Minggu, 05 April 2015

Perkawinan Tanpa Anak (Bagian II)

Saya pernah menulis tema yang serupa dua tahun lalu (baca: Rumah Tangga tanpa Kehadiran Anak). Waktu itu, saya menulis alasan telah menunda untuk memiliki anak selama lima tahun. Dan tulisan kali ini, masih seputar tanpa kehadiran sang buah hati di dalam rumah tangga.

Anak dan Bahagia

Di lingkungan saya dibesarkan, dan di Indonesia pada umumnya atau bahkan (sebagian besar) negara di dunia, jika memutuskan untuk tidak memiliki anak di dalam rumah tangga merupakan hal yang tidak dapat diterima oleh sosial. Hal ini karena Perempuan (nampaknya) ditakdirkan untuk menjadi seorang Ibu. Meskipun keputusan ini bersifat privat, namun masyarakat sudah terpakem menyukai perempuan yang keibuan (baca perempuan yang memiliki anak). Sedangkan, melihat perempuan menikah (di usia yang matang-mid-30-40an) yang tidak punya anak, maka perempuan itu dianggap kurang sempurna, tidak normal, dan dikasihani. 

Saya pribadi dapat memahami anggapan tersebut. Biasanya, anggapan tersebut tentu munculnya dari pasangan menikah yang sudah memiliki anak. Karena mereka pasti tidak dapat membayangkan rumah tangga mereka apabila tanpa anak, terasa sepi, tidak bahagia dan terasa hidup ini tidak lengkap. 

Dari sebuah studi, saya dapati hasil survei dari pasangan yang telah memiliki anak, mengenai siapa yang paling penting di dalam hidup ini bagi sang ibu dan sang ayah. Jawabannya cukup mengejutkan bagi saya: para Ibu menjawab anak, sedangkan para ayah menjawab pasangan. Mengapa bisa berbeda, bagi saya alasan cukup jelas mengapa anak mendapat tempat yang utama bagi para Ibu, hal ini karena merekalah yang mengandungnya sehingga ikatan psikologis menjadi sangat kuat. Hal ini pula yang menjadi dasar, mengapa (mayoritas) para Ibu yang sudah memiliki anak, kemudian menjadi melihat berbeda kepada perempuan menikah yang tidak memiliki anak.

Bisa dikatakan bahwa secara umum, tak sedikit yang menganggap anak adalah sebagai pengikat keharmonisan perkawinan dalam rumah tangga. Namun, apapun alasannya, saya paham mengapa masyarakat yang punya anak tidak bisa memahami kebahagiaan perkawinan orang-orang yang tanpa anak. Tentu saja, karena bagaimanapun, mereka tidak pernah bisa "memakai sepatu yang sama". Begitu pula sebaliknya kira-kira sama seperti saya, yang tidak bisa memahami kebahagiaan pada perkawinan orang-orang yang memiliki anak. Hmm.. Terdengar adil bukan...

Now I am Childless, not Childfree anymore


Keputusan untuk tidak punya anak (child free), berbeda dengan tidak bisa atau tidak mau memiliki anak (childless). Childless bisa berarti tidak bisa memiliki anak biologis, atau bisa juga berarti tidak mau mengadopsi anak. Asumsi yang tidak terucap dari masyarakat yang melihat pasangan tanpa anak adalah mereka tidak seperti itu karena pilihan, melainkan berurusan dengan masalah infertilitas yang dapat menghancurkan secara emosional. Mudahnya begini.. secara umum, masyarakat akan menilai bagi pasangan yang tidak punya anak karena salah satu dari mereka itu tidak subur.  

Pada lima tahun pertama perkawinan saya, kami (saya dan pasangan) memutuskan untuk child free (lihat blog ini). Kemudian, dua tahun terakhir ini, perkawinan kami adalah childless. Namun, di mata sosial, saya adalah wanita di usia 34 yang telah menikah 7 tahun dan belum juga memiliki anak, serta nampak terlihat seperti orang yang memerlukan pertolongan untuk segera mempunyai keturunan. 

Namun sesungguhnya, saya dan pasangan merasa selalu nyaman dengan keputusan ini (childless). Kalau orang-orang tanya pada kami: sudah punya anak berapa? jawaban yang paling aman adalah doakan kami ya. Meski tentu, kami ingin sekali menyampaikan bahwa mereka tidak perlu kasihan kepada kami, karena kami sudah dalam keadaan bahagia.    

Kata Orang Tua: Penyesalan

Secara statistik di Amerika menunjukkan bahwa 19% antara usia 18-29 tahun, dari mereka tidak menginginkan anak-anak. Namun, ekpektasinya dengan kenyataan di sini sungguh berbeda, karena semua Ibu (yang menikah) pada usia itu selalu ingin segera punya bayi untuk menjadi teman atau sahabat mereka.

Hal ini pun menjadi perhatian bagi para orang tua kepada anak mereka yang telah menikah (anak dewasa). Para orangtua ingin anak dewasa mereka memiliki cucu-cucu karena baik untuk kebahagiaan mereka sendiri (orang tua) dan kebahagian untuk anak dewasa mereka. Para orang tua khawatir bahwa anak dewasa mereka akan mengubah pikiran mereka nanti, jika sudah tua tentang karena terlambat memiliki anak-anak dan dipenuhi dengan penyesalan. Para orang tua berduka bahwa anak mereka akan kehilangan pengalaman mereka saat dihargai-memegang bayi, mengajar anak sekolah, bagaimana naik sepeda, memilik sekolah tinggi dan menjadi heran jika mereka (para orangtua dulu bisa) bertanggung jawab. Para orangtua ini ragu kepada keputusan anak-anak dewasa mereka untuk childless dan bisa bahagia. Mereka takut anak-anak dewasa mereka menyesal.

