Senin, 21 Mei 2012

Long Weekend... Baca!!

Akhir pekan kali ini adalah libur panjang, dari hari kamis sampai minggu. Padahal kamis itu libur dalam rangka "kenaikan Yesus Kristus", lalu Jumatnya dibuat (dipaksa) cuti bersama buat kantor-kantor pengikut jadwal pemerintah. Saya mah seneng saja. Berhubung tidak ada rencana spesifik, jadinya saya isi dengan serabutan. Tidur dan Baca!!! Orangtua pernah bilang: kalau mau kasih kabar ke dunia yang bisa menularkan semangat saja, jadi judulnya saya cantumkan hanya kata "Baca", kata "tidur" saya urai dalam paragraf ini saja. hehe..

Ada dua buku yang rampung dibaca, saya pilih yang ringan saja, bukunya Soleh Solehun dan Biografi Che Guevara. Buku yang kedua, saya nemu di buku diskonan, cuma 15 ribu saja. Biar adil, kalau bukunya Kang Soleh, 40 ribu dan belum ada diskon. 

Biografi "Che Guevara" dan Buku "Celoteh Soleh"
Dari buku "Celoteh Solihun" saya jadi semangat lagi untuk isi blog. Biasanya, kalau ingin catat apa kata otak, saya taruh di memopad hp, kayak buku harian. Setelah baca bukunya Kang Soleh, jadi ingin pindahin catatan itu ke blog. Cuma .. saya tidak ingin terlalu banyak cerita pribadi disini. Buat saya ada beberapa hal yang tetap harus menjadi ranah private, biar tetap misteri, jadi tetap menarik. Being mysterious girl is cool. hehe.. 

Kalau bukunya Che, buat saya sih tidak ringan, sebab bicara sejarah. Saya penasaran sosok yang banyak di idolakan penganut sayap kiri ini. Secara detail saya tidak ingat, paling tidak yang saya dapati bahwa Che itu berpenyakit asma, seorang dokter yang menjadi pemimpin revolusi dengan gaya yang flamboyan dan memperjuangkan kesejahteraan bagi rakyat miskin, kelaparan, pendidikan dan kesehatan. Dan perjuangannya yang membawa Kuba sebagai negara swasembada pangan ketiga. Dengan biografi grafis, kemudian saya membaca biografinya versi wikipedia Indonesia saja (hehe.. ringan dan ga perlu terjemahan). Isinya ternyata lebih lengkap versi komik. Ditambah ingatan dari pengalaman visualisisasi, saya jadi sedikit banyak bisa mengenal perjuangannya. 

-Y-

Rabu, 16 Mei 2012

Filsafat dan Askesis

Sekitar lima tahun yang lalu, saya sering berada ditengah dua orang yang berdiskusi, saya menjadi orang ketiga yang hanya mendengarkan dan menyerapnya, jarang (bahkan tidak pernah) bertanya apalagi menanggapi. Keadaan ini berlangsung cukup rutin, hampir setiap malam kecuali akhir pekan, selama kurang lebih empat tahun. Hal yang didiskusikan sangat beragam, dari mulai pekerjaan, kegiatan harian, sains, politik, sosial, ekonomi dan agama. Kami menyebutnya, kuliah malam.

Bagi saya, membangkitkan keingintahuan itu tidak mudah, awalnya saya bisa ketiduran karena tak sanggup mengikuti diskusi bahkan kadang menganggapnya tidak menarik, kemudian lama-lama saya bisa menahan kantuk demi mendengarkan diskusi selanjutnya. Namuuuun, ternyata menjadi pengamat saja tidak cukup, maka saya berusaha membaca buku untuk dapat mengikuti alur diskusi. Dengan membaca dulu, membuat saya lebih kaya dan semangat sekali, namun rasanya kok saya makin bodoh ya. Hingga satu saat, saya punya pertanyaan yang benar-benar membuat saya merasa sangat terguncang sekaligus tercerahkan. Dan itu saya ajukan ke guru-guru saya itu, dimana mereka tidak menjawabnya, karena jawabannya mereka serahkan kembali kepada saya. 

