini adalah atas kuasa-NYA.

Kita mengenal Asmaul Husna (99 sifat Allah). Tetapi kita hanya dikenalkan sifat-sifat baik Allah, padahal dari 99 tsb juga terdapat sifat buruk. Sehingga ketika melakukan hal jelek maka diklaim berasal dari setan. Padahal yang mengendalikan setan pun berasal dari yang Maha Kuasa, Allah SWT Dzat yang Maha Berkendak.

Kemudian kita diajarkan untuk tidak takut kepada apapun selain Allah. Hal ini menjadi kontradiksi, karena bagaimana kita mau mendekati Allah jika takut? bukankah akan lebih mudah untuk kita mendekat kepada-NYA bila kita dalam keadaan menyayangi-NYA. Cinta-NYA terhadap ciptaan-NYA begitu besar, maka kita pun alangkah nikmatnya jika mampu membalas cinta-NYA.
Takut kepada Allah inilah yang menjadi sumber ide umum bahwa manusia jadi takut mati. Lah wong kita semua ini sudah pasti akan mati, inilah kontradiksi yang diabaikan bahwa kita takut akan hal yang pasti akan kita alami yaitu mati. Inalillahi wa inna Ilaihi Raji'un, kita berasal dari-NYA dan akan kembali kepada-NYA. Jika kita sudah tidak mengharapkan pahala-surga dan tidak takut akan dosa-neraka, hanya ikhlas saja bahwa setiap saat apa yang kita kerjakan adalah berasal dari kekuatan-NYA dan kekuasaan-NYA maka itulah Tauhid.

Pemikiran akan kontradiksi ini muncul karena mungkin saja terjadi distorsi pemahaman mengingat ajaran Islam terjadi sudah berabad-abad tahun yang lalu. Melalui proses pewarisan yang mungkin mengalami pergeseran pemahaman hingga akhirnya sampai kepada kita saat ini yang belum tentu sama seperti persis ajaran pada jaman Nabi Muhammad. (coba saja melakukan permainan berbisik berantai, dari sang pembisik dilanjutkan ke teman sebelahnya secara berbisik terus hingga ketika diucapkan sudah pasti akan berbeda dari sumber pembisik pertama dari mulai kata-kata, gaya mengucap atau tanda baca).
Atau mungkin saja pemahaman yang benar adalah yang menjadi arus utama umat islam saat ini yang mengabaikan kontradiksi tsb, atau bisa jadi sebenarnya kontradiksi itu tidak pernah ada.

Hanya Allah yang tahu, Wallahualam. Allah yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Pemberi Rahmat.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...