A little curhat
Saat reuni, di lingkungan kantor, atau keluarga, topik anak adalah topik yang tidak ada habisnya untuk dibahas untuk saling menimpali. Terkadang menjadi awkward saat saya coba timpali pakai cerita ponakan, hehe.. maksudnya biar ndak merusak suasana begitu. Jadi saya coba mingle tapi ya menceritakan pengalaman ponakan. Jadinya ya begitu... agak aneh.

jika jumpa kawan sebaya, percakapan basa-basi pun tidak banyak yang bisa dilontarkan karena jika mau menceritakan soal anak mereka, paling saya cuma bisa jadi pendengar yang tidak baik. hehe.. saya suka anak-anak, tapi (seringkali) malas dengan percakapan yang tidak dua arah.

Saat ini saya tahu bagaimana rasanya mengharapkan kehadiran anak. Namun, percayalah.. dukungan yang datang dari orang-orang yang sudah memiliki anak, rasanya seperti olokan. Karena suara-suara sumbang acapkali terdengar seperti alih-alih mendorong semangat kami, malah seperti bluffing tentang kebahagiaan rumah tangga mereka. Sebab bagi mereka (kelihatannya), kami seperti pasangan yang tidak bahagia. Akan tetapiiii... curahan hati dari kawan-kawan yang juga mengharapkan punya anak dan belum punya anak.. rasanya seperti siraman rohani lho. hehe.. Itulah sosial. Kita seringkali merasa nyaman karena berada di lingkungan yang sama. 

Childless and Happy
Kebahagiaan tentulah masalah pilihan. Saya dan suami selalu nyaman dengan keputusan ini yaitu childless dan happy!.

Non Parents

Let's say, kebahagiaan parents (punya anak) dan non parents (tanpa anak) tidak bisa disamakan. Niscaya dong. Sebab masing-masing punya sudut pandang untuk ruang kebahagiannya sendiri. Buat Parents, silakan anda browse tentang kebahagiaan anda. Di sini saya yang childless akan mengurai kebahagiaan versi sendiri. Mengapa? karena saya ingin semua tahu, bahwa tanpa anak dalam rumah tangga bukanlah hal aneh, kami bukan orang aneh atau alien, kami hanya berbeda.  

Saya memang mengharapkan anak, namun saya tidak pernah berkecil hati karena tidak ada buah hati dalam perkawinan saya. Hal ini karena banyak sekali yang mengisi hidup kami. Kalau bisa digambarkan kebahagiaan berupa benjolan, rasanya tubuh saya pasti sudah bengkak dari ujung kepala sampai ujung kaki karena dipenuhi oleh benjolan-benjolan kebahagiaan. Sayangnya, bahagia itu tidak kasatmata. Jadi tidak ada yang bisa menilai siapa yang bahagia atau tidak di dunia ini.

Semua pasti setuju, bahwa perkawinan adalah landasannya cinta. Namun ndak perlulah saya mengumbar-umbar kemesraan di dalam rumah tangga karena hal (kemesraan) ini saya anggap sudah wajar. Perkawinan selama tujuh tahun ini, kami lalui dengan santai dan wajar. Kami berdua melakukan hal-hal yang selalu kami senangi. Di awal pernikahan, saya bergantian dengan suami melanjutkan strata dua hingga selesai. Pekerjaan dan karir pun berjalan lancar. Ditengah rutinitas dan kesibukan kami, hubungan dengan orang tua dan mertua diupayakan tetap harmonis. 

Di akhir pekan biasanya menjadi hari istirahat dan malas sedunia.. kami bangun siang, bersiap, lalu jalan-jalan, kadang jika rajin maka olahraga bareng. Kalau saya lagi semangat, setiap pagi saya siram tanaman dan di akhir pekan mengolah tanah-tanahnya agar tetap gembur. Nonton bioskop menjadi rutin setiap bulan. Satu hal yang paling saya nikmati adalah, dapat membaca buku favorit dengan nyaman, dan suami bebas banget main fallout. hihi..

Intinya adalah hobby dan pekerjaan dapat dilakukan dengan optimal. Urusan berwisata ke luar kota dan nonton Javajazz diupayakan menjadi agenda tahunan. Saya pun tetap dapat berkumpul dengan kawan-kawan. Urusan finansial, dapat diatur dengan baik. Kami tidak kekurangan dan tentu juga tidak terlalu berlebihan. 

Tak ada alasan buat kami untuk tidak bahagia. Dan masih banyak lagi kebahagiaan yang bisa kami urai, yang kalau diteruskan malah jadi ndak baik thooo.. pamer! 

Sebenarnya ini supaya jelas saja, bahwa kami tanpa anak di perkawinan selalu mesra, merasa damai dan tentram serta bahagia. Dan keadaan itu kami jaga baik-baik. Seperti pada umumnya tujuan hidup bagi kita semua. 

--
Jadi, keputusan perkawinan dengan anak atau tanpa anak, marilah menjadi urusan pribadi. Try not to hurt others ... i know it's not easy :) 

-Y-

Tidak ada komentar:

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...