Jumat, 28 November 2008

Haji Mabrur

Haji adalah rukun Islam kelima setelah syahadat, shalat, zakat, dan puasa. Karena haji memerlukan persiapan dari segi moral dan materi dalam jumlah yang besar, maka pada pelaksanaannya ibadah ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang tertentu saja. Harapan bagi setiap jamaah haji sepulang dari perjalanan spiritual tsb adalah menjadi haji mabrur. Lalu apa sebenarnya haji mabrur itu?

Mabrur berasal dari bahasa Arab, dalam Alquran tertuang kata al birra (QS. 3:92) yang artinya dalam bahasa Ingggris adalah excellent. Dalam kosakata bahasa Indonesia untuk kata excellent, tidak ada padanannya. Kalau diartikan sebagai sempurna, tidak cocok, karena sempurna bahasa Inggrisnya adalah perfect. Kalau diartikan istimewa atau luar biasa juga tidak bisa, karena dalam bahasa Inggrisnya bisa special atau extraordinary. Jika melihat terjemahan Quran ke bahasa Indonesia, baik terjemahan DepAg ataupun karya TNI AD yang disambut MUI, arti kata al birra adalah sempurna, yang maknanya belum tepat dengan kata excellent.

Dalam sistematika penilaian, excellent merupakan puncak dari point tertinggi. Berikut ini urutan tingkatan nilai dari point terendah sampai tertinggi : worst, very bad, bad, not so good, not so bad, good, very good, excellent. Jika diaplikasikan pada konsep ibadah haji, maka makna excellent atau mabrur dapat dituangkan kedalam satu variable yaitu sikap, perwujudan akhlak yang excellent dalam keseharian seorang umat.

Mabrur atau excellent bukan makna yang tertuang pada cara-cara yang benar sebelum dan atau pada saat melakukan ibadah haji, namun esensinya adalah kebaikan yang excellent, sikap atau perilaku dalam menghadapi kehidupan sosial sehari-hari, sepulang dari perjalanan ke Mekkah.

Seorang haji di’cap’ sebagai haji mabrur apabila tercermin pada perilakunya sehari-hari seperti bersikap baik pada semua orang, meskipun pada orang yang memusuhinya. Tidak menyakiti hati orang lain, membuat dirinya bermanfaat untuk orang lain, meringankan beban orang lain baik dalam bentuk materi, maupun ilmu. Itulah kebaikan yang excellent, mampu memberikan warna hidup lebih cerah untuk orang lain. Semata-mata karena kesadaran tinggi akan ke- Esaan Allah. Bukan yang dengan kesibukannya beribadah kepada Allah tetapi mengabaikan keadaan sekitar, kelaparan disekeliling, dan kebodohan disekitar kita. Mabrur adalah keyakinan dan kesadaran tinggi akan hakikat manusia dan hakikat hidup sebagai ciptaan-NYA, khalifah di bumi.

-Y-

Senin, 03 November 2008

Taubat

Manusia yang memaknai hidupnya, akan mengisi perjalanan waktunya dengan tuntunan taubat untuk memudahkan ia menuju Allah. Taubat memiliki arti kembali. Pengertian kembali adalah bermula dari satu posisi, kemudian keluar dari posisi awal dan akhirnya akan menuju keposisi semula. Dalam hakikat, taubat adalah pemahaman hikmah bahwa hidup adalah proses kearah sumber dari segala sumber kehidupan yaitu Allah.

Dalam pemahaman harfiah dimana titik awal adalah Allah maka taubat dibagi menjadi dua bagian yaitu taubat Allah dan taubat manusia. Taubat yang pertama adalah kembalinya Allah memberikan rahmat dan anugerah berupa digerakkannya hati manusia untuk bertaubat, yang kedua setelah manusia merasa hatinya tergerak untuk mengingat-Nya dan tidak melakukan kesalahan-kesalahannya kemudian manusia memutuskan untuk tidak melakukannya kekeliruannya. Taubat kembalinya Allah menggiring hati manusia untuk kembali mencintai-Nya.

Ketika detik demi detik berjalan, tanpa sadar manusia terus dalam proses ketempat semula. Dalam etape menuju Sang Khalik, terdapat tingkatan keimanan yang disebut maqam. Dan tingkatan awal pada maqam adalah taubat.

Menurut Imam Ghazali, setiap maqam menuju Allah terdiri dari tiga unsur, yaitu pengetahuan, kondisi psikologis, dan aktivitas. Taubat pun melalui ketiga unsur ini.

Pengetahuan akan membawa manusia kedalam ranah introspeksi. Ketika aktivitas yang dilakukan dapat manjauhkan keimanan, manusia yang senantiasa menyadari dan melakukan evaluasi kalitas diri akan segera menghentikan aktivitas yang dapat mereduksi imannya. Pengetahuan menggiring kita untuk tetap sadar dan dapat berpikir nalar. Selanjutnya pengetahuan ini membentuk kondisi psikologis yang diinginkan. Contohnya, setelah manusia menyadari pelanggaran yang telah dilakukan, kemudian di hati akan mengeluarkan perasaan menyesal serta rasa perih dan terdorong untuk tidak melakukannya lagi dan segera mengarahkan hati dan pikiran kepada Allah. Setelah semuanya itu barulah kemudian akan tercermin gambaran hati manusia dari aktivitas yang dilakukannya sehari-hari.

Semoga hati kita senantiasa diselubungi taubat.

-Y-

Jumat, 10 Oktober 2008

Perkawinan dan Riyadhah

Perkawinan adalah sebuah institusi dalam memasuki dunia rumah tangga. Makna perkawinan banyak diidentikkan dengan suatu langkah legal yang menghalalkan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan. Istilah yang lazim mengambil judul salah satu lagu penyanyi Spice Girl yaitu “two become one”, yang diartikan sebagai penyatuan dua insan melalui proses yang sakral dalam satu ikatan perkawinan.

Konsep penyatuan lelaki dan perempuan yang mengikuti aturan alam ini, ada baiknya kita telusuri maknanya. Dimulai dari konsep keseimbangan di yunani, era paganisme. Pagan yang berarti masyarakat pedesaan.

