“Apa perbedaan antara sejarah dengan kisah?”, pertanyaan ini yang saya coba cari di google. Setelah saya klik pautan Yahoo!Answer
yang berkaitan dengan pertanyaan ini, saya tidak puas dengan jawaban
bahasa Indonesia. Lalu saya cari lagi kata kunci ini dalam bahasa
Inggris, “What is the difference between history and story?” Ternyata saya temukan jawaban di wiki.answer.com seperti ini :
“History is meant to be an objective narrative description of past events, while a story will be a subjective narrative description of either real past events or imaginary people and events.”
Sejarah
adalah rangkaian cerita yang objektif mengenai kejadian masa lalu,
sedangkan kisah adalah rangkaian cerita yang subjektif bisa faktual atau
imajiner mengenai kejadian masa lalu atau orang di masa lalu. Ilmu
sejarah saat ini tidak lagi berada pada tingkat pengetahuan (knowlegde), tetapi telah beralih ke tingkat ilmu pengetahuan (sains).
Metodologi ilmu sejarah semakin menuntut fakta objektif, seperti
layaknya juga ditemui pada cabang ilmu pengetahuan lain yang juga
menuntut bukti-bukti empiris.
Sejarah memiliki
informasi penting sebagai sumber pengetahuan dan pembelajaran berkat
tingkat objektifitas dan faktualitas yang tinggi. Dari sejarah kita
dapat mengetahui secara objektif bagimana mekanisme kebudayaan suatu
peradaban berkembang dan bisa mengetahui faktor keberhasilan dan
kegagalan suatu peradaban.
Bagaimana posisi
‘kisah’ pada struktur pengetahuan masyarakat modern? Nilai moral dan
kebijaksanaan yang terkandung di dalam suatu kisah dapat menjadi sumber
pengetahuan dan pembelajaran. Mengenai faktualitas, alias terjadi atau
tidaknya suatu kisah bukan menjadi nilai penting untuk dikonfirmasi
kebenarannya. Kalaupun ada unsur fakta dalam suatu kisah, hal ini
merupakan suatu kewajaran untuk memudahkan pemahaman pembaca terhadap
nilai moral yang berusaha disampaikan.
Pada masa
awal peradaban Islam, metodologi sejarah belum berkembang. Kisah
mengenai tokoh politik dan keagamaan sering kali digambarkan secara
metaforis dan hiperbolis. Belakangan, Ibnu Khaldun (1332-1406) asal
Tunisia merupakan salah satu ilmuwan sejarah Islam yang menegaskan
perbedaan antara sejarah dan kisah.
Menurut
Ibnu Khaldun, para pemikir sebelum masanya cenderung tidak sistematis
dalam mengemukakan analisis sejarah. Kebanyakan dari mereka bahkan tidak
menggunakan analisis, melainkan deskripsi semata. Pendekatan semacam
itu sangat berbahaya karena akan mereduksi realitas sebenarnya menjadi
hanya yang tampak di permukaan.
Para peneliti
sebelum Ibn Khaldun bahkan tidak mampu membedakan antara asumsi dan
fakta sejarah. Hal itu bisa terlihat dalam fakta-fakta sejarah yang
dikemukakan acapkali tidak masuk di akal. Logis tidaknya sebuah
peristiwa yang diceritakan menjadi salah satu parameter kunci untuk
memastikan apakah peristiwa itu memang benar terjadi atau kisah turun
temurun.
Adalah sebuah kerepotan kalau kita
menyamakan antara sejarah dan kisah. Sebuah sejarah cenderung realistis
dan manusiawi, sedangkan kisah sering kali memasukkan unsur metafora dan
melebih-lebihkan (hiperbola). Kalau detil-detil sebuah kisah dianggap
sebagai fakta, kita jadi cenderung ‘ahistoris', tidak realistis, dan
tidak manusiawi. Bisa jadi kita malah terpaku meyakini imajinasi dalam
kisah sebagai hal yang faktual dan gagal menangkap pesan moral dalam
kisah itu.
***
Isra’ Mir’aj
Kalau
kita masuk ke dalam kebudayaan Islam klasik, kisah dan sejarah di masa
lalu masih belum dapat dibedakan. Penulis sejarah (kisah) pertama nabi
Muhammad adalah seorang tabiin bernama Ibnu Ishaq sekitar abad pertama
Hijriah (d. 767M). Hasil tulisannya mempengaruhi beberapa penulis lain,
antara lain Ibnu Hisyam (d. 833M) dan At-Tabari (d. 923M).
Kerepotan
‘sejarah vs kisah’ misalnya terjadi pada Isra’ Mir’raj. Versi yang kita
tahu selama ini terutama berasal dari kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu
Hisyam. Lebih lengkap mengenai Sirah ini dapat dilihat di tautan ini. Berikut ini saya ambilkan cuplikan kisah yang kita ketahui secara umum dari pautan wikipedia versi Indonesia ini :
“Peristiwa Isra Mi'raj terbagi dalam 2 peristiwa yang berbeda. Dalam Isra, Nabi Muhammad SAW diberangkatkan oleh Allah SWT dari Masjidil Haram hingga Masjidil Aqsa. Lalu dalam Mi'raj Nabi Muhammad SAW dinaikkan ke langit sampai ke Sidratul Muntaha yang merupakan tempat tertinggi. Di sini beliau mendapat perintah langsung dari Allah SWT untuk menunaikan shalat lima waktu.”
Kisah
yang diambil dari kitab Ibnu Hisyam ini adalah sumber utama cerita
Isra' Mi'raj. Di belakang hari, beberapa ulama menafsirkan beberapa
ayat-ayat Al-Quran sebagai referensi kisah Isra' Mi'raj ala Ibnu Hisyam.
