Ada kalanya orang terlihat tak peduli akan keadaan sekitar. Setidaknya penyebabnya ada tiga kemungkinan. Pertama, mungkin tidak peduli karena benar-benar tidak tahu sehingga tidak ada kesadaran untuk peduli. Kedua, mungkin tergolong orang-orang yang menghindari konflik. Artinya, sesuatu hal yang dipahaminya dan diketahuinya berbeda dengan orang lain atau dengan keadaan di sekitarnya, kemudian tidak diungkapkannya untuk menghindari silang pendapat. Ketiga, sebenarnya tak peduli tetapi diungkapkanlah kepedulian palsu dengan argumen yang tidak serius sehingga terlihatlah ketidak peduliannya, yang bagi saya, model terakhir ini yang jadinya meresahkan.
Sikap tidak peduli akan terlihat jika ada yang memperhatikan. Orang tidak akan terlihat tidak peduli jika tidak ada yang memperhatikan. Jadi bisa dibilang, tidak akan keluar cap atau kata peduli atau tidak peduli, jika tidak ada yang menaruh perhatian. Tentu saja..
Di tengah hingar bingar kemudahan berkomunikasi, berekspresi dan berpendapat oleh peran teknologi dalam menciptakan media untuk menjalin jejaring sosial, maka tak dapat dipungkiri begitu banyak orang yang ingin diperhatikan atau setidaknya ingin menarik perhatian orang-orang yang ditujunya. Bisa saja dikatakan bahwa akun suatu media sosial menjadi hak pemiliknya sepenuhnya, jadi apapun yang diungkapkan atau diekspresikannya maka tak ada hak orang lain untuk menjadi tergugah. Lalu, bagaimana tidak menggugah orang lain jika apa yang diungkapkannya dapat diakses atau setidaknya bagi para pengintip dapat dilihatnya tanpa melakukan tindakan ilegal atau meretas data.
---
Memang menjadi banyak orang yang mudah berkata-kata, menunjukkan kreatifitas atau sekedar menunjukkan eksistensinya. Namun, banyak pula orang yang memilih untuk memperhatikannya saja. Bukan tidak peduli lho. Misalnya, dengan situasi kenegaraan saat ini. Peran media begitu besar dalam mengedukasi masyarakat mengenai hukum, sosial dan politik sehingga masyarakat menjadi tercerahkan dengan pemahaman dan menjadi ikut peduli.
Dengan keadaan politik yang ada, masyarakat dituntun untuk memilih dan meyakini apa yang menurutnya terbaik untuk negri ini. Nah... dalam hal ini, lagi-lagi peran pemberitaan dan media sosial begitu besar mewarnai pola dalam memilih. Lalu sadar atau tidak sadar kita menjadi diseret dalam fanatisme politik tertentu, bahkan terlihat sangat ekstrim.
Mulanya saya berpikir bahwa fanatisme itu baik karena seseorang menjadi begitu khusuk menikmati apa yang diyakininya dan dapat menjadi simpatisan yang loyal serta membantu kampanye demi masa depan bangsa (saya bicara tentang kekhusukkan politik lho). Namun ketika fanatik ini dieskpresikan dengan sikap atau pernyataan yang negatif, maka lunturlah kebanggaan saya akan hal yang fanatik. Mengapa? karena bila
seseorang begitu yakin bahwa dirinyalah yang paling benar dan menganggap
orang lain tak berarti, salah atau tersesat, maka bumi bukanlah tempat
yang cocok untuknya.
Seringkali fanatik menyiratkan anggapan bahwa ketika seseorang yang fanatik bertemu dengan fakta atau berita yang mendukung lawan, maka yang akan terungkap adalah haters gonna hate. Apapun fakta pihak lawan akan dijelek-jelekannya atau terekspresikan negatif. Hal yang baik di pihak lawan, maka tak akan diungkapkannya.