Sebelum kelahiran Yesus, telah terbentuk masyarakat pedesaan yang memiliki kepercayaan dengan menyembah dewa-dewi atau biasa disebut kaum pagan. Kaum pagan percaya bahwa segala dimensi hidup dapat selaras dan harmonis jika setiap pasangan suatu konsep tidak terganggu. Misalnya, kaum pagan menyembah Sang Dewa yang berarti lelaki dan sudah pasti memiliki pasangannya yaitu Sang Dewi yang berarti perempuan. Kedua pasangan dewa ini memiliki kekuatan dan kedudukan yang sama. Keduanya saling melengkapi keberadaannya. Contohnya, dewa kesuburan kaum pagan adalah Amon, oleh dunia simbologi biasanya tergambar dalam bentuk kambing dengan tanduk yang menjulang gagah. Sedangkan Dewi kesuburan biasa disebut Isis, atau Dewi Sri, Dewi padi. Pasangan dewa-dewi ini seperti Yin dan Yang, saling bertaut, berikatan dan saling melindungi.

Namun pada perkembangannya, ketika Vatikan mengambil alih peranan dalam dunia kepercayaan Kristiani setelah penyebaran agama yang dilakukan Yesus, banyak dilakukan propaganda untuk melemahkan dan melumpuhkan eksistensi perempuan karena adanya unsur politik dan kekuasaan. Pada akhirnya ketika doktrin itu menyebar luas, keseimbangan itu menjadi rusak. Harmoni tidak lagi berjalan, karena perempuan sudah tidak lagi dianggap setara dengan lelaki. Dan keadaan ini terus berlanjut dan menyebar hingga memasuki zaman kenabian Muhammad SAW. Perempuan menjadi manusia kelas dua didunia, yang pertama tentu saja lelaki.

Lebih dari 1200 tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ketimpangan antara perempuan dan lelaki masih dapat dirasakan. Dan ini membawa dampak yang besar dalam sebuah perkawinan. Dimana peran lelaki dan perempuan memiliki porsi sendiri-sendiri. Dan kebanyakan menganut paham bahwa lelaki adalah pemimpin sebuah rumah tangga.

Inilah paham yang menggangu keharmonisan. Paham yang tidak mensejajarkan posisi dua insan dalam satu atap. Hal ini dapat memampatkan kebebasan berpikir dan menghambat produktifitas dipihak lain (baca-istri). Bahkan dalam urusan hubungan seksual pun biasanya ada salah satu pihak yang cenderung berlebihan sehingga melupakan hal-hal yang lebih krusial dalam hidup.

Padahal menurut sejarahnya, persetubuhan adalah penyatuan dua ruh yang menjembatani lelaki dan perempuan menuju Tuhan. Konsep bercinta adalah dengan tujuan untuk menyatu dengan Sang Pencipta. Bertemu dengan wujudNYA.

Pada tingkat spiritual yang tinggi, mereka percaya dengan bercinta pada titik puncak dalam berhubungan seks, mereka mengalami kekosongan pikiran selama setengah detik yang memungkinkan manusia melihat Tuhan melintas sesaaat. Pada saat ini, bagi mereka yang sudah mencapai derajat spiritual yang tinggi, moment ini digunakan untuk semakin menyatu dengan-NYA sehingga mereka mampu melihat wajah-NYA. Pada tradisi Yunani dikenal dengan Hieros Gamos artinya pernikahan suci, dimana orgasme dianggap sebagai doa.

Persiapan yang dilakukan menjelang prosesi hubungan seksual adalah dengan sepenuhnya berserah diri dan memusatkan segala kesadaran pada keberadaan-NYA. Sehingga hubungan seksual dianggap sebagai puncak dari perjalanan spiritual manusia semasa hidup untuk dapat menatap-NYA sebelum benar-benar kita melebur dengan-NYA ketika kita kembali pada-NYA.

Hal yang dilakukan para pasangan selibat yang dengan tujuan untuk meningkatkan religius eksitensi dalam hidupnya. Hubungan seksual akan dilakukan dengan perhitungan dan niat yang ditujukan hanya karena Sang Pengasih. Mengisi hidup dengan produktifitas, dan berusaha mengenali diri dan menyatu kepada-NYA. Menurut Al Ghazali, kenalilah dahulu diri sendiri maka kemudian manusia akan mampu menegenal Tuhan-NYA

Penganut paham aliran perkawinan selibat ini melakukan latihan kerohanian atau biasa disebut riyadhah dengan cara mengendalikan nafsu dan berusaha membersihkan hati agar dapat memiliki hati yang bening sehingga mampu menangkap cahaya Allah dikedalaman relung jiwanya. Seperti teori cerminnya Imam Ghazali, bahwa hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Allah ibarat nur / cahaya. Maka jika manusia benar-benar memiliki hati yang bersih, niscaya manusia dapat menerima cahaya Allah dan memantulkannnya kesekitar.
Semoga hati kita senantiasa mendapat petunjuk-NYA.

-Y-

Rabu, 08 Oktober 2008

Esensi Sejarah



Sejarah memiliki kedalaman makna yang tak terhingga bagi perkembangan pemikiran dan pemahaman akan apapun. Sejarah dapat tertuang dalam simbol, peninggalan-peninggalan berupa catatan, tradisi dan doktrin-doktrin melalui sebuah perkumpulan atau institusi baik resmi maupun tidak resmi. Kemampuan kita memahami masa lalu sangat menentukan kemampuan kita memahami masa kini. Jadi bagaimana kita membedakan kebenaran dari kepercayaan? Bagaimana kita menulis sejarah kita, personal atau kultural untuk menemukan jati diri kita? Bagaimana kita menembus tahun, abad dari penyimpangan sejarah untuk menemukan kebenaran hakiki?

Mengurai kebenaran sejarah adalah suatu hal yang wajib bagi berbagai dunia pengetahuan, namun akan lain halnya jika sejarah yang coba diungkapkan adalah mengenai kebenaran suatu agama. Hal ini masih menjadi polemik, karena kaum fundamentalis dan tekstualis menganggap tabu jika kebenaran yang terungkap jauh dari intepretasi yang selama ini sudah dijabarkan dan mereka yakini berdasarkan teks-teks pakem. Namun bagaimana jika kebenaran akan fakta lama bahkan ribuan tahun lamanya kemudian muncul seiring dengan teori-teori pendukung, dimana keberadaannya dapat menggoyahkan eksistensi keyakinan yang sudah lama kita jalani?

Di era keterbukaan dan kemudahan akses akan informasi, sangat besar kontribusinya dalam memuaskan dahaga kaum progresif dan religius refusenik untuk mencari kebenaran. Karena bagi mereka, mengeksplorasi keragu-raguan dapat merangsang kepercayaan diri dan menyingkirkan agama dari ruang publik bukan saja tidak realistis tetapi juga tidak produktif.

Hingga saat ini kedudukan agama dan ilmu pengetahuan masih dipisahkan oleh sekat, ibarat memisahkan air dengan minyak maka hal ini akan sulit dilakukan. Agama menuntun kita untuk percaya dulu, jika terjadi ragu-ragu dan mulai berpikir maka kita harus mencari alasan-alasan pembenaran keragu-raguan untuk dapat kembali percaya.

Agama berbeda prosesnya dengan pengetahuan. Pengetahuan diawali dari perkembangan filsafat yang didasari atas keragu-raguan, pertanyaan-pertanyaan, adanya masalah yang muncul, adanya fenomena yang belum pernah dibahas. Kemudian semuanya diproses dengan cara berpikir dan mencari jawaban. Jika jawabannya sudah mampu membuang keragu-raguan, baru menyatakan yakin akan jawaban kebenaran yang didapat. Hasil berpikir tersebut disebut pengetahuan.

Sikap apologetik kaum fundamentalis nampaknya tidak sesuai dengan cara berpikir kaum progresif. Sikap kaum puritan tsb bahkan dapat memunculkan sikap untolerir terhadap terkuaknya suatu kebenaran baru. Pada akhirnya mereka akan semakin mengagungkan agama mereka dan menganggap bahwa hanya agama merekalah yang paling benar. Nampaknya fenomena ini mengakar dalam pada sebagian besar umat Islam di Indonesia seperti contoh FPI yang ngotot mengganyang Ahmadiyah.

Hal ini menimbulkan stigma bahwa umat muslim dianggap belum dewasa. Coba saja kita sedikit belajar pada saat umat Kristiani ketika menanggapi terbitnya novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Meskipun tertuang dalam bentuk novel yang sudah pasti tidak perlu dianggap benar isinya, namun dalam novel tsb menguak fakta-fakta yang dapat mengguncangkan eksistensi gereja dan ajarannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti kaum kristiani kemudian menghujat sang penulis dan melakukan somasi. Mereka mampu mentolerir dan berpikir kembali bahwa keyakinanlah yang terpenting. Terlepas apakah yang mereka yakini selama ini adalah salah jika dirunut fakta sejarahnya. Namun mereka tetap meyakini bahwa jika apa yang selama ini mereka yakini membuat mereka hidup lebih baik sebagai makhluk Tuhan, maka itulah yang mereka jalani.

Umat Kristen sudah mampu menerima kritik. Mereka dapat dengan tenang menjalani keyakinannya, meskipun banyak fakta yang menunjukkan bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. Namun bagi mereka Yesus adalah inspirasi umat manusia. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang Yesus jalankan, dapat dijadikan panutan hidup manusia. Itu saja bukti yang sudah dibuktikan.

Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam sudah siap jika Al-Quran dikritik? Atau apakah sudah benar fakta ke-empat mashab yang menjadi pedoman kaum salafi adalah yang terbaik? atau apakah gerakan sholat yang selama ini kita jalani sudah sesuai esensinya? Dan apakah bacaan-bacaan Quran yang kita coba baca dengan tartil itu sudah benar-benar kita pahami maknanya atau hanya sekedar mengejar pahala? Lalu bagaimana relevansinya antara syariat yang kita jalankan dengan pembentukan karakter mental kita? Berapa banyak dari sekian umat yang mampu membentuk generasi khalifah selanjutnya?

Padahal kritik datang karena kecintaan kita untuk mengoreksi yang telah ada. Kritik untuk mencari kebenaran hakiki yang relevan dengan zamannya. Meskipun pada akhirnya parameter kebenaran akan bermuara pada keyakinan diri sendiri.


-Y-

Pulau Onrust dan Gelar Haji

Diantara beberapa pulau-pulau kecil yang ada dikepulauan seribu, mungkin sebagian besar sudah banyak yang mengenal satu pulau yang bernama pulau Onrust. Pulau seluas 12 hektar yang hingga kini masih terdapat puing-puing bekas bangsal dan sejenis tempat karantina. Namun masih saja terlihat mempesona dan menarik bagi para pecinta pantai dan eksotis pulau karena letaknya dilepas pantai utara teluk Jakarta. Di pulau ini masih terlihat bangunan-bangunan peninggalan penjajah Belanda seperti benteng dan pelabuhan kuno.

Pulau Onrust merupakan pelabuhan VOC sebelum pindah ke pelabuhan Tanjung priok, Jakarta Utara. Pulau Onrust ini juga merupakan markas tentara penjajah Belanda sebelum masuk Jakarta dan mendudukinya. Di pulau inilah tentara Belanda melakukan aktivitas bongkar muat logistik perang.
Tahun 1920-an, Pulau Onrust juga menjadi asrama haji sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi. Pada masa itu Indonesia masih dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Pergerakan rakyat Indonesia dari tokoh panutan dan intelektual dianggap sebagai pemberontakan yang dapat merugikan pihak Belanda.

Belanda memanfaatkan tradisi islam Indonesia yang menganut paham wajib pergi haji ke Arab Saudi. Belanda melakukan propaganda dengan alih-alih untuk membantu menunaikan Rukun Islam tersebut dengan membantu biaya akomodasi bagi para intelektual dengan satu syarat.

