Di sore itu, banyak sekali kata-kata bertebaran, diselingi senyum dan tawa. Semua nampak berekspresi, riang, gembira, senda gurau, nasihat-menasihati dan tak dapat ditutupi hadir juga kegelisahan.
Saya datang tuk menyerap energi positif, mencerap ketakutan orang lain (dan ketakutan diri sendiri) untuk memperkuat tekad meneruskan jalan pedang. Istilah "jalan pedang" tentu saja saya dapat dari media sosial, bukan karya sendiri. Saya pakai karena saya setuju dengan filosofinya yang sesuai dengan pilihan yang sedang saya jalani ini. Kawan seperjuangan pun rupanya sama memakai istilah itu. Saat perjalanan pulang bersama dari kampus, kami bongkar esensinya dan mencocokologikan dengan keseharian, ya bukan sekedar karena tidak ingin diam-diaman saja selama di kendaraan, tapi topik ini sungguh menjernihkan keruhnya pikiran ini.
Di keramaian kala senja itu, seorang dosen/maha guru/panutan saya, berkata kurang lebih begini: sekolah itu buat apa sih? sekolah itu adalah untuk mengasah hati nurani.
Kami terpaku mendengarnya. "Kami" adalah semua yang mendengarkan. Tercengang mendengar dua kata yang sebenarnya tidak asing bagi kami, kata-kata itu dari maha guru kami, beliau yang tak pernah jemu mencurahkan energinya untuk mendorong dan mengingatkan kami pentingnya menyelesaikan pendidikan ini. Beliau yang sungguh rendah hati.
Kami saat mendengar kata-kata itu, hanya terdiam, terpaku, merenung. Sungguh kini bagi saya, kata-kata ini menjadi sakral dan mampu membuat saya terenyuh, terus terngiang-ngiang.
Ya.. hati nurani yang hampir mati.. atau benar-benar sudah hilang. Saya tak ingin begitu.
Saya beruntung dan bahagia karena mendapati masih ada yang membangunkan saya dari lelapnya sisi lain perspektif kehidupan ini.
Terima kasih Guru.
-Y-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar