Media sosial (medsos) memberi ruang kepada masyarakat untuk menuangkan apapun yang mereka inginkan menjadi konsumsi publik tanpa ada lagi sekat dan etika yang mampu meredam hasrat itu. Semua ditentukan oleh jemari yang lincah menuangkan kata-kata, menyebar gambar dan video untuk kepentingan masing-masing.
Saat ini sedang ramai pembicaraan mengenai serentetan peristiwa yang terjadi di Ibukota. Respon yang datang tidak hanya tentunya dari warga Jakarta saja, tetapi siapapun dari berbagai daerah turut serta berpendapat dan menyuarakan pikirannya baik pro dan kontra. Riuh sekali.
Saya sendiri punya pendapat tentang peristiwa itu yang ingin sekali saya suarakan secara lantang dan terus menerus. Rasanya, hanya sekali saya lakukan. Tetapi sesungguhya, manakala ingin mengetik status meski hanya untuk berekspresi atau mengomentari situasi yang terjadi, lalu saya berpikir begini: Pertama, jika saya mengetik, orang lain akan menilai saya cenderung ke-satu hal. Lalu orang lain jadi berubah melihat pribadi saya, meski mungkin hanya terjadi di dunia virtual. Namun, saya khawatir akan terjadi di dunia nyata. Kedua, kalau saya mengetik, saya nampaknya akan sama seperti yang lain. Tidak membuat suasana lebih baik, karena yang akan saya ketik hanya sekedar tumpukan opini yang tidak ada gunanya untuk mengubah apa yang ada. Sedangkan yang saya lakukan hanya memuaskan keinginan saya dan tujuan saya supaya dunia tahu apa yang ada dipikiran saya. Kemudian saya merasa menjadi tidak produktif.
Alih-alih tak menulis status, saya lalu membaca status dan twit orang yang tanpa sadar saya telah mengikutinya terus hingga emosi ini naik dan turun selama bisa lebih dari sejam. Lho.. kok ndak produktif juga. Wah-wah.. lalu saya merasa suntuk.
Saya yakin, saya pasti tidak sendirian yang teler dengan linimasa di fb atau media sosial lainnya. Memang ini pasti akan berlalu, entah sampai kapan. Tapi sebaiknya saya tak peduli saja, dan harus move on dengan real life. Biar berbobot otak ini. Terus harus pintar nih memilih info mana yang baik untuk dibaca dan dicerna.
Mengutip acara Panglima di Rossi, media massa menjadi rujukan premium buat saya. Jika mendapat broadcast medsos yang tidak jelas sumbernya, saya akan memberikan tautan media massa untuk mengklarifikasi kebenarannya. Karena medsos itu umumnya bersifat opini, dan bukan fakta seperti yang dapat disampaikan media massa. Yang saya ketahui, media massa memiliki kaidah jurnalistik untuk dapat menyampaikan suatu fakta. Begitulah secara sederhananya.
-Y-
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Belajar Menari dengan Legowo
Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...
-
Program Bayi Tabung 11 Juni 2015 Waktunya untuk pengambilan ovum (sel telur) atau disebut ovum pickup (OP). Kali ini dilakukan d...
-
Dulu ketika kuliah, punya sepatu bermerek dan (bagi saya) mahal, rasanya seperti mau terbang, percaya diri tumbuh seakan-akan posisi sosial...
-
"Setiap orang memiliki kebutuhan, keyakinan, pengetahuan dan rencana dalam menjalani hidupnya masing-masing. Tentu tidak harus sama d...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar