Rabu, 16 Mei 2012

Filsafat dan Askesis

Sekitar lima tahun yang lalu, saya sering berada ditengah dua orang yang berdiskusi, saya menjadi orang ketiga yang hanya mendengarkan dan menyerapnya, jarang (bahkan tidak pernah) bertanya apalagi menanggapi. Keadaan ini berlangsung cukup rutin, hampir setiap malam kecuali akhir pekan, selama kurang lebih empat tahun. Hal yang didiskusikan sangat beragam, dari mulai pekerjaan, kegiatan harian, sains, politik, sosial, ekonomi dan agama. Kami menyebutnya, kuliah malam.

Bagi saya, membangkitkan keingintahuan itu tidak mudah, awalnya saya bisa ketiduran karena tak sanggup mengikuti diskusi bahkan kadang menganggapnya tidak menarik, kemudian lama-lama saya bisa menahan kantuk demi mendengarkan diskusi selanjutnya. Namuuuun, ternyata menjadi pengamat saja tidak cukup, maka saya berusaha membaca buku untuk dapat mengikuti alur diskusi. Dengan membaca dulu, membuat saya lebih kaya dan semangat sekali, namun rasanya kok saya makin bodoh ya. Hingga satu saat, saya punya pertanyaan yang benar-benar membuat saya merasa sangat terguncang sekaligus tercerahkan. Dan itu saya ajukan ke guru-guru saya itu, dimana mereka tidak menjawabnya, karena jawabannya mereka serahkan kembali kepada saya. 

Baiklah, itu tadi adalah latar belakang yang membawa saya menyukai filsafat, dimana jaman adanya tokoh filsuf itu sudah muncul jauh sebelum era kejayaan Islam lahir. 
--
Saya sulit menghafal mengenai sejarah filsafat, untuk mudahnya saya coba mengenal tokoh-tokoh filsafat dari buku komik “Filsuf Jagoan”, jumlahnya ada 4 seri. Sajian visual, membuat saya ringan mengenal pemikiran-pemikiran para filsuf. Kemudian, saya coba mengenal pemikiran Sokrates melalui buku terjemahan pak Iones Rakhmat yang berjudul “Sokrates dalam Tetralogi Plato”. Lalu kemudian saya membaca novel Jostein Gaarder, “Dunia Sophie”. Padahal novel ini, sudah saya kenal sejak saya di Solo lewat kawan dekat saya yang sudah lebih dulu melahapnya, sedangkan saya baru membacanya setelah 10 tahun kemudian. Bukan main berarti kawan saya itu, saat ini ketika membacanya rasanya sulit untuk mencernanya, apalagi kalau bacanya 10 tahun yang lalu :) 
--
Beberapa minggu lalu, Salihara mengadakan kelas filsafat tentang Keutamaan, tentu saja saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dan, pengalaman mengikuti kelas filsafatlah yang membawa saya gatal untuk menumpahkan pikiran saya melalui tulisan ini.
--
Kejenuhan akan diskusi monotheistik membangkitkan kembali diskusi-diskusi filsafat sebagai ilmu dan cara hidup. Beberapa orang yang terjebak di dalam agama warisan dan memilih bersikap moderat bahkan agnostik, mungkin akan mencoba mereguk pencerahan melalui kajian filsafat untuk sekedar menghilangkan dahaga. Sebagian mungkin sungguh-sungguh mempelajarinya sebagai ilmu pengetahuan, sebagian lagi mungkin mencoba mencuplik ajaran yang masih relevan untuk diterapkan pada konteks sekarang atau sebagai pencarian kebijaksanaan. Kajian seperti ini, cukup merangsang intelektual untuk memahami hermeneutik tanpa perlu takut disalahkan jika pembahasan tidak sesuai dengan kitab suci agama tertentu. Karena filsafat bukanlah peninggalan nabi seperti Alquran yang oleh arus utama Islam diyakini tidak dapat diragukan kebenarannya.

Sedikit banyak diskusi ini memang menjabarkan hal yang normatif, namun karena dari setiap pemikiran ada penjelasan yang melatar belakangi, maka menjadi menarik. Memang tidak harus dengan filsafat untuk mendapatkan pelajaran mengenai nilai-nilai universal. Di kajian-kajian agama manapun pasti kita bisa mengambil pelajaran hidup yang disepakati seluruh umat manusia secara umum, misal: jujur, saling mengasihi dan sabar. Namun, kembali lagi ke kelas filsafat, beberapa peserta diskusi mencoba mengambil pelajarannya dengan menarik kesimpulan diskusi secara elektik atau memilih nilai yang ditawarkan yang sesuai dengan jaman ini sebagai salah satu cara hidup.
--
Menurut Epiktetos : “Yang meresahkan manusia bukan hal-halnya itu sendiri, melainkan penilaian mereka atasnya”. Pemahaman ini mungkin sudah tersebar luas, dimana kita tidak mungkin mengontrol segala apapun yang terjadi atau yang ada disekitar kita. Kita tidak bisa mengatasi apa yang ada terjadi diluar, kita tidak mungkin mem-block pikiran orang lain untuk berhenti menghakimi kita. Namun yang bisa kita lakukan adalah menilai orang lain atas apa yang mereka lakukan kepada kita, bahkan terkadang kita mengevaluasi orang lain atas apa yang tidak dilakukannya, inilah hal yang paling tidak bijaksana, dimana kita hanya menebak, berasumsi sendiri. Alhasil reaksi kita akan beragam, dari mulai raut wajah, nada bicara hingga gesture yang mewakilkan hasil kerja otak kita. Gembira merupakan reaksi yang positif, sedangkan emosi, sedih dan cemberut adalah reaksi negasi atas kenyataan yang diharapkan. Dan, sesuatu yang berlebihan, bukanlah hal yang baik.