Tentang Isra' diambilkan ayat 17:1, yaitu surat Al Isra' atau bani
Israel, yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia sbb:
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)”
Sedangkan
ayat Mi'raj diambilkan dari surat An Najm, yaitu surat ke-53 (dalam
Mushaf Utsmani). Secara literal, kata ‘Mi’raj’ tidak ditemukan pada
Al-Quran. Ayat ini diambil sebagai referensi karena terdapat kata ‘Sidratil Muntaha’ yang merupakan tempat yang dikunjungi Nabi Muhammad ketika Mi’raj. Berikut ini adalah terjemahan Bahasa Indonesia ayat ini :
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (53:13)
(yaitu) di Sidratil Muntaha. (53:14)
Di dekatnya ada syurga tempat tinggal, (53:15)
(Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. (53:16)”
***
Ada
beberapa permasalahan kalau ayat-ayat ini dijadikan referensi kisah
Isra’ Mi’raj’. Pada kisah Isra’, kata ‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1
ditafsirkan sebagai Masjid Al-Aqsa di Jerusalem. Padahal bangunan
Masjidil Aqsa itu sendiri baru didirikan setelah kematian nabi Muhammad.
Ada yang berpendapat pembangunan pertama pada kekhalifahan Umar.
Belakangan ada versi lain yang menyebut pembangunan pertama dilakukan
pada awal masa dinasti Ummayah.
Selanjutnya,
pada masa Abdul Al-Malik dari Dinasti Abasyiah (690M), di sebelah
Masjidil Aqsa dibangun masjid yang lebih besar lagi bernama Masjid
Qubbat As-Sakhrah (Dome of Rock) yang kadang juga disamakan dengan
Masjidil Aqsa (sebenarnya berbeda). Jadi pada waktu nabi Muhammad
melakukan perjalanan Isra’ kedua bangunan ini belum ada.
Beberapa
tafsir modern, seperti misalnya tafsir Yusuf Ali, menerjemahkan
‘Masjidil Aqsa’ pada ayat 17:1 sebagai ‘tempat sujud terjauh’. Tempat
sujud terjauh pada zaman nabi hidup ditafsirkan sebagai Baitul Maqdis di
Jerusalem yang saat itu masih dalam kekuasaan kerajaan Persia dan
merupakan kiblat shalat umat Muslim ketika itu. Baru pada masa
kekhalifahan Umar-lah kekuasan Islam mencapai Jerusalem sehingga
Masjidil Aqsa dapat direalisasikan sebagai bangunan masjid.
Sebuah
alternatif tafsir yang juga berbeda, ayat 17:1 ini kalau kita lihat
dalam konteks urutan ayatnya lebih cocok direferensikan pada kisah Bani
Israel yang memiliki kebiasaan berjalan (hijrah) pada malam hari.
Berikut ini kita lihat urutan ayat Al-Isra :
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-hambaNya (Bani Israil) pada suatu malam dari tempat sujud yang suci (Masjidil Haram) ke tempat sujud yang terjauh (Masjidil Aqsa) yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (17:1)
Dan Kami berikan kepada Musa kitab (Taurat) dan Kami jadikan kitab Taurat itu petunjuk bagi Bani Israil (dengan firman): "Janganlah kamu mengambil penolong selain Aku, (17:2)
(yaitu) anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. (17:3)”
Ketidaksinkronan
ini juga terjadi pada kisah Mir’raj’. Kita mengetahui bahwa Al-Quran
yang diwahyukan ayat per ayat secara berangsur, Surat An-Najm yang
dipandang sebagai ayat legitimasi Mi'raj itu secara urutan turun lebih
dulu dibandingkan dengan Al-Isra’ ayat 1, paling tidak lima tahun
sebelumnya.
Dari mengacu dari segi waktu
turunnya ayat, berarti Isra dan Miraj tidak terjadi secara bersamaan.
Apakah mungkin peristiwa Mi’raj’ tidak terjadi dalam satu malam dengan
peristiwa Isra’, melainkan terjadi lima tahun lebih cepat dari Isra’ ?
***
Argumen
kedua ayat ini sebagai referensi faktual Isra’ dan Mi’raj’ sulit untuk
dipertahankan. Sejauh ini, kisah Isra’ Mir’aj baru dapat direferensikan
oleh kitab Sirah Nabawiyah karya Ibnu Hisyam. Kitab biografi Muhammad
klasik yang lain tidak pernah menyebutkan kisah ini, seperti misalnya
pada kitab Tarikh al-Tabari.
Memahami
pesan moral yang dibangun pada kisah Isra’ Mi’raj’ ini memiliki hikmah
tersendiri. Meskipun begitu, mempercayai kisah Isra’ Mi’raj versi Ibnu
Hisyam secara detail sebagai hal yang benar-benar terjadi (faktual)
memiliki resiko bagi kita menjadi seorang yang ahistoris dan tidak
realistis.
Belum ada kesepakatan di antara ulama kapan Isra’ Mi’raj ini terjadi, bisa dilihat pada tautan ini.
Di Indonesia yang penduduknya mayoritas Muslim bermazhab Syafi’i,
peringatan Isra’ Mi’raj ini dirayakan setiap tanggal 27 Rajab
turun-temurun secara besar-besaran dan merupakan hari libur resmi
keagamaan.
Sebenarnya masih banyak lagi
fenomena ‘sejarah vs kisah’ lain. Tapi kok jadi serius dan terlalu
panjang ya? Pusing-pusing, buat orang Indonesia yang penting kan jadi
hari libur.. Ya nggak? :)
( Tulisan ini sepenuhnya saya kopi dari tulisan Cokhy )
1 komentar:
Makasih ya gan , blog ini sangat bermanfaat sekali .............
bisnistiket.co.id
Posting Komentar