Minggu, 01 Juli 2012

Liburan ke Kota Tua

Liburan anak sekolah masih berlangsung. Ketika saya sedang mengunjungi para krucil (ponakan-ponakan saya) di rumah Ibu, salah satu krucil mengajak saya untuk mengunjungi kawasan wisata kota tua. Dia sampai menyebutkan harga tiketnya yang hanya 2000 rupiah. Waaahh.. saya pikir ini ide menarik, wisata yang murah meriah. Saya pun belum pernah mengunjunginya. Keesokan harinya saya mulai mencari info di Internet, dan ternyata sangat menarik. Di Kawasan kota tua banyak terdapat museum yang bisa dikunjungi.
--
Saya sudah pelajari lokasinya, berhubung saya membawa ponakan yang masih bayi serta sebagian yang masih anak-anak, jadinya kami pergi menggunakan mobil. Kalau dilihat dari fasilitas transportasi yang ada disekitar Kota Tua dan tidak mempertimbangkan membawa anak-anak, maka naik bis Transjakarta rasanya masih bisa nyaman. Dan tak lupa, kami membawa bekal dari rumah.


Suasana Kawasan Kota Tua
--
Sesampainya di kawasan Kota Tua, suasananya sangat ramai, dan para krucil sangat terkesan dengan hingar bingar dan pemdangan museum. Museum pertama yang kami kunjungi adalah Museum Fatahillah, hanya 2000 rupiah perorang. Meskipun dikenakan retribusi, namun museum terlihat kurang terawat. Adanya larangan dilarang mengambil foto pun nampaknya tidak diindahkan oleh para pengunjung. Begitu juga larangan untuk tidak menyentuh benda yang dipamerkan, namun nampaknya masyarakat kita belum sepenuhnya dapat menghargai sebuah sejarah. Mereka datang kelihatannya wajin untuk berfoto ria, dan tentunya sambil memegang dan berpose seolah-olah sedang berinteraksi dengan benda museum. Wah, ini memprihatinkan sekali. Memang sih, tidak ada larangan dari petugas. Semua larangan hanya bersumber dari signage atau tanda yang ada di dalam museum. Meski demikian, saya mencoba menjelaskan kepada para krucil alasan adanya larangan berfoto dan menyentuh benda-benda itu dan kami berusaha untuk mentaati aturan yang berlaku. Kami berfoto diarea yang diperbolehkan. 

--
Setelah selesai dengan Museum Fatahillah, lalu kami makan siang dulu dengan bekal yang kami bawa. Hehe.. kirain tempatnya seperti monas, yang tersedia ruang umum untuk kita gelar tikar, eh ternyata digelar tiker buat pedagang. Yah.. saya pikir, kawasan ini seharusnya adalah ruang umum/publik, jadi tidak salah kalau kami makan bekal kami. Setelah mencari tempat yang agak nyaman (ditengah hilir mudik orang), kami akhirnya lesehan tanpa tikar. Tentunya kami percaya diri bahwa makan siang kami lebih higienis dibandingkan jajanan yang sembarangan. Lalu kami pun kenyaaaang...
--
Kemudian kami lanjutkan ke Museum Bank Indonesia. Nah.. disini gratis dan Museumnya sangat terpelihara dengan baik. ber-AC dan sangat bersih. Disini banyak pelajaran yang bisa diambil, karena sejarah tentang BI dipamerkan dan tertuang dengan indah dan menarik. Selain itu, petugasnya ramah dan aturannya sangat jelas. Di BI boleh mengambil foto, asalkan dibeberapa tempat tertentu tidak boleh menggunakan pencahayaan kamera. Selain itu juga ada permainan dengan cara menjawab teka-teki terlebih dahulu Yeaaah... kami berhasil memecahkan pertanyaan, cuma sayangnya saat permainan melempar anak panah, tak ada yang menancap ditengah target, jadi kami hanya membawa pulang tas saja. Lumayan :)

Oiya.. ketika dari Museum Nasional lalu ke Museum Bank Indonesia, terdapat seperti halaman yang cukup rindang dan tidak terlalu riuh dengan lalu lalang, kemudian kami jadi bersemangat kalau ke Kawasan Kota Tua lagi, maka kami akan gelar makan siang kami disini. Hehe..


Lokasi yang asyik buat lesehan
--
Perjalanan terakhir adalah Museum Bank Mandiri, tidak perlu membayar tiket untuk masuk, namun hanya mengisi buku pendaftaran saja. Disini boleh berfoto ria. Tidak banyak informasi tertulis yang bisa dipelajari, di Museum ini nampaknya biarlah benda-benda kuno berbicara sendiri mengenai sejarah. Di Museum ini terdapat evolusi teknologi mesin tulis, dari mesin ketik gede sampai komputer yang lumayan modern. Selain itu juga dipamerkan evolusi alat penghitung uang. 
--
Sedikit pendapat saya tentang ketiga museum, begitu terlihat jelas bahwa museum tanpa pemilik seperti Museum Fatahillah terlihat kusam dan tidak terawat meskipun ada biaya yang dikenakan kepada pengunjung. Dibandingkan dengam kedua museum bank, dimana kesan sponsor menandakan institusi pemilik yang menanganinya, berusaha menunjukkan besaran tanggung jawab dalam memelihara bangunan tersebut. Setahu saya, Museum Fatahillah adalah wewenang pemerintah daerah, jadi selayaknya performa museum menunjukkan besaran keseriusan dalam mengelolanya. Semoga saya salah...

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...