Kamis, 06 Agustus 2009

Pesona Baduy Dalam (Part 4-end)

19 Juli 2009


Setelah sarapan dengan mi instan didalam gelas, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Baduy Dalam lainnya yaitu Cikartawana dan Cikeusik. Kedua kampung tersebut dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Luas kedua kampung ini lebih kecil dibandingkan dengan kampung Cibeo dan jumlah Kepala Keluarganya pun lebih sedikit. Pada saat kami singgah, tampak lenggang suasana kampung karena warga berladang. Hanya beberapa wanita dan anak-anak serta seorang pria yang bertugas menjaga keamanan kampung yang terlihat.

Paling kiri : Jama’. Paling kanan : Pulung. Anak-anak Baduy yang dianggap mulai besar. Keempat anak ini membantu mebawakan tas peserta rombongan.
Jalan tetap berbukit dan panas. Meski demikian, tak menyurutkan para pembalak liar memapah dipundaknya batang kayu curian yang kami temui dalam perjalanan pulang. Entah mengapa, begitu mudahnya para pembalak tersebut memapah batang demi batang gelondongan kayu tersebut. Jika hal ini terus dilakukan, maka besar kemungkingan keseimbangan hutan dapat terganggu.

Dari cikeusik hanya membutuhkan waktu 1,5 jam dengan berjalan kaki untuk sampai di desa Nanggerang. Rute pulang yang dipilih berbeda dengan keberangkatan. Padalah setelah jembatan terakhir yang memisahkan Baduy Dalam dan desa luar, dapat ditempuh dengan ojek. Sehingga dapat dikatakan dari desa Nanggerang, perjalanan relatif lebih mudah dan lebih cepat hanya 1 jam berjalan kaki.

Jembatan Pembatas Desa Nanggerang dengan Desa Kanekes (Baduy Dalam)
Catatan Penulis

Suku Baduy Dalam memiliki hukum adat yang berlaku sama untuk ketiga kawasannya yaitu kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Dalam sistem yang terbentuk secara turun temurun tersebut sejak berabad-abad lamanya, tidak menggoyahkan keyakinan yang kuat dari setiap suku untuk mentaati. Aturan yang dengan setia dipatuhi oleh warganya, serta larangan bersekolah membuat warga tidak akan berpikir menyimpang dan berani membangkang. Tidak adanya listrik dan terputusnya jalur masuk informasi ke dalam kawasan adat merupakan sistem tertutup yang terbentuk. Selain itu, larangan dokumentasi dan ketiadaan informasi akan sejarah suku Baduy Dalam dapat meminimalisasi sentuhan dunia luar mengeksplorasi lebih dalam kawasan tersebut (yang besar kemungkingan malah dapat merusak sistem adat yang ada).

Meskipun setiap warga memiliki hak asasi untuk memajukan pendidikannya, namun dengan adat Baduy Dalam yang terbentuk maka kita patut berterimakasih kepada suku Baduy Dalam akan kearifan lokal yang mereka miliki. Ditengah hingar bingar kemajuan informasi dan telekomunikasi serta sarana dan prasarana, suku Baduy Dalam tetap mempertahankan budayanya. Dengan adat dan kebudayaan tersebut, maka konservasi alam terjaga dengan sangat baik. Tanah pegunungan Kendeng tetap terjaga berkat keyakinan pikukuh dalam berladang yang tidak mengubah bentang alam. Sehingga tanaman dapat dengan baik menyerap hujan dan menyimpan air tanah, dan erosi dan tanah longsor dapat dihindari. Hutan larangan yang merupakan hutan lindung dapat terpelihara dengan sendirinya tanpa sentuhan pemerintah (departemen kehutanan). Dengan demikian sumber mata air pegunungan (aquifer) dapat terpelihara, Keseimbangan ekologis hutan terjaga dan kebutuhan air bagi penduduk desa dan kota setempat dapat tercukupi. Ditambah lagi pemadangan yang indah dan segarnya udara pegunungan serta jernihnya air sungai yang mengalir masih dapat kita nikmati.

Hal ini tak lepas dari kerjasama berbagai pihak. Pertama, tentu saja komitmen dari suku Baduy Dalam untuk mempertahankan budayanya ditengah arus perkembangan peradaban yang begitu cepat. Kedua, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan memberikan sepenuhnya hak ulayat suku Baduy Dalam, serta menjaga dan memantau kawasan wisata sebagai cagar budaya agar tetap exist. Ketiga, warga desa diluar kawasan Baduy Dalam dan para pengunjung agar menghargai serta patuh akan ketentuan adat yang berlaku. Jika semua bekerjasama menghormati budaya yang ada, maka keharmonisan dan keseimbangan lingkungan dapat terjaga. Hal ini berkat Kearifan lokal yang terbentuk dari budaya suku Baduy Dalam, dan merupakan bekal bagi generasi yang akan datang untuk dapat menikmati lingkungan yang bersih dan sehat.

Namun apabila terjadi suatu keadaan dimana keterbukaan arus masuk menuju kawasan wisata budaya suku Baduy Dalam menjadi lebih mudah, contohnya jika tidak perlu lagi berjalan kaki dan tersedia sarana transportasi dengan mudah, maka hal ini berpotensi rusaknya sistem tertutup adat yang telah ada sehingga memungkinkan pudarnya hukum adat dan keberadaan suku Baduy Dalam itu sendiri.

-Y-

Pesona Baduy Dalam (Part 3)

Kepercayaan dan Sistem Tanggal

Tak ada data sejarah yang dengan jelas menerangkan asal muasal suku Baduy Dalam, karena tidak adanya budaya menulis dan menuangkan dalam simbol maka hanya dapat diperkirakan nenek moyang suku ini terbentuk. Mereka menganut animisme, tidak mengenal ritual dalam keseharian. Mereka hanya menjalankan laku sederhana dan patuh kepada hukum adat yang diyakini secara turun temurun. Kepercayaan mereka disebut Sunda Wiwitan.

Suku Baduy Dalam sangat menghormati pemimpin adat atau Puun, namun dalam keseharian kedudukan Puun setara dengan Jaro (semacam lurah) dan warga lainnya. Puun dan Jaro dipilih secara musyawarah, bukan secara turun temurun. Saat ini Puun telah memimpin suku Baduy selama kurang lebih 32 tahun. Mereka sangat yakin, dengan kepemimpinannya maka warga terhindar dari sakit dan selalu sehat.

Dalam sistem pertanggalan, dikenal 12 bulan yaitu: Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanem, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, Hapid Kayu. Saat kami berkunjung, warga meyakini jatuh pada bulan Kaanem. Karena mereka tak mengenal angka dan berhitung, maka usia pun dihitung dengan mengira-ngira. Jadi jangan berharap, mereka memiliki akte kelahiran.

Bagi para pendatang yang hendak mengunjungi kawasan wisata tersebut, Baduy Dalam tidak selalu membuka pintu bagi para pengunjung. Pada saat Upacara Kawaluh yang jatuh pada bulan Kasa, Karo dan Katiga. Bulan ini dianggap suci, sehingga suku Baduy dalam berpuasa dan melakukan mati geni (tanpa api). Kemudian Upacara Ngalaksa, seperti lebaran sebagai perayaan atas berpuasa selama tiga bulan. Suku Baduy Dalam tidak memperkenankan warga asing selain keturunan Cina berkunjung ke kawasan wisata. Nenek moyang mereka hanya menganggap saudara kepada keturunan Cina karena sebagai pedagang.

Perilaku dan keseharian suku Baduy Dalam sangat sederhana dan tanpa ambisi. Sebuah pertanyaan saya lontarkan kepada beberapa warga mengenai alasan kesederhanaan tersebut. Jawaban yang dilontarkan begitu cerdas dan masuk akal. Bagi mereka keseragamanlah yang membuat mereka tidak saling iri. Bentuk dan ukuran rumah yang sama, cara dan model berpakaian yang sama, luas ladang yang kurang lebih sama, serta mata pencaharian yang sama membuat mereka tak perlu iri dengan tetangga. Meskipun sudah mengenal uang dari hasil menjual kerajinan tangan dan hasil panen serta upah menjadi porter, yang tentunya jumlahnya akan berbeda pada setiap kepala keluarga, namun tetap tidak membuat mereka iri.

Amanat Buyut yang digantung sebelum memasuki kawasan wisata Baduy dalam melalui Desa Naggerang. Papan tsb merupakan norma keseharian bagi suku Baduy dalam yang ditulis oleh Pemerintah Kabupaten Lebak
Sistem adat yang terbentuk, membuat setiap warga tidak ingin iri dan saling pamer. Salah seorang warga menjelaskan demikian : “beda dengan dikota, yang satu punya mobil, terus yang satu punya motor. Disinikan (Baduy Dalam) ga boleh punya apa-apa, jadi ga bisa ngiri”. Pernah ada seorang warga Baduy Dalam dititipkan barang dagangan oleh orang luar dengan menggelar makanan, padahal si warga tersebut tidak pernah bermaksud mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Namun tetap saja hukum adat mengusir warga tersebut dan dikeluarkan dari identitas sebagai warga Baduy Dalam. Ketentuan bagi warga Suku Baduy Dalam, hanya diperbolehkan menjual hasil kerajinan tangan sendiri dan hasil panen sendiri. Sehingga tak ayal, sesampainya kami disana disambut penjual dari desa sebelah yang menawarkan cenderamata seperti gantungan kunci, teko, centong nasi dan sayur, cincin, gelang dan slayer. Sedangkan dari warga Suku Baduy menawarkan tas anyaman kayu berwarna coklat seharga 20 ribu dan syal hitam seharga 30 ribu. Harga dapat bervariasi, tergantung si empunya cenderamata memberi harga. Dan ketentuannya, para pengunjung tidak boleh menawar. Meskipun demikian, warga Baduy Dalam tidak pernah berusaha mengambil keuntungan terlalu banyak.

Warga Baduy Dalam tidak pernah mengotori daerahnya dengan sampah anorganik. Bagi pengunjung dilarang menggunakan sampo, sabun dan pasta gigi di sungai. Dengan demikian terjaga kebersihan air dari polutan. Sedangkan sampah anorganik seperti plastik akan dikumpulkan menjadi satu dan segera dibakar. Selama perjalanan menuju Cibeo, ketua rombongan Daniel Ismandaru mengumpulkan satu kantong besar sampah plastik yang ditemukan di jalan. Kegiatan menjaga lingkungan ini telah lama ia lakukan sejak tahun 1992 pertama kali menginjak Baduy Dalam. Pada saat itu, medan perjalanan sangat berbeda jauh dengan saat ini yang jauh lebih mudah.

-Y-

Pesona Baduy Dalam (Part 2)

Saya begitu takjub dengan keteraturan ritme biologis yang dimiliki suku Baduy Dalam. Meskipun tidak mengenal jam dan adanya perbedaan pengaturan sistem bulan, namun mereka tetap dapat mempertahankan eksistensinya karena sistem tertutup yang telah dibangun dan dilaksanakan selama berabad-abad.

Suku Baduy bangun dipagi hari saat ayam mulai berkokok, kemudian bagi para wanita akan ke sungai atau menumbuk ani-ani dan melakukan persiapan sebelum berladang. Pada saat matahari terbit, wanita dan pria dewasa sudah meninggalkan rumah dan pergi ke ladang. Tak jarang mereka pun membawa serta anak-anaknya. Baru setelah kurang lebih pukul 4-5 sore mereka kembali dan menyiapkan makan malam. Menjelang senja, kampung sudah mulai sepi. Ketika gelap menyelimuti, mereka sudah masuk kedalam rumah. hanya sekitar 1-3 orang yang bertugas melakukan ronda demi menjaga keamanan kampung.

Bagi para wanita lajang, setiap malam minggu diadakan perkumpulan pada sebuah aula. Terkadang pria lajang akan menghibur dengan diiringi lantunan kecapi untuk dipersembahkan bagi para wanita lajang tersebut. Namun jangan sampai pada saat tersebut, pendatang mencoba untuk bergabung maka para wanita akan malu dan meninggalkan aula.