Pada waktu itu, transportasi yang digunakan adalah kapal laut yang dapat memakan waktu perjalanan bolak-balik hingga empat bulan lamanya, sedangkan lamanya proses haji di mekah memakan waktu satu bulan. Untuk itu perlu untuk membangun tempat karantina calon haji di Pulau Onrust sebelum kapal-kapal mereka diberangkatkan dari pulau ini. Para calon haji di Pulau Onrust diadaptasikan dengan udara laut sebelum menuju ke Arab Saudi

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, pihak Belanda mengajukan syarata yaitu mereka harus menerima label bersertifikat, dengan gelar ‘Haji’. Hal ini merupakan kebanggaan karena tidaklah mudah pergi haji dan tidak sedikit jika harus mengeluarkan biaya sendiri. Gelar haji ini digunakan sebagai gelar panggilan dan menjadi penanda bahwa seseorang telah selesai menunaikan rukun Islam yang ke-5.

Namun dibalik labelisasi ini, sebenarnya Belanda memiliki maksud untuk menandai pemberontak yang telah dibiayainya ini. Belanda mengamati orang-orang yang berlabel haji ini, karena ketika mereka pergi haji dan mengetahui dunia luar, mereka mengalami perkembangan pemikiran yang menyebabkan mereka menjadi pemberontak.

Contoh tokoh-tokoh pergerakan yang mudah terdeteksi oleh Belanda misalnya Kyai Mojo dan K.H. Agus Salim. Mereka dibiayai dan diberangkatkan ke Mekah agar mudah terpantau keberadaannya. Karena tidak banyak yang sudah berhaji dan dimanapun mereka berada maka masyarakat tetap menjuluki dengan gelar ‘Haji’ ini, sehingga mudah bagi Belanda untuk mendeteksi lokasi sang pemberontak.

Sayangnya hingga kini, masyarakat kita masih banyak yang begitu bangganya dengan gelar ‘Haji’ ini, terlepas dari pengetahuan akan asal muasal gelar ini muncul dipermukaan bumi Indonesia. Bahkan dijadikan titel resmi sekaligus ‘plakat tingkat keimanan dan kekayaan seseorang’ yang bisa sangat besar kemungkinan rianya pada struktur sosial kita. Dan ironisnya, gelar dan kebanggaan haji ini hanya ada di Indonesia :)

Jumat, 29 Agustus 2008

Batik dan Maknanya

Niat kita memasyarakatkan batik sepertinya dapat dikatakan berhasil. Hal inipun bukan tanpa sebab. Dalam waktu kurang dari setahun terakhir sejak Malaysia mencoba mengklaim batik sebagai kekayaan budayanya, warga Indonesia seolah terbakar semangat nasionalismenya. Batik berkembang dengan cepat menjadi sebuah trend.

Hampir setiap hari dapat kita jumpai para pengguna batik baik sebagai busana kerja, kostum kepesta, pakaian sehari-hari, bahkan baju tidur. Tentunya fenomena ini banyak menuai keuntungan, misalnya dari segi budaya maka terlihat Indonesia memiliki penduduk yang terkesan cinta akan karya negri sendiri. Sedangkan dari segi perekonomian sangat jelas meningkat pesat bagi para pembatik dan pedagang. Kemajuan positif yaitu tanpa campur tangan pemerintah ternyata masyarakat kita telah mampu melaksanakan swadesi.


Konsep swadesi dipelopori oleh Mahatma Gandhi pada abad 19 guna melawan imperialisme Inggris. Selain memperjuangkan perekonomiannya, Gandhi juga berusaha mempertahankan kain sari sebagai jati diri bangsa yang wajib dilestarikan. Dan perjuangannya berbuah gemilang, hingga kini masih banyak warga India yang menggunakan kostum kain sari ketempat umum dan bahkan acara kenegaraan, sehingga merupakan kebanggaan India karena dunia internasional pun mengagumi eksotisme kain sari India.

Sejak awal pencanangan swadesi kain sari, rakyat India pun secara berkesinambungan melestarikan budayanya sebagai pakaian sehari-hari sehingga tak heran jika hingga kini kain sari masih terjaga eksistensinya. Hal ini berbeda dengan swadesi batik yang sekarang sedang terjadi di Indonesia.

Pada zaman Presiden Soeharto, Indonesia pernah berusaha menggerakkan swadesi batik melalui pakaian seragam sekolah batik sebagai atasan dengan dipadankan bawahan rok/celana berwarna putih. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB (Wikipedia). Sayangnya, seiring pergantian kepemimpinan (yang berganti juga peraturan---baca.era reformasi dan demokrasi ) maka seragam batik anak sekolah bukan lagi menjadi wewenang pusat. Mungkin jika warga kita mampu memahami esensi peraturan orde baru (yang belum tentu melulu salah itu), maka bukan tidak mungkin diera informasi ini, sekolah pun sejak dini memperkenalkan dan menanam kecintaan generasi penerus akan budaya sendiri melalui seragam batik.

Walau sempat terputus batikisasi kita, namun saat ini kita boleh sedikit bangga melihat perkembangan antusiasme masyarakat memakai batik disegala acara. Hanya saja jika dirunut sedikit akan sejarah dan filsafat batik, apakah sudah relevan usaha berbatik ria ini dengan kesungguhan memaknai nilai-nilai budayanya??


Batik dalam bahasa Jawa dari kata ‘amba’ yang artinya menulis, dan ‘titik’. Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta (wikipedia).

Setiap motif batik memiliki makna dan filosofisnya. Pada motif tertentu dianggap sakral dan hanya dapat digunakan pada acara khusus, serta kalangan tertentu. Berdasarkan fungsi kain batik dikeraton, batik hanya digunakan sebagai kain bawahan dan tidak umum jika digunakan sebagai kemeja. Dan setiap motif pun memiliki peruntukannya masin-masing. Contohnya ‘motif Sido Mukti’ (yang artinya ‘sido’ = jadi, dan ‘mukti’ = sakti) hanya boleh digunakan oleh kalangan keluarga keraton, ‘motif Wahyu Tumurun’ (yang artinya turunnya wahyu) digunakan hanya pada upacara jumenengan (perayaan ulang tahun naik tahta), ‘motif Parang’ yang bernuansa cukup ramai biasanya dipakai untuk acara pesta atau menghadiri suatu perayaan, terakhir untuk menghadiri lawatan kematian digunakan warna yang lebih lembut yaitu ‘motif kawung’, dan motif Kawung hanya boleh dipakai sebagai bawahan bukan baju atasan. Dan keempat motif batik tersebut hanya diperuntukan bagi keluarga keraton, dan tidak boleh digunakan oleh masyarakat umum (Sumber : Cak Roeslan).

