Courtesy of Sasa Azzahra |
Dengan sedu sedan, resah, frustasi dan terkadang bahagia yang bercampur risau semua orang menjalani tahun 2021. Detik tetap berjalan, apapun yang terjadi. Hari berganti dan laju hidup tak dapat mengulang apa yang sudah terlewat. Tak semua orang memiliki keberuntungan. Sayangnya, tak semua orang yang beruntung mampu meresap nikmat.
Pekerjaan yang saya miliki saat ini sangatlah nyaman, aman dan mungkin didambakan banyak orang. Tahun ini, saya sibukkan dengan juga mengerjakan pekerjaan sampingan. Namun, untuk keseimbangan jiwa, saya merasa ada yang kurang dengan rutinitas pekerjaan dan umur yang sudah kepala 4. Lalu, saya mengalihkan motivasi untuk mendapatkan beasiswa. Motivasi paling dasar adalah saya ingin sekolah dan belajar lagi. Tahun 2021 adalah batas umur terakhir saya bisa mengajukan beasiswa LPDP. Saya berupaya keras untuk lolos beasiswa. Termasuk latihan soal dan mengikuti tes Toefl sebanyak 2 kali agar bisa dapat nilai yang masuk untuk batas syarat administrasi minimal 530, yang dilakukan diantara pekerjaan inti dan sampingan. Sekalian saya mengasah kemampuan bahasa Inggris yang pas-pasan ini. Namun rupanya upaya saya tak cukup kuat. Saya gagal pada seleksi kedua. Menyesal tidak lolos?
Tentu saja sangat menyesal dan bersedih. Hal ini saya akui karena kurang serius untuk latihan soal lebih banyak, mungkin menyepelekan karena terlalu percaya diri dengan persiapan administrasi yang sudah lolos dan persiapan wawancara nanti. Beberapa hari saya menangis karena merasa kurang giat berusaha dan artinya saya harus meminta bantuan suami untuk kepastian biaya pendidikan saya selanjutnya.
Saya mampu membiaya sekolah hanya untuk beberapa semester, tapi tidak hingga selesai. Karena sekolah lagi berarti komitmen penuh. Komitmen utama adalah sekolah, pekerjaan tidak bisa lagi full time dan bukan lagi prioritas utama. Ini berarti, biaya yang dikeluarkan menjadi tidak sedikit karena saya harus fokus menyelesaikan pendidikan. Saya tidak suka hal ini yang berarti saya mungkin tidak mandiri secara finansial jika tidak dapat beasiswa. Oleh sebab itu maka dukungan moral dan material dari suami adalah yang paling saya butuhkan.
Mari kita move on, di mana selanjutnya adalah persiapan tes untuk dapat diterima di Universitas untuk program doktoral yang melalui serangkaian tes dari mulai seleksi administrasi, tes tertulis, presentasi dan wawancara. Dengan persiapan pra-proposal yang masih jauh dari matang, Alhamdulillah saya diterima. Penilaian terpenting dari hasil wawancara menurut saya adalah kesiapan diri secara mental dan finansial. Mental artinya mampu menyelesaikan dengan baik, finansial artinya sekolah lagi memerlukan dukungan keuangan anda yang stabil minimal buat saya 3 tahun ke depan. Jika kedua isu ini dapat dijawab dengan tepat, maka kemungkinan besar dapat diterima.
----
Bepergian dengan naik transportasi umum atau ke Bali misalnya, belum berani dilakukan. Tapi kalau sekedar makan di warung atau sekali nonton bioskop masih dapat dilakukan. Sebenarnya tempat umum sudah jauh lebih longgar aturannya di akhir tahun ini dibandingkan pertengahan tahun. Tapi tetap kami memprioritaskan untuk tetap di rumah saja.
Saat ini, hiburan yang paling mudah adalah bergantung dengan koneksi internet, antara lain: nonton film atau acara melalui youtube atau netflix, ngobrol dengan kawan secara online dan membaca buku yang dibeli secara online atau sesekali ke toko buku, serta mengintip cerita ga penting yang bisa menghibur dari media sosial. Saya sadar ini adalah kemewahan. Mohon maaf atas kesombongan ini. Situasi ini tentu tidak sama dengan teman-teman yang tidak memiliki koneksi internet (dengan baik), namun (saya harap) mereka pasti mampu mendapatkan pilihan hiburannya sendiri dengan keadaannya.
Media sosial menjadi yang utama di masa ini. Banyak orang yang menumpahkan isi pikiran dan pengalamannya karena alasan antara lain ingin berbagi kepada orang lain atau sekedar ingin menumpahkan emosi di medsos. Banyak yang ingin menunjukkan ekspresi, ingin terkenal, ingin komentar, ingin membela, ingin menonjol, dan buat kita jadi banyak baca yang ngalor-ngidul. Namun banyak juga yang tak (ingin) hadir di media sosial. Mereka tetap menyimpan kehidupannya sebagai privasi dengan alasan antara lain tak banyak bermain gadget atau media sosial atau tak ingin orang asing mengenal pribadinya.
Mengenai hal ini, saya pikir karena umumnya kita tak peduli dengan kesedihan atau kesenangan orang yang share kehidupannya di media sosial. Begitu pula dengan foto atau cerita yang saya bagi di medsos, termasuk blog ini. Saya merangkum catatan pada selembar halaman ini. Intinya ya pamer juga, wong isinya tentang kehidupan pribadi. Tapi paling yang baca ya saya sendiri. Jarang orang yang mau baca blog kalau ceritanya tidak menarik sekali atau pas dengan topik yang mereka cari. Ada kemungkinan mereka sengaja membaca blog orang hanya untuk menguntit, tapi siapa yang peduli. Memang blog dibuat untuk dapat dibaca kan. Jadi bisa dibilang orang cenderung menikmati cerita dan mengintip dinding halaman orang lain di dunia maya dengan sengaja melalui Instagram, facebook, twitter dan youtube.
Buat saya, sulit melihat mana yang benar dan asli dari media sosial personal. Kebanyakan seperti palsu, terlalu bagus, kadang menjijikkan dan seringkali menghibur. Tidak ada yang salah. Saya cuma ingin tidak terlalu lama mengintipnya. Kalau untuk lucu-lucuan, misal nonton Lulu kucing, nonton jalan-jalan makan, jalan-jalan ke NewYork di Youtube, model begini yang saya ikuti. Oh, saya suka ikuti saluran Endgamenya pak Gita, apalagi pas ceritanya Bu Sri Mulyani. Mencerahkan sekali. Ingin sekali bisa cerdas dan tenang seperti Ibu SM.. LOVE.
--
Mari bersiap menghadapi tahun ini dengan menjalankan pekerjaan, pendidikan, keluarga dan kesadaran dengan santun.
Tak perlu tergesa.
Pilihan sudah ditentukan.
Konsekuensi niscaya dikenyam.
Kalau kata suami yang ngambil dari film-film begini: hypothetical situation does not count.
Well, I agree. C'est la vie.
Let us continue with what we have chosen with all the consequences. What we need is to be persistent, hard work, and be sincere.
-Y-