Selasa, 26 Mei 2020

Opini: Masa Pandemik Covid-19

Pandemik ini tidak terjadi sendiri di sini. Kejadian ini menerpa masyarakat di seluruh penjuru dunia. Semua mengalami kesulitan ini. Banyak yang kehilangan pekerjaan, tempat tinggal dan kelaparan. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Karena virus Covid (corona virus disease) ini begitu mudah menular. Sementara, belum ada vaksin atau obat untuk virus tsb. Masyarakat dihimbau untuk mencegah penularannya dengan cara mengurangi kontak fisik dengan orang lain. Karena tidak bisa dilihat siapa orang yang benar-benar positif teridap virus covid ini. Bisa saja kita bertemu di jalan, di kendaraan umum, di warung atau di mana saja dengan keadaan yang terlihat sehat. Terkait hal ini, maka Pemerintah menghentikan operasional transportasi publik seperti Mass Rapid Transportation (MRT), pengurangan operasional bus trans dan Kereta Rel Listrik (KRL). Bandara dan kereta antar kota ditutup. Ojek online tidak boleh membawa penumpang, mobil online dan taksi diberikan aturan ketat untuk tetap beroperasi.

Dalam skala nasional, sejak penandatanganan Pembatasan Sosial Berskala Besar-PSBB (31/3/2020), pemerintah daerah mulai memberlakukan kepada dunia usaha dan sekolah untuk dapat bekerja, bersekolah dan beraktivitas dari rumah. Tentu tak semua pekerjaan dapat dilakukan dari rumah. Hanya layanan esensial yang masih bisa beroperasi dari tempat usahanya. Dengan keadaan begini, maka banyak usaha yang mengurangi jam operasionalnya atau bahkan berhenti sejenak. Restoran hanya boleh melayani pembelian yang dibawa pulang, tidak boleh makan di tempat. Bangunan publik ditutup, MUI mengeluarkan fatwa agar tidak solat di masjid atau berziarah, bahkan pemerintah melarang aktivitas mudik. Banyak hotel, semua mall dan tempat wisata ditutup. Akibatnya, pemasukan usaha menjadi berkurang, sementara karyawan harus tetap digaji, sehingga pengurangan pendapatan karyawan dilakukan atau bahkan merumahkan dan memberhentikan sementara.

Situasi ini membuat warga yang hidupnya sudah sulit kian menjadi sulit. Tidak hanya sektor formal yang berdampak negatif, sektor informal pun semakin terpuruk. Di Indonesia tahun 2019 itu ada sekitar 57% orang yang bekerja di sektor informal, sektor yang masih dominan. Contoh saja, jualan es cendol keliling dengan gerobak. Kalau semua orang menahan diri untuk ke luar rumah dan anak-anak tidak jajan dari luar rumah, maka dari mana tukang es ini dapat menjual dagangannya. Potret semacam ini tersebar melalui media sosial dan menimbulkan empati bagi sebagian besar masyarakat kita. Kisah sedih antar sesama manusia ini, meningkatkan kepedulian sosial. Tak sedikit yang berusaha bahu membahu membantu sesama untuk meringankan beban mereka yang membutuhkan dan saluran bantuan untuk mendukung alat pelindung diri bagi tenaga kesehatan yang menjadi garda depan dalam berjuang untuk menangani pasien-pasien yang terinfeksi covid. Namun, prinsip oksigen harus tetap ditegakkan, yaitu menggunakan masker oksigen untuk diri sendiri agar tetap dapat menolong orang lain. Artinya, kita tetap harus tetap waspada terhadap virus ini.


--

Perubahan adalah niscaya. Semua orang berusaha mengikuti perkembangan agar tetap bertahan dan selalu sehat. Informasi tentang definisi dan tips pencegahan dari covid pun dapat berubah dalam hitungan jam. Begitu banyaknya jumlah korban dan kematian bergulir setiap hari dalam 2 bulan terakhir. Perhari ini (26 Mei 2020), di dunia ada kasus terinfeksi sudah hampir 5,6 juta orang, angka sembuh 2,4 juta orang, meninggal 347.950 jiwa. di Indonesia sendiri ada lebih dari 22.000 kasus terinfeksi, dengan angka kematian 1.391 jiwa. Tapi angka tes kita hanya 940 orang/1 juta penduduk, angka ini rendah sekali jika dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam, Malaysia, Philipina dan Thailand. Padahal jumlah penduduk kita jauh lebih besar dibandingkan negara-negara itu. Di sisi lain, laporan Pemprov DKI mengatakan angka pemakaman di DKI Jakarta meningkat tajam pada bulan Maret dan April 2020 yaitu bertambah lebih dari 1000 pemakaman. Oleh karena itu, melihat angka laporan kematian akibat covid di negara kita seperti melihat ironi.

--

Sejak 13 Maret 2020, kantor saya memberlakukan aturan bekerja dari rumah. Beberapa kantor lain juga menerapkan aturan yang sama. Keadaan seperti ini menuntut masyarakat untuk melek teknologi. Semua pertemuan dan diskusi terjadi dalam bentuk tatap muka melalui dunia maya. Sekolah pun demikian. Anak sekolah dan mahasiswa (mau tidak mau harus) menjadi sigap untuk tetap terus mendapat pelajaran, melalui pembelajaran online, ataupun televisi nasional. Tentu Pemerintah sudah memikirkan untuk daerah yang tak terjangkau teknologi internet, maka televisi atau whatsapp adalah sarana untuk memudahkan transfer informasi dari sekolah kepada muridnya. Para pengajar pun menjadi ekstra berlatih untuk menyampaikan pelajarannya kepada murid melalui media komunikasi dan platform online. Tak sedikit pengajar honorer yang berkurang gajinya karena pemotongan anggaran pengeluaran di lapangan. Namun, mereka hanya dapat mengeluh, karena solusi nampaknya tak kunjung di depan mata. Dan lagi harus bersyukur karena masih mendapatkan rejeki dengan masih bekerja. Karena sangat banyak yang menjadi tidak beruntung dari keadaan ini.