Kita perlu menyadari bahwa kita tidak dapat mengendalikan apa yang ada diluar kita, namun kita masih dapat mengendalikan apa-apa yang tergantung pada kita, artinya apa-apa yang menyangkut pikiran kita (hasrat, dorongan, dan cara penilaian). Obyek pengendalian diri itu dapat ditempuh dengan latihan. Tujuannya yaitu untuk melatih otak mengabaikan pikiran-pikiran buruk atas apa-apa yang tidak bisa dikendalikan oleh kita, sehingga bisa menghasilkan tutur kata dan perbuatan yang sesuai dengan rasio yang bijaksana.

Mahatma Gandhi merupakan tokoh yang senantiasa bersikap tenang menghadapi tekanan yang terjadi atas diri dan negaranya. Ketenangan membawanya menelurkan gagasan yang solutif dengan cara yang bijaksana. Sekilas nampaknya seperti utopis, tapi bisa jadi ini sebuah tantangan. Coba kita lihat konteksnya di era masa kini yang menawarkan konsep demokratis, dimana semua orang bisa mengungkapkan pendapatnya.

Berbagai macam jejaring sosial dan kolom website seperti facebook, twitter dan blogspot menawarkan wadah aspiratif, tak jarang menjadikannya sebagai buku harian atau tempat hujatan atas orang lain, organisasi, lembaga atau apapunlah bisa, karena kita bisa dengan mudah mengungkapkan opini melalui tarian jemari yang gemulai diatas tombol gadget. Kita juga dengan mudah disuguhkan beragam informasi yang membuat kita tidak hanya sekedar menelannya tetapi juga menimpali dengan penilaian yang kita pahami. Contoh ekstrimnya adalah melihat/membaca fakta adanya penyerangan FPI terhadap diskusi buku Irshad Mandji yang diselenggarakan baru-baru ini dibeberapa tempat. Hal-hal ini adalah diluar kehendak kita, yang jika kita coba ikuti beritanya tak sedikit yang akan terbawa emosi. Meskipun diam, bukan sebuah solusi, akan tetapi reaksioner pun hanya menawarkan kepuasan diri, kemudian lelah, pun juga belum tentu sebagai solusi. Disini perlu latihan untuk meluruskan cara berbahasa karena ini berkaitan dengan cara kita merepresentasikan atau mengevaluasi sesuatu. Dengan Askesis (latihan), maka kita akan memiliki kebiasaan baik.

Ini pelajaran hidup buat saya, karena dalam menanggapi sebuah fakta seringkali banyak dibumbui oleh opini. Dimana opini merupakan hasil kerja otak kita dalam mengevaluasi suatu fakta. Namun tak jarang, opini-opini yang muncul akhirya mengaburkan fakta yang sebenarnya, sehingga fakta menjadi terkubur dan hanya menyuburkan opini-opini saja. Seringnya orang malah malas menggali fakta yang sebenarnya, tetapi asik mengikuti opini orang lain. Bisa jadi, ini yang sebenarnya terjadi hingga muncul segmentasi kalangan yang kita sebut dengan bigot. Ahh... saya mulai beropini lagi.

Oiya, berhubung saya bukan filsuf, berikut tulisan Epiktetos yang menarik dan seakan mengajarkan untuk tetap rendah hati, dimana temanya bisa saja ditempatkan tidak hanya tentang filsuf saja tetapi agamawan atau ulama juga bisa barangkali. “Jangan pernah mengatakan di mana pun bahwa kamu seorang filsuf, dan jangan mendiskusikan terus menerus di depan orang profan (vulgar) tesis-tesis filosofis, melainkan lakukan apa yang dikatakan tesis-tesis tersebut. Lebih baik banyak-banyaklah diam. Jadi, jangan menunjukkan kepada kaum vulgar tesis-tesis filosofis, melainkan tunjukkanlah karya-karyamu hasil dari pencerahanmu atas tesis-tesis tersebut".

Demikian tadi, kira-kira yang saya dapat dari kelas filsafat yang dibawakan oleh Bapak Agustinus Setyo Wibowo tentang Stoikisme: Keutamaan melalui Askesis. Semoga berguna.

-Y-

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...