Menurut sebuah artikel, ada dua tipe pasangan suami istri yang tidak memiliki anak. Pertama, pasangan suami-istri yang memang tidak bisa memiliki anak secara biologis karena secara medis tidak subur (infertil). Kedua, pasangan suami-istri yang memang memilih tidak memiliki anak, sekalipun keduanya sehat secara medis.
--
Untuk waktu selama lima tahun terakhir, maka saya dan suami (kami) menganggap bahwa kami adalah tipe pasangan yang kedua. Walau belum terbukti kami merupakan pasangan subur, namun menunda kehamilan, kami lakukan dengan sadar dan sengaja. Kami mengandalkan KB kalender, meski kami sadar beberapa konsekuensi dari menunda kehamilan, seperti: masa subur akan berkurang seiring dengan pertambahan usia yang artinya kesempatan memiliki anak menjadi berkurang dibandingkan usia muda (usia 20-an); dan pertimbangan ekonomi ketika kami tua dengan masa pendidikan anak yang relatif masih dini.
Dibalik penundaan itu, sebuah komitmen untuk satu suara antara istri-suami adalah keharusan. Jika hal ini tidak dibicarakan dengan baik, tentunya akan berpengaruh secara psikologis terhadap salah satu pihak. Hal yang perlu dibicarakan lagi adalah mengenai kekompakkan menghadapi orang lain atau memberi alasan, baik itu kepada orangtua sendiri, saudara, teman atau orang lain. Misalnya jika menghadapi pertanyaan (seperti: sudah punya anak belum? kenapa menunda? sudah periksa ke dokter?), atau tanggapan colongan-maksudnya tidak diminta pendapatnya tetapi orang tersebut tetap bicara (seperti: "coba ke dokter A atau ke pengobatan alternatif B"; "enak lho punya anak, ada mainan baru" ; "karir terus, jangan takut.. rejeki anak mah ada aja lho").
--
Bila kematangan berpikir tidak dimiliki pasangan istri-suami dalam menghadapi pertanyaan dan tanggapan dari orang lain, maka tidak jarang yang akan dirasakan adalah tersinggung atau sakit hati bahkan hingga stres dan depresi.
Dalam hal ini, tentu saja kami menyiapkan alasan yang dapat diterima oleh orang yang pertama kami hargai yaitu orang tua (kalau untuk orang lain sih, saya tidak ambil pusing). Pendidikan adalah alasan yang paling tepat, sebab jika kita coba memberi alasan untuk mengejar karir, wah.. ini ndak masuk akal buat mereka. Terlebih jika mereka sangat mengharapkan cucu pertama.
Pasalnya, pada umumnya untuk memiliki anak adalah semacam kodrat manusia dan wajib. Biasanya dengan alasan untuk meneruskan keturunan atau lebih jauhnya mungkin demi alasan kelangsungan makhluk hidup di dunia (yang ini alasan yang futuristic sih). Selain itu juga karena alasan (bagi yang percaya) untuk bekal setelah kematian melalui doa anak. Karena kelihatannya tak sedikit yang takut menghadapi kematiannya sendiri, nah dengan anak diharapkan dapat menjadi penuntun menjumpai ajal dengan jalan yang indah. Anak dianggap memberi banyak arti bagi kehidupan yang lebih baik dan penuh kebahagiaan.
Peradaban menunjukkan bahwa memiliki anak pasti hal yang menyenangkan atau menguntungkan, buktinya banyak yang melakukan hal itu secara turun temurun. Kecuali alasan ekonomi (seperti di Jepang), atau bagi orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu dengan menahan hawa nafsunya untuk kebaikan diri dan bumi atau dengan kata untuk idealisme nya hingga mengenyampingkan kepentingan pribadi.
--
Bila kematangan berpikir tidak dimiliki pasangan istri-suami dalam menghadapi pertanyaan dan tanggapan dari orang lain, maka tidak jarang yang akan dirasakan adalah tersinggung atau sakit hati bahkan hingga stres dan depresi.
Dalam hal ini, tentu saja kami menyiapkan alasan yang dapat diterima oleh orang yang pertama kami hargai yaitu orang tua (kalau untuk orang lain sih, saya tidak ambil pusing). Pendidikan adalah alasan yang paling tepat, sebab jika kita coba memberi alasan untuk mengejar karir, wah.. ini ndak masuk akal buat mereka. Terlebih jika mereka sangat mengharapkan cucu pertama.
Pasalnya, pada umumnya untuk memiliki anak adalah semacam kodrat manusia dan wajib. Biasanya dengan alasan untuk meneruskan keturunan atau lebih jauhnya mungkin demi alasan kelangsungan makhluk hidup di dunia (yang ini alasan yang futuristic sih). Selain itu juga karena alasan (bagi yang percaya) untuk bekal setelah kematian melalui doa anak. Karena kelihatannya tak sedikit yang takut menghadapi kematiannya sendiri, nah dengan anak diharapkan dapat menjadi penuntun menjumpai ajal dengan jalan yang indah. Anak dianggap memberi banyak arti bagi kehidupan yang lebih baik dan penuh kebahagiaan.
Peradaban menunjukkan bahwa memiliki anak pasti hal yang menyenangkan atau menguntungkan, buktinya banyak yang melakukan hal itu secara turun temurun. Kecuali alasan ekonomi (seperti di Jepang), atau bagi orang-orang yang menganut kepercayaan tertentu dengan menahan hawa nafsunya untuk kebaikan diri dan bumi atau dengan kata untuk idealisme nya hingga mengenyampingkan kepentingan pribadi.
--
Saat ini kami mengalami, masa aktif "alasan menunda anak" telah habis atau kerennya udah expired date, yang berarti kami sudah menyelesaikan pendidikan kami, mulailah tekanan itu hadir. Tekanan di sini maksudnya ketakutan orang lain bahwa rumah tangga menjadi tidak bahagia tanpa kehadiran anak, atau ketakutan karena wanita menjadi mudah depresi dan minder dari ketidaksempurnaannya.
Bentuk tekanan sosial yang hadir antara lain: tuntutan untuk memeriksa kesehatan kandungan, sel telur dan sel sperma; sampai komentar yang memberi contoh dan membandingkan dengan orang-orang yang telah berhasil mempunyai keturunan.
Padahal mereka sebenarnya tak perlu khawatir, karena kami pasti melakukan hal-hal yang dapat membuat kami memiliki keturunan. Hanya saja, cara yang kami lakukan, tidak selalu sama seperti yang mereka harapkan.
--
Banyak artikel mengenai perlu tidaknya memiliki anak dalam rumah tangga. Pendapat bahwa keluarga yang lengkap adalah yang telah memiliki anak sudah lazim ditemukan. Namun, saya juga pernah menemukan bahwa sebuah penelitian menunjukkan bahwa pasangan menikah tanpa anak itu lebih bahagia dibandingkan yang sudah memilikinya (kalau ini saya pikir tergantung dari budaya negara dimana penelitian dilakukan). Juga jangan pula menjadi kasihan kepada pasangan yang tidak atau belum memiliki anak. Artikel terakhir ini cukup mencerahkan, karena artikel ini bicara tentang "it is ok tanpa anak pada sebuah perkawinan", yang masih menjadi hal tabu untuk dibahas seperti di negara kita.
--
Tidak baik, jika kita selalu mempertimbangkan atau memikirkan atas apa yang orang nilai terhadap diri kita. Namun, jika datangnya dari keluarga, tentu menjadi hal yang berbeda. Karena kita harus menjaga tutur kata dan bahasa, agar mereka dapat mengerti bahwa tidak ada yang salah pada kami yang tanpa anak di dalam rumah tangga. Justru yang terlihat panik adalah mereka. Pada saat inilah, komunikasi dan kekompakkan dari sebuah pasangan berperan besar untuk tetap menjaga kemesraan dalam rumah tangga. Sebab terkadang tekanan itu datang dengan tiba-tiba dan dengan gaya bahasa yang beraneka ragam.
