Filosofi Standarisasi
Tanggal 12 Mei 2012, saya mengikuti pelatihan tentang standarisasi atau kita kenal dengan ISO (the international organization for standardization) yang disampaikan Bp. Koeswidijono, dosen dan Internasional Auditor. Motivasi mengikuti pelatihan adalah untuk mengenal dan memahami ilmunya sekaligus tadinya meluaskan jaringan, hehe.. ternyata kelas hanya diikuti oleh sembilan peserta. Lumayanlah.
Maksud hati menulis saat ini adalah untuk merapikan catatan di kertas yang ga karuan dan memindahkan ke blog supaya saya bisa baca-baca lagi sewaktu-waktu. Tapi tentu saja tidak akan sama persis seperti yang disampaikan Bapak pengajar, karena hal yang saya tuangkan hanyalah sepenangkapan saya saja dan yang tentunya bagi saya menarik.
Standarisasi dibentuk dari gagasan sebuah badan internasional yang menangani peraturan perjanjian untuk jual beli barang/jasa yang melibatkan lintas negara dalam sebuah wadah yaitu World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Hingga kini, anggota WTO terdiri atas 155 negara. Tujuan negara menjadi anggota WTO adalah ikut dalam peraturan internasional sehingga terjadi pertukaran barang dan jasa dari dalam dan keluar negara yang dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa. Kira-kira begitu. Sebagai badan institusi internasional, WTO bertugas membuat perjanjian multilateral yang meliputi perdagangan barang, sektor jasa/pelayanan, dan hak properti intelektual. Untuk perangkat peraturan perjanjian yang akan disepakati negara anggota mengenai pertukaran barang disebut dengan GATT (General Agreement on Trade & Tariff), sedangkan tentang jasa di atur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services). Dalam konteks pelatihan ini sedikit lebih jauh membahas GATT karena terkait dengan standar mutu untuk produk.
Sebelum berlaku GATT, negara importir memiliki kewajiban untuk membayar bea masuk ke negara tujuan sebesar 0-5-14%. Hal ini memberatkan importir, namun memberi keuntungan bagi negara tujuan dari pendapatan tambahan bea masuk tersebut. Namun, setelah menyepakati GATT, maka berlaku Free Trade Area dimana terjadi eliminasi tarif masuk serta kuota impor. Dengan aturan ini, maka negara mana pun bebas mengirimkan barangnya di Indonesia. Hal ini menjadi ancaman negara, artinya jika modal lebih banyak dari luar negeri sementara pengusaha domestik sulit mendapatkan modal usaha, maka yang terjadi adalah penjajahan barang secara gencar ke dalam negeri. Dengan demikian maka pengusaha dan negara kita akan semakin terpuruk. Namun untuk mengantisipisi hal ini (yang bisa saja terjadi dengan negara berkembang lainnya), maka ada sebuah technical barrier to trade, artinya ada syarat yang secara teknis menentukan spesifikasi suatu produk yang bisa diperdagangkan di suatu negara. Dalam hal ini, Indonesia menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang harus dilaporkan ke WTO, kemudian WTO akan mengumumkan kepada seluruh anggota WTO mengenai standar itu, sehingga kesempatan perdagangan diberikan sama kepada semua negara yang dapat memenuhi SNI.
Bisa bayangkan betapa pentingnya SNI di sini. Untuk mecegah penjajahan baru maka persaingan menuntut negara untuk mengerti cara internasional dan harus bisa bermain sama canggihnya atau ilmu harus berimbang dengan mereka, kira-kira ini inti yang disampaikan Pak Fadel Muhammad kata Pak Koeswidijono.
Buat saya, uraian diatas menarik sebagai filosofi gencarnya orang menaikkan mutu produk, dan ini hal baru buat saya. Padahal dengan baca situs WTO, mungkin orang sudah bisa menangkap ya, tapi saya ya gini.. kudu ikut pelatihan dulu baru 'dong' (sleng Jawa artinya ngerti). hehe..
Definisi "Standar"
Standar adalah diawali dari sebuah pedoman yang dirumuskan oleh badan "Legislatif" yang diterapkan oleh "Eksekutif", kemudian diawasi oleh badan "Yudikatif", hasil dari evaluasi diperbaiki atau diterapkan kembali oleh "Eksekutif".