Setiap sabtu malam, beberapa suku Baduy kerap berkunjung kedesa terdekat untuk melihat berita terkini mengenai dunia luar. Sehingga tak hanya bahasa sunda saja yang mereka kuasai, bahasa Indonesia pun dan sedikit bahasa Inggris mereka kuasai dengan cara otodidak. Pada bulan tertentu dan pekerjaan diladang sedikit longgar, mereka akan berkunjung kekota sekedar mengunjungi teman (mereka akan menganggap teman bagi setiap pengunjung) atau panggilan salah seorang pengunjung untuk keperluan riset atau ilmu pengetahuan. Bahkan untuk urusan klenik pun, menjadi alasan mereka mengunjungi dunia luar bagi orang yang memerlukannya. Atau untuk sekedar berbelanja kebutuhan dasar, seperti membeli manik-manik sebagai bahan dasar membuat kalung dan gelang yang dilaksanakan para wanita. Biasanya setelah berkunjung, mereka akan memperoleh uang untuk tambahan keperluan hidup.


Suku Baduy hanya diperkenankan berjalan tanpa alas kaki kemanapun tujuannya. Mereka dilarang menggunakan kendaraan. Oleh karena itu, butuh waktu 3-4 hari untuk sampai ketempat tujuan seperti Jakarta. Ini merupakan hukum adat. Mereka yakin akan tertimpa bencana jika melanggar aturan. Meskipun mereka belum pernah menemukan fakta tersebut, namun mereka tidak mau melanggarnya.
Dalam sistem pernikahan Suku Baduy melakukan monogami, jika pasangan meninggal barulah mereka dapat menikah lagi. umumnya satu keluarga memiliki banyak anak. Orangtua akan menjodohkan anak remajanya yang terlebih dahulu diajukan kepada “puun” untuk memperoleh persetujuannya. Tidak diperbolehkan menikah satu keturunan, namun apabila tak ada pilihan maka sesama cucu yang berbeda orangtua boleh menikah. Peradaban yang tertanam dengan baik selama bertahun-tahun, dimana jika incest (menikah satu keturunan) dilakukan maka dapat melahirkan generasi yang cacat.

Suku Baduy Dalam memahami arti hidup. Dalam perjalanan usia, pria dan wanita memiliki kewajiban mengolah dan mempertahankan adat setempat. Dari mulai bermusyawarah dalam pemilihan pemimpin adat, membangun rumah kampung adat, menjaga ladang dan kawasan kampung adat, serta mempertahankan sistem dan hukum adat Baduy Dalam dengan cara menyampaikan kepada keturunannya secara lisan.

Ketika melahirkan, suku Baduy Dalam memiliki dukun yang disebut Paraji. Jarang terjadi kasus sulit, kalaupun ada maka bidan dari Baduy Luar pun diperkenankan membantu. Meskipun demikian, kematian bayi tak dapat dihindarkan. Jenazah akan dikebumikan di bagian selatan kampung Baduy Dalam, dengan sebelumnya dimandikan terlebih dahulu.

Mata pencaharian suku Baduy Dalam adalah berladang. Mereka memiliki kepercayaan untuk tidak mengubah bentang alam atau disebut pikukuh, sehingga menanam padi dilakukan dengan huma atau disebut padi huma. Padi huma tidak memerlukan irigasi, menanamnya seperti tanaman biasa. Untuk memaksimalkan berladang, digunakan bambu (salah satu ujung batang dibuat runcing) yang ditancapkan ke tanah untuk menunjang daun dan batang. Selain padi, secara tumpang sari dilakukan selingan menanam singkong, kacang tanah. Setiap kepala keluarga memiliki kurang lebih 2 hektar ladang garapan. Dengan luas tersebut, suku Baduy Dalam ada juga yang menanam durian. Jika panen, mereka seringkali menjualnya ke luar. Namun demikian, mereka pun kerap mengalami kekurangan pangan. Dengan demikian, mereka akan ke pasar di desa sebelah untuk membeli pangan seperti tempe, ikan dan beras serta sayuran. selain tanaman, Baduy Dalam melepaskan ternak ayamnya di ladang. Kadang ayam menjadi santapan mereka, namun lebih khusus untuk acara tertentu seperti perkawinan dan perayaan.

Lumbung untuk menampung hasil panen. Foto ini hanya contoh yang diambil dari Desa Nanggerang di luar Baduy Dalam, karena larangan mengambil dokumentasi sehingga foto ini hanya digunakan sebagai ilustrasi. Suku Baduy Dalam pada saat panen, akan melakukan Seba atau kunjungan ke Bupati dan Gubernur sebagai bentuk penghargaan terhadap pemerintah dan menjalin silaturahmi.

-Y-

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...