Ketertarikan akan isu perempuan saya rasakan sejak di bangku kuliah. Dengan membaca beberapa buku jurnal perempuan, saya hanya ingin mengetahui hak dan kewajiban perempuan sebagai manusia yang memiliki kesetaraan dengan lelaki dan bukan untuk menjadi sok tahu dan melawan kodarati. Konteks perempuan memiliki banyak bentuk, antara lain: sebagai ibu, orangtua tunggal, wanita single, pekerja rumah tangga (PRT), wanita pekerja, wanita karir, dan ibu rumah tangga. Dari pembelajaran, tujuan yang diperoleh tidak lain untuk memuliakan sesama manusia, perempuan dan lelaki adalah setara dengan tanda petik tergantung dari sisi relatif yang digunakan, akan tetapi pada dasarnya adalah ada nilai universal yang sama-sama harus dijunjung yaitu saling menghargai.
Tulisan ini terinspirasi dari beberapa hal yang saya lihat baru-baru ini terkait dengan ketidak adilan terhadap kaum perempuan. Kebetulan ketiganya adalah contoh dari ketidakberdayaan perempuan terhadap superior laki-laki karena ketidak tahuan perempuan akan hak-haknya, sementara kewajibannya sudah cukup dilakukannya dengan baik. Lagi-lagi kebodohan dan kemiskinan menyumbang penyebab terbesar, ditambah dengan budaya patriarchal dan intepretasi agama yang tidak berpihak dengan keadilan. Lalu siapa yang patut disalahkan? Keluarga, masyarakat, pemerintah? Jika ingin jawaban singkat, katakan saja mereka sedang ‘sial’.
Subyektifitas dan sarkasme mungkin akan tertuang disini, hal ini karena saya tidak tahu harus bagaimana untuk membantu mereka. Namun, setidaknya tulisan ini dapat membantu menyadarkan kita betapa masih banyaknya perempuan yang terpuruk. Kemandirian perlu ditularkan kepada teman-teman yang terjepit dalam peliknya kasus poligami yang masih saja marak.
Berikut beberapa kasus yang dapat dilihat dan masih berada disekeliling kita: nikah siri kemudian punya anak dan ditinggalkannya sang ibu perempuan dengan tanggungan si jabang bayi; sebagai istri kedua dengan iming-iming bahwa akan mencerai istri pertama dan bla-bla-bla, padahal tidak juga menjadi istri tunggal; memukul istri karena alasan ada dalam al-Quran; baru saja pisah 4 bulan karena belum ada itikad dari kedua belah pihak untuk kompromi, sang suami sudah memutuskan dan mengumumkan sudah mendapat calon mama baru tanpa menyelesaikan masalah rumah tangganya, lagi-lagi dengan alasan bahwa Quran ada yang mengatur kalau 3 bulan pisah berarti cerai; melarang istri bekerja namun solusi keuangan tidak didiskusikan; menormorduakan istri dibawah orangtua atau pekerjaan; abainya pendidikan untuk istri karena dianggap tidak perlu; atau sang suami memiliki hubungan dengan wanita lain dan megajukan perceraian. Dari hal diatas, yang menjadi masalah adalah biasanya perempuan dalam keadaan tidak siap secara finansial dan sulit membangun kepercayaan diri serta trauma.
Menanggapi keprihatinan ini, perhatian global di curahkan dengan menetapkan Hari Perempuan Internasional tanggal 8 Maret dan juga Hari Ibu tanggal 22 Desember. Namun, contoh kasus yang saya amati, kebetulan masalah perempuan ini menimpa kepada mereka yang sudah memiliki anak. Mereka adalah seorang ibu. Padahal jika saja sang suami memuliakan sang istri selayaknya seperti memuliakan ibu, tentunya konflik tidak akan terjadi. Oleh karena itu, mungkin pada peradaban sekarang ini kita perlu merubah slogan untuk memuliakan seseorang dari “umi, umi, umi” menjadi “perempuan, perempuan, perempuan”. Dengan demikian, lelaki dapat menghargai perempuan, apapun konteksnya.
-Y-
-Y-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar