Pada abad ke-18, istilah pencerahan atau illuminate / enlightenment pertama kali diperkenalkan oleh Immanuel Kant. Pada essaynya tertulis : “Answering the Question: What is Enlightenment?”. Definisi pencerahan menurut Kant dalam bahasa latin yaitu Sapere aude (dare to know). Dalam bahasa umum definisinya adalah ‘berani’ untuk mengemukakan penalaran yang baru, penalaran yang berbeda dari asumsi umum.
Penekanan pencerahan ada pada kata ‘berani’ yang wajib ditonjolkan untuk dapat mengungkapkan nalar –nalar (yang berbeda) pada orang lain. Karena kalau tidak berani untuk mengatakannya, maka pencerahan tersebut tidak akan berlari kemana-mana, hanya berhenti dikepala. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencerahan adalah berani mengutarakan yang tidak sesuai dengan mainstream.
Nalar yang belum (atau tidak) matang biasanya ter-conserve pada satu dogmatis tanpa mencoba untuk berani menalarkan dogma tersebut atau disebut konservatif. Secara filosofis, konservatif berasal dari kata conserve (konservasi) dari suatu nilai, paham, dogma tertentu. Dalam hal ini maka pencerahan dapat juga diartikan untuk berani keluar dari nalar yang belum matang.
Meskipun illuminate sudah lama dikumandangkankan oleh para filsuf terdahulu, namun era ini baru dapat beredar bebas semenjak masa demokrasi berkiprah di Negara kita. Kebebasan dalam bentuk apapun, kebebasan subyektif maupun kebebasan obyektif. Kebebasan subyektif maksudnya kebebasan pada ranah internal pribadi atau dalam pikiran, misalnya kebebasan berimajinasi, kebebasan mengolah asa dan cita. Sedangkan kebebasan obyektif yaitu kebebasan yang ada didunia nyata, contohnya bebas untuk melakukan apapun seperti memukul, telanjang, berlari, bergerak dan semacamnya.
Namun kebebasan obyektif seseorang seringkali berbenturan dengan kebebasan obyektif orang lain. Misalnya si A merasa bebas untuk mengeruk Sumber daya di hutan Kalimantan, namun pada prakteknya si A akan berbenturan dengan suku Dayak yang juga merasa memiliki dan bebas memperlakukan hutan Kalimantan sebagai wilayah pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Atau masih banyak lagi contoh dimana kebebasan obyektif seringkali tidak dapat terpenuhi karena orang lain juga dapat memiliki kebebasan obyektif yang sama. Benturan antar rebutan akan pemenuhan masing-masing hak kebebasan obyektif ini, tak dipungkiri malah timbul gesekan yang akhirnya menjadi sebuah konflik.
Padahal di zaman reformasi ini, kebebasan obyektif menjadi salah satu pedoman dalam menjalankan roda demokrasi. Namun jika melihat side effect dari kebebasan obyektif (red-konflik) ini, maka lebih mungkin jika model kebebasan subyektif lebih kondusif. Atau lebih mungkin lagi jika memang ingin kebebasan obyektif yang dijalankan, namun tetap menyelipkan unsur tirani-demokrasi yang dianut Negara kita mengingat kebiasaan kita yang seringnya kebablasan dalam mengintepretasikan kebebasan demokrasi.
Bebas akan terus diperjuangkan, karena pada dasarnya manusia ingin hidup dengan bebas. Namun dalam menterjemahkan bebas ke dalam diri maka perlu paradigma (world view) yang menjadi patokan manusia agar dapat hidup damai dalam pencitraannya mewujudkan hakikat diri. Dalam hal ini skala preferensi harus menggunakan logika untuk menentukan keputusan yang akan diambil.
Dalam mengartikan hakikat hidup, biasanya akan berbeda pada tiap-tiap individu. Secara filsafat akan banyak aliran yang akan ditempuh untuk mendefinisikannya, dan pada akhirnya para pemikir akan sampai pada pencarian kebenaran dibalik dimensi hakikat manusia yaitu Sang Khalik. Walau kebenaran belum tentu dapat ditemukan titik temunya, dan meski tidak juga semua aliran filsafat mencari kebenaran akan hakikat sejati kebenaran ini. Namun pada perkembangan ketauhidan, terdapat dua macam ilmu dalam upaya mengimani ketauhidan akan Sang Pencipta. Pertama secara teologi yaitu bertauhid dengan cara mengimani wahyu yang diyakini bersumber dari-NYA. Dan yang kedua adalah secara filosofi dengan cara menalarkan ketauhidan. Bahwa Sang Akbar dapat dinalarkan. Dimana dalam nalar yang sehat terdapat Iman yang kuat. Karena menurut al-Farabi filsafat itu setara dengan wahyu, hanya saja wahyu zaman rasul, yang notabene rasul diyakini sebagian orang sudah tidak ada di abad ke-8, maka buah pikir para filsuf seperti ‘cogito ergo sum’ (saya berpikir maka saya ada)nya Rene Descartes merupakan sebuah wahyu masa kini untuk mengajak manusia memiliki pola berpikir nalar. Menalarkan keTuhanan.
Dalam suatu tulisan atau asumsi, wajar bila terjadi kesamaan dengan orang lain. Karena manusia biasanya belajar dari meniru. Kemudian wajar bila kemudian memiliki pemikiran yang sama. Namun dalam dunia akademis maka hal ini dapat dikatakan plagiat jika tidak mencantumkan nama sipenulis sebelumnya. Padahal logikanya, dunia yang sudah ribuan tahun ini eksis dihuni makhluk hidup, maka mungkin saja sesuatu yang di klaim sebagai karya pertama yang dipublikasi itu sudah ada sebelumnya. Tapi jika saja dunia akademis mau sepakat untuk tidak sepakat, mungkin saja logika ini dapat diterima, Wallahualam :)
-Y-
Kamis, 12 Maret 2009
Langganan:
Postingan (Atom)
Belajar Menari dengan Legowo
Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...
-
Program Bayi Tabung 11 Juni 2015 Waktunya untuk pengambilan ovum (sel telur) atau disebut ovum pickup (OP). Kali ini dilakukan d...
-
Dulu ketika kuliah, punya sepatu bermerek dan (bagi saya) mahal, rasanya seperti mau terbang, percaya diri tumbuh seakan-akan posisi sosial...
-
"Setiap orang memiliki kebutuhan, keyakinan, pengetahuan dan rencana dalam menjalani hidupnya masing-masing. Tentu tidak harus sama d...