Rabu, 09 Februari 2011

Mayat = Jenazah = Mendiang


Stiff


Mayat, jenazah dan mendiang adalah similaritas untuk terminologi orang yang sudah mati. Namun, konteksnya untuk 2 istilah yang terakhir lebih diperhalus untuk sebutan bagi orang yang sudah mati, terutama orang yang kita kenal dan sayangi.

Pertama kali saya tidak merasa jenazah adalah sesuatu yang mengerikan ketika berada di depan mendiang ayah saya. Padahal sebelumnya, jangankan berada didekat jenazah, melihat mobil ambulan saja saya sudah merasa takut. Takut mati, dimakan cacing, sendirian dan sepi serta takut masuk neraka. Ini adalah gambaran saya waktu itu, mungkin saja saat sudah mati kita sudah tidak takut akan semuanya.

Selang kematian ayah saya, sekitar 7 bulan kemudian sepupu saya meninggal karena pendarahan setelah melahirkan. Dan jenazahnya pun diusung ke rumah, lagi-lagi saya duduk didekatnya untuk membersihkan cairan yang kerap mengalir dibibirnya sampai saat pemakaman tiba. Sekitar setahun kemudian, dalam rangka pekerjaan, saya dihadapkan pada beberapa kadafer yang sudah kaku dan menghitam. Yah.. memang saya pikir profesi dokter begitu hebat, karena dapat mengolah pikiran positif demi ilmu pengetahuan dan mengesampingkan emosi ketika membelah-belah mayat tak dikenal tersebut. Saya yang tidak terbiasa, bukan takut karena mayatnya tetapi bau pengawet yang membuat saya tidak tahan. Mengolah ketakutan memang bukan hal yang mudah. Namun menjadi mubasir ketika ketakutan menghambat produktifitas. Kenapa saya bicara tentang ketakutan terhadap mayat, karena saya baru saya membaca buku berjudul ‘Stiff – Kehidupan Ganjil Mayat Manusia”.

Banyak hal-hal tentang mayat yang dianggap tabu untuk diungkapkan. Misalnya, ketika tetangga saya meninggal dan baru diketahui sekitar 3-4 hari kemudian karena anaknya baru saja pulang. Tabu untuk mengatakan badannya udah bengkak dan bau, karena takut nanti arwahnya gentayangin kita. Padahal adalah proses yang wajar jika bau muncul dari sosok mayat, kecuali dilakukan pengawetan dengan disuntikkan formalin melalui pembuluh darah dengan sebelumnya mendesak darah keluar dengan air. Masalah gentayangan kan itu cerita yang dipercaya bagi yang mempercayai.

Di Amerika adalah hal yang umum jika mendonasikan jenazah untuk ilmu pengetahuan. Banyak sekali manfaat dari jenazah ini, baik yang berasal dari mayat donasi, mayat tak dikenal, mayat penjahat yang dihukum mati, dan tak sedikit mayat yang berasal kawasan kumuh karena sulitnya melakukan pemakaman yang wajar. Selain bisnis mayat untuk riset, ada juga bisnis mayat untuk obat yang dianggap berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit. Sekitar sejak sebelum tahun 1900, bisnis mayat sudah menjadi skandal karena pengadaannya yang ilegal dan uji coba praktek mayat untuk tujuan tertentu yang dianggap tidak etis.

Hal yang menarik dari manfaat mayat adalah perkembangan ilmu pengetahuan, antara lain dapat mengetahui beragam perkembangan medis, pengenalan anatomi, mengetahui kekuatan balon pelindung pada kemudi mobil, kekuatan sabuk pengaman, kekuatan kaca dan dasbor, dalam hal forensik untuk mengungkap berapa lama umur mayat, dimana arah ledakan bom dari luka buncahan daging mayat, mengetahui proses jatuhnya pesawat dilihat dari robekan baju dan kerusakan organ, kekuatan rompi tahan peluru, dan dapat memberikan harapan hidup bagi orang lain dengan donasi organ (mata, jantung, ginjal).

Kremasi di beberapa daerah menjadi ritual suci untuk peristirahatan terakhir dan di beberapa daerah kremasi adalah kegiatan untuk memudahkan pemakaman karena menghemat lahan. Teknik kremasi bisa dengan pembakaran atau dengan zat kimia dengan proses yang agak rumit hingga menjadi serpihan dan bubuk. Hasil kremasi ada yang dimanfaatkan untuk pupuk. Dilihat dari segi keetisan, memang hal ini sangat tidak mayati (kalau masih manusia, manusiawi J), namun riset di Amerika ada yang tetap melakukannya. Pelaku yang memiliki konsep untuk memanfaatkan mayat menjadi pupuk adalah seseorang yang tidak tahan sering mengamati tingginya biaya pemakaman, dan seorang environmentalis yang memiliki paradigma pemakaman bernuansa ekologi.

Ada beberapa hal yang tadinya saya anggap mistis, namun terjawab. Misalnya, mayat bisa mengeluarkan gas, bukan karena otot bokongnya bekerja, tetapi akumulasi gas yang dihasilkan bakteri di dalam perut yang mendorong gas keluar melalui lubang terdekat. (kalau dulu hal ini, akan saya anggap saat hidupnya pasti orang jahat). Dan mengetahui proses pembakaran mayat, dimana otot-otot paha dan tubuh akan mengalami kontraksi dan memendek kemudian tertarik keatas sehingga berwujud seperti duduk atau membungkuk (ingat jenzah Mbah Marijan yang diketemukan seperti sujud, yang kemungkinan memang seperti itulah bentuk jenazah karena terbakar).

Dalam sebuah pooling surat kabar Swedia, 40% responden menyatakan siap dibeku keringkan dan dipakai untuk menyuburkan tanaman. Fenomena ini dapat terjadi karena semakin tingginya kesadaran ekologi individu dan mungkin semakin terbatasnya lahan pemakaman dan prosesi yang membutuhkan biaya dan membebani keluarga. Berbeda dengan di Indonesia, yang biayanya tidak terlalu tinggi (banyaknya kayu yang mudah diperoleh untuk peti) dan prosesi yang mungkin sebagian besar penduduk kita tidak terlalu dibebankan terlalu berat. Ditambah lagi, asumsi umum yang masih memartabatkan jenazah dan beberapa ajaraan agama yang diintepretasikan wajibnya menguburkan jenazah atau kremasi.

Memang mengerikan kalau kita membayangkan bahwa jenazah kita terlibat dalam riset anatomi sebuah universitas. Tetapi, sebenarnya apa yang kita takutkan akan mayat. Toh, kita semua juga akan mati dan mayat tetap akan berubah bentuk menjadi tidak menarik di dalam tanah. Saya sepakat dan mengutip dengan Mary Roach bahwa jika saya seorang mayat, saya ingin eksperimen dilakukan terutama atas nama ilmu pengetahuan, pendidikan, kendaraan (mobil) yang lebih aman, atau prajurit yang lebih terlindungi, tetapi tidak dilakukan atas dasar agama. Namun, tentunya perlu kompromi keluarga. Hal ini karena, biasanya mayat bukan lagi menjadi beban si orang mati, tetapi menjadi beban dan tanggung jawab keluarga yang ditinggalkan baik dari segi biaya dan beban moral dari segi keetisan di norma masyarakat.

-Y-

Tidak ada komentar:

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...