Lepas dari empat macam motif batik yang telah disebutkan diatas, tentunya masih banyak motif lain yang berkembang dan tiap daerah penghasil batik akan memiliki ciri khas sendiri. Melihat kenyataan sekarang dimana asal tabrak sembarang motif dengan design terkini, tampaknya masyarakat hanya sekedar memakai batik sebagai suatu mode. Motif batik menjadi bias makna karena mode tak memahami nilai-nilai luhurnya. Nah, untuk tetap menghargai makna batik dan melestarikan kandungan nilai filosofi yang terkandung pada motif batik keraton maka akan lebih baik jika kita mengeksplorasi berbagai macam kreasi model pakaian dari kain batik ini dari motif-motif lain diluar yang sudah menjadi pakem keraton.

Jika masyarakat kreatif merancang busana batik diluar motif-motif yang sudah memiliki pakem nilai, maka batik akan tetap memiliki nilai tinggi dimata dunia. Karena jika untuk batik motif tertentu, kita mau menghargai dan melestarikan kandungan maknanya maka boleh jadi kita juga dapat disebut sebagai negara yang menghargai nilai-nilai luhur budaya bangsa. Dengan begitu, tentunya dunia akan dapat menghargai Indonesia sebagai negara yang mau menjaga kelestarian makna batik sendiri dan memahami filosofi budayanya sendiri.

Fenomena batik hampir sama seperti Islam di Indonesia. Agama Islam menjadi agama mayoritas yang dianut lebih dari setengah jumlah total penduduk. Namun sayangnya seperti juga batik, dimana banyak yang sekedar hanya memeluk Islam tanpa benar-benar memahami esensi dan maknanya. Apalagi untuk benar-benar menjalankan kandungan filosofi ajaran Islam, lah wong bisa jadi untuk memahami maknanya saja kita masih jauh dari itu. Wallahualam.

-Y-

Kamis, 07 Agustus 2008

Marah itu Melelahkan

Perihal menangani emosi dan egois adalah masalah kebiasaan menyingkapi. Seperti saya, terbiasa menyingkapi marah secara spontan dan dalam waktu yang lama. Marah yang timbul hanya karena keadaan tidak seperti yang sudah dibayangkan dan dirancang, maka secara spontan marahlah saya, bahkan hal kecil yang membuat saya hanya tidak nyaman pun dapat menjadi pemicunya. Padahal seringkali orang yang menyebabkan angan2 saya menjadi gagal pun bingung, melihat kemarahan ini yang tiba-tiba. Juga orang yang tanpa sengaja telah merusak rasa nyaman saya, terkadang tak habis pikir melihat bibir ini yang seketika mengatupkan rapat-rapat dan menjadi irit bicara serta kata-kata.

Jika sudah marah, segalanya dan semua orang menjadi salah. Kemarahan terus saya kembangkan untuk membenarkan sikap marah pertama. Saya berusaha membenarkan diri bahwa saya berhak marah, karena ketidaknyaman (padahal bisa jadi karena saya hanya membesar2kan keadaan). Kekeliruan sedikit (bahkan yang tidak ada hubungan dengan marah pokok pun) akan membuat emosi dan kemarahan semakin menjadi-jadi. Maka tak pelak kemarahan yang spontan tsb memakan waktu cukup lama.

Hal diatas karena saya terbiasa menyingkapi marah dengan runutan marah selanjutnya. Tak sempat berpikir, bahwa orang disekeliling menjadi bingung dengan sikap saya dan juga perubahan raut wajah saya yang menjadi sangat buruk rupa. Sampai akhirnya saya merasa sangat capek, dan jika bukan karena ada hal yang baik sengaja atau tidak dapat merubah mood, maka tidur adalah solusi terbaik menuntaskan kedongkolan lokal saya itu.

Melihat sikap suami dan orang-orang terdekat yang menyingkapi segala keadaan dengan tenang, saya begitu malu dan iri! Mereka bijaksana mengelola perasaan, begitu dewasanya dengan segera memaknai hikmah disetiap keadaan sehingga tak sempat memberi ruang pada kejengkelan, dan begitu cerdasnya memerankan rasional menghadapi segala situasi yang bahkan menurut saya sangat tidak menyenangkan. Manifestasi semuanya membuat mereka terlihat selalu tenang dan nyaman.

Seorang guru berkata, bahwa marah adalah masalah kebiasaan menyingkapi. Ya.. mungkin saya terbiasa menyingkapi marah seperti itu, dan mungkin mereka-mereka (orang tenang) itu sudah terbiasa dan terlatih menyingkapi marah seolah-olah tak pernah mengenal istilah marah. Karena marah sungguh membuatku lelah, maka saya pun bertekad mengubah kebiasaan marah saya yang jelek itu!!

Pasti dibutuhkan latihan sejak dini untuk dapat menjadi orang tenang itu, dan untuk menunjang latihan perubahan sikap ini ada satu yang lebih penting, yaitu rasional. Rasional membangkitkan kesadaran, dimana saya harus sadar bahwa saya sedang latihan untuk merubah sikap menanggapi kemarahan sendiri, dan ketika api marah mulai tersulut, harus dengan segera berpikir rasional untuk sadar dengan segera memenjarakan sang amarah.