Seringkali fanatik menyiratkan anggapan bahwa ketika seseorang yang fanatik bertemu dengan fakta atau berita yang mendukung lawan, maka yang akan terungkap adalah haters gonna hate. Apapun fakta pihak lawan akan dijelek-jelekannya atau terekspresikan negatif. Hal yang baik di pihak lawan, maka tak akan diungkapkannya.
--
Oke, itu tadi soal pilihan arah politik negara. Ternyata fanatik tidak hanya di ranah itu. Tentu yang paling umum adalah dalam hal agama. Kalau di lintas agama, fanatik sudah seperti prostitusi yaitu sudah berkembang sejak berabad-abad yang lalu. Namun, di dalam agama yang sama --yang kita ketahui dalam satu agama memiliki beragam aliran-- ternyata fanatik ditonjolkan begitu rupa.
Islam yang fanatik akan syariat atau meyakini bahwa tiang agama berdiri dengan meyakini dan menegakkan syariat, dan menganggap inilah yang paling benar lalu akan memilih untuk berkumpul dengan komunitas yang memiliki motivasi yang sama. Di sisi lain, ada yang namanya Islam liberal, yang (setidaknya) meyakini bahwa pemahaman ajaran Quran dan Hadist perlu di telaah ke dalam konteks kekinian. Di dalam pemahamannya yang luas, menjadikan keyakinan orang-orang Islam liberal kian bertambah lalu menyeretnya menjadi (terlihat) bertentangan dengan Islam yang fanatik terhadap syariat.
Pertentangan ini menjadi konflik ketika kedua model Islam tersebut tidak menyadari bahwa mereka harus sepakat untuk memahami perbedaan yang ada. Lalu repotnya, kedua Islam ini menjadi merasa yang paling benar dan menjadi sulit berdampingan di dalam perbedaan. Bagi saya tidak hanya yang berpegang pada syariat saja yang menjadi fanatik, pemikir Islam liberal pun menjadi fanatik akan keliberalannya. Semuanya menjadi terseret dan terjebak di dalam fanatisme apa pun bentuknya.
Mari kita sebut, tanpa disadari kita (mungkin) merasa profesi kita yang paling baik. Meski berbangga hati itu sah-sah saja, namun kebanggaan kadang hanya dipisahkan oleh benang tipis oleh yang namanya keangkuhan. Misal, profesi dokter, pilot, pengacara, arsitek atau profesi lainnya, tak pantaslah semuanya menjadi fanatik akan profesinya dan mencemooh pekerjaan lain karena profesi itu tak kan ada tanpa pelengkap. Misalnya: dokter takkanlah berguna tanpa industri farmasi dimana ada seorang medical representative (medrep) yang kerap kali mengingatkan sang dokter untuk membantu menuliskan obat jualannya ke dalam resepnya hanya agar sang medrep tersebut dapat mencapai target penjualannya demi anak yang disekolahkannya.
---
Fanatik akan politik, agama, atau profesi atau apapun menjadi terlihat karena diekspresikan atau terekspresikan. Ekspresi dapat tertangkap oleh indrawi karena ada yang memperhatikan. Dengan adanya perhatian maka tampaklah sikap yang peduli atau tidak peduli.
Untuk sedikit dan banyak hal, saya menjadi setuju dengan sikap moderat. Bukan karena tidak berpendirian atau tidak siap menerima perbedaan tetapi begitu banyak hal yang dipertimbangkan demi damainya bumi ini. Yah.. saya sepertinya masuk ke golongan orang-orang yang mencari aman atau lebih tepatnya berupaya mengamankan hati orang-orang yang tersayang di sekitar saya (yang terakhir ini adalah justifikasi agar hati saya damai saja.. hehe...). Eh.. barangkali ini keyakinan sesaat saja, besok atau lusa mungkin saja sudah berubah. Oh.. atau barangkali, saya malah menjadi moderat yang fanatik. Fiiuuuh.. Peace yo..!!
-Y-