--
Saya masih belum mendapat jawaban tentang alasan yang tepat untuk memiliki anak, setidaknya dalam rumah tangga saya saat ini. Saat kadang terlintas di pikiran jika hidup tua nantinya kemudian menggantungkan kepada anak, rasanya seperti egoisme tingkat tinggi. Sulit bagi saya menerima itu. Memang saya belum pernah tua dan punya anak, tapi sampai saat ini saya merasa begitu banyak menikmati hidup bersama pasangan saya dan menjalankan banyak hal yang menyenangkan, ditambah kami tetap (dan selalu) mesra meski tanpa anak (setidaknya ini menurut saya). Selain itu, saya juga dapat mencapai banyak hal yang mungkin tidak bisa saya lakukan ketika pada kesempatan tertentu tersebut mungkin sedang memiliki anak.
Untuk menyuruh diam orang lain tentang keadaaan kami yang tanpa anak ini, rasanya tidak mungkin. Lebih baik menyiapkan diri untuk menanggapi mereka secara wajar. Sangat jarang yang dapat memahami kami. Saya memang belum bisa memahami keadaan orang yang sangat mengharapkan kehadiran anak kemudian mereka harus menjawab pertanyaan orang yang bertanya hal klise tersebut. Saya pikir, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan agar tetap produktif daripada berkutat memikirkan pertanyaan atau tanggapan orang tentang pernikahan kami yang masih tanpa anak, termasuk menulis blog ini. Tetaplah berpikir positif. Mungkin sekilas nampak seperti curahan hati, namun sebenarnya saya berusaha mengulas lebih dalam, lalu mencoba menyumbang tulisan tentang pernikahan tanpa anak berdasarkan pandangan saya.
--
Saya ingin sekali mengungkapkan bahwa anak adalah anak, sama saja dari mana pun. Tak perlu dari hasil biologis sendiri. Kita bisa membesarkan anak yang bukan dari darah daging kita. Atau kita bisa tetap membesarkan anak orang lain yang tetap tinggal dengan orangtuanya sehinga tetap mendapatkan kasih sayang orang tuanya secara utuh. Kita tetap bisa mencurahkan rasa sayang kepada anak-anak dengan beragam cara tanpa harus memiliki. Banyak anak yang perlu diperhatikan, lalu mengapa harus dari rahim sendiri?....
Saya berpikir, jika ada seseorang yang bisa menganggap dan memperlakukan seluruh anak di dunia ini dengan baik, sama seperti membesarkan anak kandung dengan memberikan dukungan moral (kasih sayang) dan atau dukungan material, maka itulah pencapaian hidup yang paling mulia. Mungkin saya aneh, tapi begitulah....
-Y-
3 komentar:
Menurut saya kehadiran anak pada umumnya sangat didambakan oleh setiap orang karena Alloh SwT memang menghiasi kita dengan rasa suka/cinta kepada lawan jenis, anak-anak dll, ini adalah kodrat manusia yang tak bisa dilawan. Saya sendiri sudah 30 tahun menikah dan tidak mendapat amanah dari Alloh anak keturunan biologis, pada awal awal pernikahan saya juga galau menjawab pertanyaan pihak lain, tetapi dengan keimanan yang makin kokoh dan mantap kegalauan itu tidak ada, karena kami melakukan reoriantasi konsep keluarga dalam rumah tangga kami, konsepnya yaitu bahwa keluarga kita harus mempunyai nilai manfaat bagi orang lain, lingkungan dan masyarakat.
Alloh SwT mempunyai grand disain yang luar biasa, Alloh Swt menjadikan anak-anak kakak kami menjadi yatim dengan wafatnya kakak saya yang ekonominya pas pasan, dan yatim yatim tersebut kita asuh hingga sekarang kami telah bercucu sebanyak 12 anak yang semuanya sehat dan menghibur hati.
Memang masyarakat punya harapan, kita punya rencana, keluarga punya cita-cita dan Alloh punya rencana dan ketetapan yang jauh lebih bermanfaat.
Selain beribadah mengasuh anak sendiri, masih banyak lahan beribadah dengan mendidik anak yatim, anak murid, anak dzuafa, fakir miskin dan masih banyak lagi, sebagai ganti tidak didapatnya amanah anak kandung
Betul Pak Isa, salut untuk apa yang telah Pak Isa lakukan. Semoga semakin banyak Rahmat Allah untuk Bapak dan keluarga, salam... :)
Wow. Incredible.
Posting Komentar