Sulit pada awalnya, untuk tetap tersenyum saat suami membuat ulah (padahal ini hanya perasaan saya sendiri). Hanya karena meletakkan barang tidak pada tempatnya saja, begitu terpancing emosi ini. Kebiasaan jeleknya (bagi saya, tapi mungkin bagi orang wajar saja – hanya karena kebiasaannya tidak seperti yang saya harapkan), sering membuat luput kesopanan dan akhirnya yang keluar dari mulut saya adalah intonasi sinis dan seringkali saya seperti anjing galak yang meyalak. Padahal dengan teguran halus, tanpa urat pun sudah pasti dia akan memindahkan sesuai keinginan saya. Tapi inilah ulah saya memanjakan emosi, sehingga marah kerap sekali meyambangi hati ini dan membuat diri ini terus berkubang disekitar kemarahan.

Namun sesulit apapun awal, harus tetap ditekadkan agar dapat memutuskan persahabatan dengan kejengkelan. Akhirnya saya dapat mencoba awalnya. Meski sangat berat proses ini, saya tetap usaha kurangi kegalakan dan sikap-sikap sinis. Mencoba cepat menancapkan pikiran logis, pada saat orang lain mengganggu keadaan nyaman ini. Memang tidak setiap kesempatan saya mampu mengendalikan marah, tapi paling tidak saya berusaha mengurangi frekuensinya.

Walau terkadang pembenaran bahwa emosi, jengkel, marah, dan kesal adalah hal yang sangat manusiawi, namun tetap saja saya tak mau menjalin hubungan dengannya. Karena hal-hal itu hanya membuat saya capek dan tidak mampu melihat kemurnian-kemurnian hidup, ditambah lagi banyak waktu terbuang dan memampatkan produktifitas karena seketika saja otak menjadi mogok bekerja seolah-olah menikmati si pemilik raga mengelus-elus egoismenya.

Semoga bukan hanya sekedar harapan saja, karena didepan masih sangat banyak hal-hal yang harus dihadapi. Jika sekedar emosi saja saya tak mampu menaklukkannya, bagaimana dengan seabrek persoalan lain yang masih banyak menghadang sedangkan tujuan hidup untuk memberi warna dunia masih jauh terhampar??

-Y-

Selasa, 05 Agustus 2008

Arus Utama Islam (Chapter 4)

Perlunya mempelajari sejarah adalah agar kita tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dan membuat sejarah baru yang lebih baik dari sebelumnya. Kebiasaan, kepribadian dan persepsi kita bahkan keyakinanpun adalah produk warisan dari meniru tradisi sejarah. Contohnya saja agama Islam yang kita anut, tak ada pilihan selain harus sesuai keyakinan orangtua. Dan dengan segala kekecewaan akan meremukkan hati mereka jika kita berani pindah agama lain, maka yang terjadi usaha-usaha pembenaran akan Islam pun tertanam dipikiran kita bahwa Islam adalah agama yang terbaik. Lepas dari bagaimana sejarah Islam sendiri, yang menjadi patokan pertama adalah bagaimana pun Islam is the best.

Itulah arus utama paham umat muslim saat ini, arus utama yang menyatakan Islam selalu baik sejak zaman Rasulullah dari mulai adat kebiasaan, kesopanan, politik, kepemimpinan, toleransi, dan pokoknya menyeluruh dari hablum minallah sampai hablum minannas. Islam adalah agama yang sempurna. Hingga tanpa disadari esensi ibadah sering luput karena kita melaksanakan syariat-syariat tanpa mencari tahu kebenarannya dari meniru pendahulu yang kita anggap sudah pasti benar, bahkan bertanya kelogisan syariat pun dianggap tabu.

Sejarah yang diwariskan berisi kebaikan memang wajib disampaikan untuk kemashlahatan, namun bukan berarti keburukan ditutup-tutupi hanya agar generasi penerus tidak melihat ada stigma didalam sejarah. Keotentikan sejarah pun harus selalu di up grade relevansinya supaya tetap sesuai pada zamannya, jika ada petuah sejarah yang sudah tidak relevan lagi maka lebih baik diabaikan saja. Apapun bentuk sejarah, keorosinilannya harus selalu dijaga sebagai bahan studi generasi mendatang.

Halnya dengan sejarah Islam, tradisi, cara beribadah dan persepsi yang diyakini warisan Rasulullah, arus utama muslim saat ini menyatakan kesempurnaan Islam dari segala sudut pandang. Padahal arus utama ini bisa jadi karena mengungkap keburukan Islam dianggap salah, fakta tentang keburukan Islam dianggap dapat merusak ahli waris. Cacat-cacat sejarah Islam ditutupi oleh penguasa-penguasa Islam yang dianggap amirul mukminin, agar aib tak terburai. Atau mungkin distorsi persepsi sehingga sampailah produk muslim saat ini yang ‘mengagungkan’ Islam itu sendiri. Menentang arus utama dianggap tiada!

Tapi apa salah jika kita memiliki aib? Belajar dari kesalahan. Seperti filosofi master Oogway (Kung Fu Panda) :”yesterday is a history, today is a gift, and tomorrow is a future. That’s why we call today as a present (hadiah)”.

Mungkin kebetulan saja saat ini adalah era keterbukaan berpikir dan keterbukaan informasi, ditambah lagi kemudahan akses melalui internet membuka keran kebenaran dari segala sudut pandang yang selama ini tersumbat, dapat menyegarkan umat muslim yang haus kebenaran. Seperti tulisan Irshad Manji penulis asal Kanada (Beriman Tanpa Rasa Takut – dapat diakses diinternet), begitu cerdas mengulas perspektif Islam dari seorang muslim refusenik yang mencari kebenaran dengan fakta-fakta dan analisa yang tajam. Inspiratif menggugah mindset yang selama ini menjadi arus utama muslim, dengan ulasan yang tak terbantahkan. Untuk sebuah pencerahan, buku ini sangat baik dibaca!

Atau mungkin sejak dahulu, pendahulu kita juga sudah berusaha membeberkan dan terbentur ruang karena kurangnya fasilitas penyebar berita. Atau mungkin tersekat ruang gerak karena ulah pemimpin yang berkuasa. Wallahu’alam.

Namun kabar baik dari negeri sendiri, seperti mengiringi era keterbukaan ini dengan rencananya penerbit Paramadina turut serta mengedarkan terjemahan penulis Mesir, Faraj Fouda (dibunuh dikantornya pada 8 Maret 1992 karena dituduh murtad) dalam karyanya, al-Haqiiqa al-Ghaaibah (Kegelapan yang Hilang)—yang dengan sangat berani membongkar sisi-sisi gelap sejarah Arab muslim di masa lampau (Ahmad Syafii Maarif, Gatra no.38/2008).

Pendiri Maarif Institute dan sekaligus Guru Besar Sejarah tsb berpendapat agar umat Islam jangan ‘memberhalakan’ masa silam, seakan-akan semuanya itu bebas dari cacat. Kecuali era Nabi Muhammad SAW dan ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah-khalifah yang lain, baik Umayyah maupun Abbasiyah, hampir semua berkubang dalam kemewahan, kekejaman, dan pesta-pora. Sejarah buruk agar dijadikan cermin untuk dapat mengulangi tindakan yang benar seperti saat perang di era Rasulullah yang terjadi semata-mata untuk mempertahankan diri, demi tegaknya keadilan, keamanan, kebenaran, dan persamaan. Kebijakan nabi selalu diarahkan untuk terwujudnya nilai-nilai mulia sebagai cerminan rahmat Allah untuk seluruh manusia, termasuk mereka yang tidak beriman.

Bisa jadi tulisan Irshad dan Guru Besar Sejarah di atas adalah hanya secuil dari terungkapnya kebenaran-kebenaran yang selama ini kita yakini, sehingga adalah tugas besar untuk dapat merubah keyakinan arus utama selama ini yang mensakralkan agama Islam ketimbang Allah itu sendiri. Istilah Cak Roeslan adalah mendesakralisasi tauhid. Namun pertanyaannya, apakah sudah siap jika kita hanya menjadi batu kecil pemecah riak dan bahkan tenggelam dari derasnya arus utama muslim kita selama ini??

Menurut Cak Nun, ada 3 jenis kebenaran. Pertama kebenaran diri sendiri, kedua kebenaran umum (dimana suatu kebenaran diyakini oleh mayoritas setempat), dan ketiga adalah kebenaran itu sendiri. Maka, kebenaran manakah yang selama ini kita yakini??
Wallahu’alam..

-Y-

Sabtu, 26 Juli 2008

The Dark Knight (Review)

Kesan pertama pada saat menyaksikan film Batman yang berjudul The Dark Knight garapan sutradara Christopher Nolan, begitu membuat saya jengkel akan karakter Joker (alm. Heath Ledger) yang tak ada hentinya berada diatas angin. Pada detik kurang lebih limabelas menit terakhir, baru saya dapat tersenyum melihat kemenangan Batman sudah didepan mata.

Sungguh bukan tontonan yang baik dikonsumsi untuk anak-anak, karena film ini syarat akan kekejaman dan adegan brutal (inilah yang membuat saya begitu keki). Padahal banyak orangtua yang terkecoh dengan mengajak anaknya turut serta memboyong kebioskop karena berpatokan versi komik yang notabene memang layak untuk anak-anak (ada baiknya orangtua melihat resensi sebelum memutuskan mengajak putra-putrinya), kecuali pabila si anak sudah mampu memilah dan cukup dewasa membedakan yang baik dan yang buruk maka akan sah-sah saja.

Tawaran untuk kedua kali menonton film sekuel Batman ini tidak saya tampik, karena rasa penasaran maka pada saat tontonan kedua inilah saya baru dapat menikmati jalan cerita dan makna luhur dari setiap adegan.

Film ini secara keseluruhan menonjolkan sisi manusiawi dari setiap karakter yang dimainkan. Sisi heroik Batman yang diperankan Christian Bale terkesan sangat wajar, tidak terlalu berlebihan. Sebagai pahlawan yang mengandalkan kecerdasan, teknologi dan kekuatan fisik yang terbatas, Batman mampu menggagalkan lawannya.

Dalam film ini Batman pun memiliki sisi lemah, pada saat hatinya terkoyak akan perasaannya terhadap mantan kekasihnya Rachel (Maggie Gyllenhaal) yang kemudian tewas ditengah kepungan drum bensin yang siap diledakkan bom permainan Joker. Secara tidak langsung Batman mengalami pencerahan akan tujuan hidupnya dari pernyataan-pernyataan jaksa Harvey Dent (Aaron Eckhart) yang adalah kekasih dari Rachel. Batman sempat bingung akan jati dirinya, dan putus asa hingga hampir membuka identitasnya akibat teror-teror Joker demi menyelamatkan warga Gotham. Keniscayaan yang dialami bahkan oleh seorang yang digembor-gemborkan sebagai pahlawan sekalipun.

Harvey Dent yang dipenuhi idealisme akan cita-citanya membangun kembali Gotham pun mengalami guncangan hebat hingga dapat merubah karakternya 100%. Niat baiknya membenahi kekacauan birokratik dan kesulitannya menguak praktek korupsi dikepolisian, yang semula berusaha tetap dijalur hukum kemudian menjadi hilang akal sehatnya dan main hakim sendiri terhadap tikus-tikus negara yang terlibat persekongkolan membunuh kekasihnya Rachel. Kondisi kemarahan besar dan aksi provokatif joker membuat Harvey tak mampu mengontrol emosi dan logikanya. Situasi yang begitu wajar pada ego manusia karena perubahan adalah alamiah dan pasti.

Saatnya bicara karakter Joker. Biasanya penjahat itu memiliki motivasi tertentu untuk melakukan perbuatannya, tapi lain halnya dengan Joker. Kalau jawabannya uang, sudah pasti jauh dari angka benar. Lihat saja dari kelakuannya, apa orang seperti Joker butuh uang? tentu jawabannya tidak karena dengan ringan hati Joker membakar gunungan uangnya.

Dengan kekuasaan pun hampir pasti bukan, karena walaupun dia menginginkan anak buah mafia menjadi pengikutnya dipastikan alasannya agar dia mampu menjalankan rencananya dengan baik dari bantuan bawahannya itu. Apakah Joker ingin menjadi penguasa kota Gotham pun, juga bukan jawaban pasti karena dia sangat tidak butuh kekuasaan. Joker hanya ingin tetap memiliki lawan yang seimbang dan menang dengan membuka topeng Batman.