Di sisi rumah tangga, alokasi anggaran ongkos sekolah beralih untuk anggaran makan, listrik dan kuota internet yang membengkak. Para orangtua memutar otak untuk membuat anak-anak tetap dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan betah di rumah. Padahal biaya sekolah tetap saja ada. Para orangtua harus pandai membagi waktu dengan mengurus anak dan bekerja. Para asisten rumah tangga pun tak lagi dapat leluasa bekerja. Sebagian dari mereka diberhentikan karena para orangtua kini sudah dapat bekerja di rumah dan mampu menangani pekerjaan rumah tangga, mungkin juga karena pemasukan para orangtua inipun berkurang dan untuk mengurangi risiko kontak langsung dengan orang lain.

Memasak sendiri adalah tren baru, karena dapat menghemat uang makan dan dapat mengatur porsi serta dirasa lebih higienis. Para orangtua pun harus berkreasi dengan makanan untuk membuat keluarga tetap hangat dan bersemangat. Kreatifitas bermunculan melalui media sosial dan situs-situs pendukung. Beragam bentuk aktivitas kreatif di dalam rumah bermunculan. Hal ini karena setiap orang harus pandai menghibur diri dari dalam rumah untuk menggantikan kebiasaan aktifitasnya di luar rumah. Melalui media sosial dan situs pendukung maka masyarakat global bisa saling menghibur dengan konten dan kreasinya. Banyak sisi baik dari keadaan ini yang dapat dirasakan, seperti: jalanan menjadi sangat lengang, kicau burung begitu nyaring terdengar karena riuh rendah bunyi nada di stasiun kereta api jauh berkurang, asap kendaraan tidak mengepul, langit menjadi cerah dan biru.


Jakarta, Senin, Lebaran, 25 Mei 2020, Langit Cerah dan Biru

Model belanja kebutuhan sehari-hari pun berubah. Tak sembarang orang bisa lalulalang ke pasar tradisional. Saat pandemik ini, diatur jam untuk beroperasional dan lebih pendek, ada jam untuk dibersihkan dan disemprot disinfektan. Dan pengunjung diwajibkan memakai masker. Jaga jarak sulit mengaturnya, tetapi sebagian terlihat ada yang menggunakan sarung tangan saat berbelanja. Bagi yang memiliki rejeki lebih, mereka memilih berbelanja melalui online untuk mengurangi risiko dan efisiensi serta berbagi rejeki kepada jasa pengantar belanja. Belanja online menjadi sangat marak aktivitasnya. Jasa pengiriman barang menjadi sibuk. 

Mengenai kebiasaan-kebiasaan baru yang terbentuk. Cuci tangan adalah kebiasaaan baru yang digemakan. Baru tahu dari link ini, bahwa di dunia ini lebih banyak orang yang punya hp (5 milyar orang) dibandingkan orang yang memiliki kemampuan mencuci tangan di rumahnya (4,8 milyar orang). Artinya, memang perlu dipaksakan untuk menciptakan kondisi ideal seantero dunia. Di beberapa komplek perumahan terlihat meletakkan fasilitas di halaman rumahnya berupa bak, keran dan sabun untuk memfasilitasi orang sebelum masuk rumahnya atau sekedar ingin mencuci tangan. Kreasipun macam-macam deh.


Bersiap untuk New Normal Juni-Juli 2020

Masih banyak lagi kebiasaan-kebiasaan baru yang tercipta di masyarakat dari upaya pencegahan covid di masyarakat sejak sekitar pertengahan Maret hingga akhir Mei ini.
Kalau kata sebuah sumber, buat seseorang perlu rerata 66 hari untuk mengubah kebiasaan. Jadi, kalau ada survey mungkin sebagian dari kita sudah terbiasa dengan model ini. Tanpa ngopi di mall, tanpa nongkrong, tanpa cuci mata di pusat perbelanjaan, tanpa beribadah di fasilitas umum peribadatan.

Adapun upaya untuk memulihkan perekonomian dan kegiatan sosial di masyarakat adalah Pemerintah mengeluarkan skema-skema new normal yang diprediksikan berlaku di bulan Juni, tentu dengan syarat dan kondisi tertentu untuk dapat mengaktifkan kegiatan sosial dan usaha di masyarakat dengan skema new normal ini. Hal ini akan berlangsung sampai dapat ditemukan vaksin atau obat untuk virus ini. 

Per hari ini, sudah 75 hari saya lakukan kebiasaan baru yaitu beraktivitas di rumah saja. Nampaknya saya sudah terbiasa dengan model ini. Kalau untuk ke kantor lagi, berarti perlu 66 hari ini untuk terbiasa dengan aktivitas baru. Hehe.. jadi, apakah berarti ini, saya jadi keenakan bekerja dari rumah? atau saya yang memang biasa bermalas-malasan? :)


26 Mei 2020
-Y-

(saya tahu banyak sekali tulisan tentang keadaan pandemik ini yang bagus-bagus. Saya menulis ini hanya untuk pengingat diri saya sendiri tentang keadaan luar biasa ini. Betapa manusia berubah secara global dan adaptasi yang luar biasa dari makluk planet bumi ini)  

Tidak ada komentar:

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian IV)

Ancol, 2012 Belum lama diminggu lalu, muncul lagi istilah childfree saat seorang kawan menanyakan keadaan saya. hehe.. sudah lama rasanya to...