Tiga kesadaran yang dimiliki manusia dalam hidup yaitu kesadaran indrawi, kesadaran logika dan kesadaran spiritual. Meski disadari bahwa kesemuanya ini adalah kehendak-NYA, namun secara kesadaran logika untuk dibangkitkan akibat kesadaran indrawi yang spontan dirasakan masih belum mampu untuk dengan cepat menghubungkannya menjadi kesadaran spiritual. Memang kesemuanya sungguh membutuhkan proses dan perjalanan yang berat. Ketika dirasa sudah mampu melewati satu rintangan, maka akan datang rintangan berikutnya yang lebih berat.
Pada saat merasa cukup mampu memasuki suatu tahap, ternyata didepannya masih begitu banyak rintangan berikutnya menunggu untuk dilalui.
Tulisan ini pun milik-MU. Pikiranku, gerakanku, perasaanku, hatiku dan jiwaku adalah kesemuanya milik-MU. Hidup didunia bukanlah kemauanku. Segala keputusan adalah atas kuasa-MU. Berpikir atau tidakpun juga adalah kemauan-MU. Tapi dalam hidup ada pembelajaran mengenai memilih. Dalam hidup (meskipun pengetahuan tentang inipun Engkau yang menguasai) ada berbagai macam judul pilihan. Ada lawan kata, dikotomi.
Jika disuruh untuk memilih ingin hidup bahagia atau sengsara, hampir semua akan memilih bahagia. Jika diberi opsi ingin cerdas atau tetap dalam selubung ketidaktahuan, semua orang akan memilih opsi pertama. Hidup adalah soal menjalankan pilihan2 yang kita ambil. Hidup adalah komitmen menjalankan pilihan kita. Meski semuanya adalah atas kuasa-NYA. Sungguh kita hanya sebuah boneka dipanggung sandiwara dunia ini, sutradaranya tentulah Allah (ya’lu wala yu’lai – yg tertinggi dan tak ada yang lebih tinggi lagi).
Kata Emha, ada tiga tahapan klasifikasi untuk manusia yaitu manusia biasa, hamba Allah dan Khalifah Allah. Contoh cerita beliau seperti ini. Kiai Muhammad yang tergesa-gesa hendak mengambil wudhu disumur untuk melakukan sholat dzuhur karena waktu asar sudah tinggal beberapa menit. Ketika hendak mencidukkan embernya kedalam sumur, dia melihat semut berada dipermukaan sumur. Kemudian dia turunkan perlahan2 ember tsb untuk mengangkat semut yang berada dipermukaan sumur agar tidak tenggelam. Pada saat hendak memindahkan semut yang berada dipermukaan ember untuk dipindahkan ke tanah, berkumandang adzan memasuki waktu asar. Kiai Muhammad menarik napas panjang, lebih dosa manakah tidak solat dzuhur ketimbang menyelamatkan semut? Dan sesudah menarik timba dan memindahkan semut ketanah, beliau berwudhu dan mengerjakan sholat. “ Allah hukumlah aku karena kelalaianku sehingga kehilangan waktu dzuhur yang Engkau anugrahkan. Adapun mengenai semut itu, serta segala yang mungkin baik yang pernah aku kerjakan, rasanya belum pantas untuk kujadikan alasan memohon pada-MU.” Ia berkata dalam doanya.
Kalau kesadaran rohani Kiai Muhammad baru pada ana insan, “aku manusia”. Maka semut itu tidak akan tampak oleh mata perhatiannya karena hanya akan mengikuti ego eksistensinya sebagai seseorang. Kalau Sang Kiai pada tahap ana ‘abdullah, “aku hamba Allah” maka semut itu akan dilaluinya untuk memenuhi kepatuhannya kepada Allah. Tetapi karena Muhammad memakai alas kaki khalifatullah, ia bersikap demokratis pada seluruh anggota alam sepeti Hamba Allah, manusia, tanaman, hewan, tanah, minyak bumi dan semut.
Contoh dari sikap Rabiah al-adawiyah dalam doanya berkata: “ ya Tuhan, jadikanlah tubuhku membesar hingga dapat memenuhi neraka-MU, agar tak ada tempat lagi bagi hamba-hamba-MU”.
Alam dan isinya adalah manisfestasi dari-NYA. Khalifatullah memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap keseimbangan sosial dan lingkungannya. ke-akuannya dileburkan. Menggabungkan diri kedalam tata politik, sosial, ekonomi dan budaya. Meskipun sejarah tak pernah mencatatnya, namun usaha khalifatullah tidaklah pernah sia-sia.
-Y-
Selasa, 27 Mei 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belajar Menari dengan Legowo
Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...
-
Program Bayi Tabung 11 Juni 2015 Waktunya untuk pengambilan ovum (sel telur) atau disebut ovum pickup (OP). Kali ini dilakukan d...
-
"Setiap orang memiliki kebutuhan, keyakinan, pengetahuan dan rencana dalam menjalani hidupnya masing-masing. Tentu tidak harus sama d...
-
Dulu ketika kuliah, punya sepatu bermerek dan (bagi saya) mahal, rasanya seperti mau terbang, percaya diri tumbuh seakan-akan posisi sosial...
1 komentar:
gua gak baca semuanya jadi komentarnya dari yang gua baca aja, males memang jadi penyakit, namun yang giat merampok, giat korupsi, giat berbuat dosa kenapa gak punya rasa malas untuk berbuat dosa,..kira-kira apa sebabnya orang-orang berbuat korup namun tidak malas berkorupsi? mungkin karena setannya sudah jadi..kalau orang mencegah korupsi lama-lama jadi malas, yang di cegah gak mau berhenti korupsi, di goda setan agar ikut jadi setan, jadi malas itu teman setan, tapi malas berbuat dosa teman siapa?
Posting Komentar