Baiklah, itu tadi adalah latar belakang yang membawa saya menyukai filsafat, dimana jaman adanya tokoh filsuf itu sudah muncul jauh sebelum era kejayaan Islam lahir. 
--
Saya sulit menghafal mengenai sejarah filsafat, untuk mudahnya saya coba mengenal tokoh-tokoh filsafat dari buku komik “Filsuf Jagoan”, jumlahnya ada 4 seri. Sajian visual, membuat saya ringan mengenal pemikiran-pemikiran para filsuf. Kemudian, saya coba mengenal pemikiran Sokrates melalui buku terjemahan pak Iones Rakhmat yang berjudul “Sokrates dalam Tetralogi Plato”. Lalu kemudian saya membaca novel Jostein Gaarder, “Dunia Sophie”. Padahal novel ini, sudah saya kenal sejak saya di Solo lewat kawan dekat saya yang sudah lebih dulu melahapnya, sedangkan saya baru membacanya setelah 10 tahun kemudian. Bukan main berarti kawan saya itu, saat ini ketika membacanya rasanya sulit untuk mencernanya, apalagi kalau bacanya 10 tahun yang lalu :) 
--
Beberapa minggu lalu, Salihara mengadakan kelas filsafat tentang Keutamaan, tentu saja saya tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Dan, pengalaman mengikuti kelas filsafatlah yang membawa saya gatal untuk menumpahkan pikiran saya melalui tulisan ini.
--
Kejenuhan akan diskusi monotheistik membangkitkan kembali diskusi-diskusi filsafat sebagai ilmu dan cara hidup. Beberapa orang yang terjebak di dalam agama warisan dan memilih bersikap moderat bahkan agnostik, mungkin akan mencoba mereguk pencerahan melalui kajian filsafat untuk sekedar menghilangkan dahaga. Sebagian mungkin sungguh-sungguh mempelajarinya sebagai ilmu pengetahuan, sebagian lagi mungkin mencoba mencuplik ajaran yang masih relevan untuk diterapkan pada konteks sekarang atau sebagai pencarian kebijaksanaan. Kajian seperti ini, cukup merangsang intelektual untuk memahami hermeneutik tanpa perlu takut disalahkan jika pembahasan tidak sesuai dengan kitab suci agama tertentu. Karena filsafat bukanlah peninggalan nabi seperti Alquran yang oleh arus utama Islam diyakini tidak dapat diragukan kebenarannya.

Sedikit banyak diskusi ini memang menjabarkan hal yang normatif, namun karena dari setiap pemikiran ada penjelasan yang melatar belakangi, maka menjadi menarik. Memang tidak harus dengan filsafat untuk mendapatkan pelajaran mengenai nilai-nilai universal. Di kajian-kajian agama manapun pasti kita bisa mengambil pelajaran hidup yang disepakati seluruh umat manusia secara umum, misal: jujur, saling mengasihi dan sabar. Namun, kembali lagi ke kelas filsafat, beberapa peserta diskusi mencoba mengambil pelajarannya dengan menarik kesimpulan diskusi secara elektik atau memilih nilai yang ditawarkan yang sesuai dengan jaman ini sebagai salah satu cara hidup.
--
Menurut Epiktetos : “Yang meresahkan manusia bukan hal-halnya itu sendiri, melainkan penilaian mereka atasnya”. Pemahaman ini mungkin sudah tersebar luas, dimana kita tidak mungkin mengontrol segala apapun yang terjadi atau yang ada disekitar kita. Kita tidak bisa mengatasi apa yang ada terjadi diluar, kita tidak mungkin mem-block pikiran orang lain untuk berhenti menghakimi kita. Namun yang bisa kita lakukan adalah menilai orang lain atas apa yang mereka lakukan kepada kita, bahkan terkadang kita mengevaluasi orang lain atas apa yang tidak dilakukannya, inilah hal yang paling tidak bijaksana, dimana kita hanya menebak, berasumsi sendiri. Alhasil reaksi kita akan beragam, dari mulai raut wajah, nada bicara hingga gesture yang mewakilkan hasil kerja otak kita. Gembira merupakan reaksi yang positif, sedangkan emosi, sedih dan cemberut adalah reaksi negasi atas kenyataan yang diharapkan. Dan, sesuatu yang berlebihan, bukanlah hal yang baik.

Kita perlu menyadari bahwa kita tidak dapat mengendalikan apa yang ada diluar kita, namun kita masih dapat mengendalikan apa-apa yang tergantung pada kita, artinya apa-apa yang menyangkut pikiran kita (hasrat, dorongan, dan cara penilaian). Obyek pengendalian diri itu dapat ditempuh dengan latihan. Tujuannya yaitu untuk melatih otak mengabaikan pikiran-pikiran buruk atas apa-apa yang tidak bisa dikendalikan oleh kita, sehingga bisa menghasilkan tutur kata dan perbuatan yang sesuai dengan rasio yang bijaksana.

Mahatma Gandhi merupakan tokoh yang senantiasa bersikap tenang menghadapi tekanan yang terjadi atas diri dan negaranya. Ketenangan membawanya menelurkan gagasan yang solutif dengan cara yang bijaksana. Sekilas nampaknya seperti utopis, tapi bisa jadi ini sebuah tantangan. Coba kita lihat konteksnya di era masa kini yang menawarkan konsep demokratis, dimana semua orang bisa mengungkapkan pendapatnya.

Berbagai macam jejaring sosial dan kolom website seperti facebook, twitter dan blogspot menawarkan wadah aspiratif, tak jarang menjadikannya sebagai buku harian atau tempat hujatan atas orang lain, organisasi, lembaga atau apapunlah bisa, karena kita bisa dengan mudah mengungkapkan opini melalui tarian jemari yang gemulai diatas tombol gadget. Kita juga dengan mudah disuguhkan beragam informasi yang membuat kita tidak hanya sekedar menelannya tetapi juga menimpali dengan penilaian yang kita pahami. Contoh ekstrimnya adalah melihat/membaca fakta adanya penyerangan FPI terhadap diskusi buku Irshad Mandji yang diselenggarakan baru-baru ini dibeberapa tempat. Hal-hal ini adalah diluar kehendak kita, yang jika kita coba ikuti beritanya tak sedikit yang akan terbawa emosi. Meskipun diam, bukan sebuah solusi, akan tetapi reaksioner pun hanya menawarkan kepuasan diri, kemudian lelah, pun juga belum tentu sebagai solusi. Disini perlu latihan untuk meluruskan cara berbahasa karena ini berkaitan dengan cara kita merepresentasikan atau mengevaluasi sesuatu. Dengan Askesis (latihan), maka kita akan memiliki kebiasaan baik.

Ini pelajaran hidup buat saya, karena dalam menanggapi sebuah fakta seringkali banyak dibumbui oleh opini. Dimana opini merupakan hasil kerja otak kita dalam mengevaluasi suatu fakta. Namun tak jarang, opini-opini yang muncul akhirya mengaburkan fakta yang sebenarnya, sehingga fakta menjadi terkubur dan hanya menyuburkan opini-opini saja. Seringnya orang malah malas menggali fakta yang sebenarnya, tetapi asik mengikuti opini orang lain. Bisa jadi, ini yang sebenarnya terjadi hingga muncul segmentasi kalangan yang kita sebut dengan bigot. Ahh... saya mulai beropini lagi.

Oiya, berhubung saya bukan filsuf, berikut tulisan Epiktetos yang menarik dan seakan mengajarkan untuk tetap rendah hati, dimana temanya bisa saja ditempatkan tidak hanya tentang filsuf saja tetapi agamawan atau ulama juga bisa barangkali. “Jangan pernah mengatakan di mana pun bahwa kamu seorang filsuf, dan jangan mendiskusikan terus menerus di depan orang profan (vulgar) tesis-tesis filosofis, melainkan lakukan apa yang dikatakan tesis-tesis tersebut. Lebih baik banyak-banyaklah diam. Jadi, jangan menunjukkan kepada kaum vulgar tesis-tesis filosofis, melainkan tunjukkanlah karya-karyamu hasil dari pencerahanmu atas tesis-tesis tersebut".

Demikian tadi, kira-kira yang saya dapat dari kelas filsafat yang dibawakan oleh Bapak Agustinus Setyo Wibowo tentang Stoikisme: Keutamaan melalui Askesis. Semoga berguna.

-Y-

Minggu, 13 Mei 2012

Pengenalan Standarisasi

Filosofi Standarisasi

Tanggal 12 Mei 2012, saya mengikuti pelatihan tentang standarisasi atau kita kenal dengan ISO (the international organization for standardization) yang disampaikan Bp. Koeswidijono, dosen dan Internasional Auditor. Motivasi mengikuti pelatihan adalah untuk mengenal dan memahami ilmunya sekaligus tadinya meluaskan jaringan, hehe.. ternyata kelas hanya diikuti oleh sembilan peserta. Lumayanlah.

Maksud hati menulis saat ini adalah untuk merapikan catatan di kertas yang ga karuan dan memindahkan ke blog supaya saya bisa baca-baca lagi sewaktu-waktu. Tapi tentu saja tidak akan sama persis seperti yang disampaikan Bapak pengajar, karena hal yang saya tuangkan hanyalah sepenangkapan saya saja dan yang tentunya bagi saya menarik.

Standarisasi dibentuk dari gagasan sebuah badan internasional yang menangani peraturan perjanjian untuk jual beli barang/jasa yang melibatkan lintas negara dalam sebuah wadah yaitu World Trade Organization (WTO) pada tahun 1994. Hingga kini, anggota WTO terdiri atas 155 negara. Tujuan negara menjadi anggota WTO adalah ikut dalam peraturan internasional sehingga terjadi pertukaran barang dan jasa dari dalam dan keluar negara yang dapat meningkatkan kesejahteraan bangsa. Kira-kira begitu. Sebagai badan institusi internasional, WTO bertugas membuat perjanjian multilateral yang meliputi perdagangan barang, sektor jasa/pelayanan, dan hak properti intelektual. Untuk perangkat peraturan perjanjian yang akan disepakati negara anggota mengenai pertukaran barang disebut dengan GATT (General Agreement on Trade & Tariff), sedangkan tentang jasa di atur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services). Dalam konteks pelatihan ini sedikit lebih jauh membahas GATT karena terkait dengan standar mutu untuk produk.

Sebelum berlaku GATT, negara importir memiliki kewajiban untuk membayar bea masuk ke negara tujuan sebesar 0-5-14%. Hal ini memberatkan importir, namun memberi keuntungan bagi negara tujuan dari pendapatan tambahan bea masuk tersebut. Namun, setelah menyepakati GATT, maka berlaku Free Trade Area dimana terjadi eliminasi tarif masuk serta kuota impor. Dengan aturan ini, maka negara mana pun bebas mengirimkan barangnya di Indonesia. Hal ini menjadi ancaman negara, artinya jika modal lebih banyak dari luar negeri sementara pengusaha domestik sulit mendapatkan modal usaha, maka yang terjadi adalah penjajahan barang secara gencar ke dalam negeri. Dengan demikian maka pengusaha dan negara kita akan semakin terpuruk. Namun untuk mengantisipisi hal ini (yang bisa saja terjadi dengan negara berkembang lainnya), maka ada sebuah technical barrier to trade, artinya ada syarat yang secara teknis menentukan spesifikasi suatu produk yang bisa diperdagangkan di suatu negara. Dalam hal ini, Indonesia menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang harus dilaporkan ke WTO, kemudian WTO akan mengumumkan kepada seluruh anggota WTO mengenai standar itu, sehingga kesempatan perdagangan diberikan sama kepada semua negara yang dapat memenuhi SNI.

Bisa bayangkan betapa pentingnya SNI di sini. Untuk mecegah penjajahan baru maka persaingan menuntut negara untuk mengerti cara internasional dan harus bisa bermain sama canggihnya atau ilmu harus berimbang dengan mereka, kira-kira ini inti yang disampaikan Pak Fadel Muhammad kata Pak Koeswidijono.

Buat saya, uraian diatas menarik sebagai filosofi gencarnya orang menaikkan mutu produk, dan ini hal baru buat saya. Padahal dengan baca situs WTO, mungkin orang sudah bisa menangkap ya, tapi saya ya gini.. kudu ikut pelatihan dulu baru 'dong' (sleng Jawa artinya ngerti). hehe..

Definisi "Standar"

Standar adalah diawali dari sebuah pedoman yang dirumuskan oleh badan "Legislatif" yang diterapkan oleh "Eksekutif", kemudian diawasi oleh badan "Yudikatif", hasil dari evaluasi diperbaiki atau diterapkan kembali oleh "Eksekutif".

Siapakah aktor dari definisi "standar" diatas:
  • Legislatif = Tingkat Internasional adalah ISO; Tingkat Nasional adalah BSN. Standar yang dikeluarkan BSN adalah mengadopsi/terjemahan dari ISO. 
  • Eksekutif = Tingkat Internasional adalah WTO; Tingkat Nasional adalah menteri teknis dan pengguna/industri. 
  • Yudikatif = Tingkat internasional adalah International Acreditation Forum, ILAC; Tingkat Nasional adalah KAN, dibawah KAN ada sejumlah lembaga-lembaga sertifikasi (mutu, lingkungan, SNI, Lab), dimana lembaga sertifikasi dapat melakukan sertifikasi terhadap organisasi/perusahaan. Lembaga sertifikasi mendapat akreditasi dari KAN. Antara tingkat internasional dan nasional dijembatani oleh Mutual Recognition Agreement (MRA). 
Ketika diajarkan ditampilkan dalam bentuk bagan, namun saya hanya bisa menampilkan dalam bentuk deskripsi seadanya. Jadi mohon maaf.

Tingkatan Standar ada lima:
  1. Internasional = antara lain: ISO, IEC (International Engineering Consortium). 
  2. Regional = antara lain: European Union, ASEAN. 
  3. Nasional = antara lain: SNI, JIS (Japan Industrial Standard). 
  4. Asosiasi 
  5. Organisasi = sepertinya NGO tempat saya bekerja bergerak di tingkat ini. Hemm.. menarik bukan.. saya jadi tahu sedikit tentang posisi organisasi tempat saya bekerja. 
Jenis Standar ada lima:
  1. Standar sistem = misal ISO 9001: 2008, ISO 14001:2004. 
  2. Standar produk 
  3. Standar uji 
  4. Standar kalibrasi 
  5. Standar inspeksi 
Nahh.. segitu aja yang saya tangkap.. selebihnya pembahasan dalam tentang ISO 9001: 2008 (manajemen mutu), ISO 14001:2004 (sistem manajemen lingkungan), dan OHSAS (keselamatan kerja). Oiya.. saat ini setiap industri akan mengikuti ISO mutu karena tentu biar produknya bisa beredar di pasaran. Sedangkan isu lingkungan nampaknya menjadi perhatian bagi industri minyak, gas dan pertambangan.

Untuk isu keselamatan kerja, dibangun dari riset yang menunjukkan fakta bahwa pekerja yang tewas dalam setahun baik secara langsung atau akibat dari terpajan zat beracun yang pelan-pelan merenggut kesehatannya, ternyata lebih banyak dari korban perang. (Fakta ini berdasarkan uraian dari pengajar, saya belum sempat mencari sumber tertulis). Badan yang concern terhadap isu ini adalah International Labour Organization (ILO). Di Amerika nampaknya sudah mengatur dengan detail mengenai isu keselamatan kerja, misal: aturan kompensasi jari yang terpotong, cacat permanen, dll, yang nampaknya negara kita belum menaruh perhatian sedalam itu.

Saat ini, tren perdagangan internasional akan mengintegrasi ketiga isu menjadi satu komponen. Pemerintah masih berusaha memenuhi manajemen mutu di setiap lini industri di dalam negeri, hal ini terkait dengan kesiapan pengusaha dalam memenuhi standar sekaligus terkendala modal dan hitung-hitungan keuntungan yang adil, adil bagi pemilik modal dan kewajiban pemenuhan kesejahteraan karyawan. Sedangkan isu lingkungan, mulai ramai disosialisasikan dan diimplementasikan karena masyarkat dunia mulai melirik manfaat dari mendukung usaha yang ramah lingkungan. Selanjutnya Pe-Er berat adalah memanusiakan pekerja. Bagaimana para eksekutif dapat mengintegrasikan ketiganya dan menjadi win-win solution, nampaknya akan menjadi tugas yang sangat berat bagi negeri ini. Salam..

NB: Btw, pelatihan ini juga ada materi pengenalan menjadi auditor (mutu, lingkungan), dimana menjadi auditor harus sesuai dengan kompetensi, misal saya latar belakang pendidikan adalah kajian lingkungan, maka saya bisa jadi auditor internal atau eksternal dalam bidang lingkungan. Hal detail yang sebaiknya selalu diingat auditor adalah ingat jam, ingat tanggal, ingat peristiwa. Dan yang kebayang dipikiran saya adalah menjadi detektif, entah mengapa.

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...