Siapakah aktor dari definisi "standar" diatas:
- Legislatif = Tingkat Internasional adalah ISO; Tingkat Nasional adalah BSN. Standar yang dikeluarkan BSN adalah mengadopsi/terjemahan dari ISO.
- Eksekutif = Tingkat Internasional adalah WTO; Tingkat Nasional adalah menteri teknis dan pengguna/industri.
- Yudikatif = Tingkat internasional adalah International Acreditation Forum, ILAC; Tingkat Nasional adalah KAN, dibawah KAN ada sejumlah lembaga-lembaga sertifikasi (mutu, lingkungan, SNI, Lab), dimana lembaga sertifikasi dapat melakukan sertifikasi terhadap organisasi/perusahaan. Lembaga sertifikasi mendapat akreditasi dari KAN. Antara tingkat internasional dan nasional dijembatani oleh Mutual Recognition Agreement (MRA).
Ketika diajarkan ditampilkan dalam bentuk bagan, namun saya hanya bisa menampilkan dalam bentuk deskripsi seadanya. Jadi mohon maaf.
Tingkatan Standar ada lima:
- Internasional = antara lain: ISO, IEC (International Engineering Consortium).
- Regional = antara lain: European Union, ASEAN.
- Nasional = antara lain: SNI, JIS (Japan Industrial Standard).
- Asosiasi
- Organisasi = sepertinya NGO tempat saya bekerja bergerak di tingkat ini. Hemm.. menarik bukan.. saya jadi tahu sedikit tentang posisi organisasi tempat saya bekerja.
Jenis Standar ada lima:
- Standar sistem = misal ISO 9001: 2008, ISO 14001:2004.
- Standar produk
- Standar uji
- Standar kalibrasi
- Standar inspeksi
Nahh.. segitu aja yang saya tangkap.. selebihnya pembahasan dalam tentang ISO 9001: 2008 (manajemen mutu), ISO 14001:2004 (sistem manajemen lingkungan), dan OHSAS (keselamatan kerja). Oiya.. saat ini setiap industri akan mengikuti ISO mutu karena tentu biar produknya bisa beredar di pasaran. Sedangkan isu lingkungan nampaknya menjadi perhatian bagi industri minyak, gas dan pertambangan.
Untuk isu keselamatan kerja, dibangun dari riset yang menunjukkan fakta bahwa pekerja yang tewas dalam setahun baik secara langsung atau akibat dari terpajan zat beracun yang pelan-pelan merenggut kesehatannya, ternyata lebih banyak dari korban perang. (Fakta ini berdasarkan uraian dari pengajar, saya belum sempat mencari sumber tertulis). Badan yang concern terhadap isu ini adalah International Labour Organization (ILO). Di Amerika nampaknya sudah mengatur dengan detail mengenai isu keselamatan kerja, misal: aturan kompensasi jari yang terpotong, cacat permanen, dll, yang nampaknya negara kita belum menaruh perhatian sedalam itu.
Saat ini, tren perdagangan internasional akan mengintegrasi ketiga isu menjadi satu komponen. Pemerintah masih berusaha memenuhi manajemen mutu di setiap lini industri di dalam negeri, hal ini terkait dengan kesiapan pengusaha dalam memenuhi standar sekaligus terkendala modal dan hitung-hitungan keuntungan yang adil, adil bagi pemilik modal dan kewajiban pemenuhan kesejahteraan karyawan. Sedangkan isu lingkungan, mulai ramai disosialisasikan dan diimplementasikan karena masyarkat dunia mulai melirik manfaat dari mendukung usaha yang ramah lingkungan. Selanjutnya Pe-Er berat adalah memanusiakan pekerja. Bagaimana para eksekutif dapat mengintegrasikan ketiganya dan menjadi win-win solution, nampaknya akan menjadi tugas yang sangat berat bagi negeri ini. Salam..
NB: Btw, pelatihan ini juga ada materi pengenalan menjadi auditor (mutu, lingkungan), dimana menjadi auditor harus sesuai dengan kompetensi, misal saya latar belakang pendidikan adalah kajian lingkungan, maka saya bisa jadi auditor internal atau eksternal dalam bidang lingkungan. Hal detail yang sebaiknya selalu diingat auditor adalah ingat jam, ingat tanggal, ingat peristiwa. Dan yang kebayang dipikiran saya adalah menjadi detektif, entah mengapa.