Joker tidak jahat, dia psikopat, dia sakit! Psikopat adalah keadaan psikiatri berupa kurangnya empati atau kepedulian disertai minimnya kontrol impuls dan perilaku (Nalini, (22/7/08) kompas). Historikal bersama ayahnya menanamkan panyakit ini sedikit demi sedikit. Ditambah lagi istrinya meninggalkannya setelah Joker melukai wajahnya agar istrinya terhibur dan tersenyum karena berusaha menyeimbangkan kondisi fisiknya. Padahal Joker begitu mencintai istrinya. Saat melihat istrinya meningggalkannya, Joker malah tersenyum dan mulai menjadi psikopat.

Pada awalnya Joker sama seperti manusia normal (walaupun parameter normal agak bias), artinya karakternya wajar dan memiliki kepedulian (bukti dari ceritanya ia pernah memiliki istri). Perlakuan orang-orang terdekat yang malah secara signifikan membuat Joker menjadi kehilangan empati dan menjadi pesakitan. Dihidupnya Joker mencari kesenangan dari apa yang dilakukan. Joker sangat cerdas, baginya tak ada yang mampu menyaingi kelicikan pikirannya selain Batman. Kreativitas destruktif yang mambahayakan banyak orang.

Joker tidak pernah terlihat sedih dan kesakitan, pada saat Batman membenturkan kepalanya dan meremukkan jemarinya, Joker hanya tersenyum dan tertawa kecil. Bahkan pada saat dilempar oleh Batman dari gedung tinggipun, Joker tertawa lepas menyambut kematiannya. Namun Batman menggagalkan kematian Joker dengan menangkap kembali setelah Joker terhempas dari setengah ketinggian gedung.

Tidak semua sisi Joker terlihat jahat dan buruk, kata-kata yang dikeluarkannya banyak menyiratkan kebenaran yang sangat masuk akal dikehidupan nyata.

Gotham seperti halnya negara kita, dipenuhi oknum-oknum korup dikepolisiannya dan bahkan ditingkat komisaris keatas. Joker mampu mengubah mind set Harvey bahwa lebih penting membenahi korupsi lebih dahulu ketimbang membasmi mafia hingga keakar karena korupsi sendiri adalah lebih ‘mafia’ dari mafia sendiri. Terbukti akibat korupsi mampu menghancurkan hampir seluruh kota Gotham (mungkin pada gilirannya Indonesia akan mengalami kehancuran yang sama jika tak segera memberantas tradisi korup ini).

Latar belakang profesi jaksa yang digeluti Harvey membuatnya mematuhi hukum yang berlaku. Padahal dalam hal hukum, Batman memiliki kesamaan dengan Joker yaitu sama-sama tidak mengikuti aturan hukum dalam aksinya. Bagi Joker hidup tanpa aturan hukum adalah yang paling logis saat ini (filosofi yang masuk akal dan sangat up to date, mengingat dengan aturan saja malah tidak membuat dunia lebih baik). Masih dari kata-kata bijak Joker, bahwa penyebab kekacauan adalah rasa takut.

Bisa jadi kekacauan yang terjadi dikota tersebut bukan karena Joker yang merencanakan semua, tetapi karena ketakutan warganya, ketakutan dalam menguak kebenaran, ketakutan dalam menumpas korupsi, ketakutan himpitan keadaan yang memaksanya korupsi dan berkolusi.

Namun untuk mengungkapkan kebenaran sepertinya tidak harus mentah-mentah dibeberkan. Pelayan setia milyader ‘Batman’ Bruce Wayne yaitu Alfred, memilih secara bijak tidak menyampaikan surat yang dititipkan kepadanya dari Rachel untuk sang tuan. Alfred melindungi hati tuannya dengan membiarkannya tetap pada persepsi awalnya terhadap Rachel ketimbang memberitahukan keadaan isi hati Rachel yang sebenarnya. Karena toh dengan memberikan surat juga tidak dapat menghidupkan Rachel dan malah membuat hati Bruce semakin luka (dan pula surat itu hanya Alfred dan kematian Rachel yang tahu). Kebenaran yang satu ini menjadi tidak wajib untuk disampaikan. (mungkin perlu untuk menutupi satu kebenaran jika dapat memberikan banyak kebaikan untuk yang lain).

Begitulah karakter yang diwakilkan dari pemeran film The Dark Knight ini, terasa begitu wajar dan membuat film ini mengajarkan kebajikan dan terkesan sangat manusiawi. Harvey, Batman bahkan Joker pun mengalami sisi tidak hanya jahat melulu atau baik melulu tetapi juga mengalami masa diarea abu-abu, masa transisi manusia. Kualitasnya sangat timpang dibandingkan sinetron kita yang hanya menonjolkan karakter hitam putih dan jauh dari sifat edukatif.

Kalimat terakhir yang bagus untuk dijadikan bahan renungan bagi kita semua pada suatu pilihan yaitu “mati sebagai pahlawan atau hidup lama tapi perlahan-lahan menjadi penjahat”.

Bisa saja anda memilih hidup dengan cap pahlawan ketika matinya dimana masyarakat begitu mengagungkan dan memuliakan anda, atau anda seperti Batman dan Joker yang memilih masyarakat tetap membencinya dan menjuluki sebagai penjahat. Mereka berdua tidak mengharap satu pamrih pun akan apa yang dilakukannya kecuali hanya ingin beraksi saja mengikuti naluri. Bisa jadi dunia memang tetap membutuhkan kehadiran pesakitan seperti Joker sehubungan dengan menjaga keseimbangan dengan hadirnya karakter Batman di dunia ini.

Seperti layaknya kemauan Nolan pada film ini yang semaunya sutradara membuat karakter-karakter dan adegan-adegan yang banyak kebetulannya dan penuh perhitungan ini. Begitu juga halnya dalam kehidupan nyata juga suka-suka Tuhanlah sebagai sutradara dunia yang men-setting untuk hidup kita lengkap dengan karakter dan keadaan-keadaan ‘kebetulan’ yang kerap menyerempet dikehidupan kita yang sering kita tidak sadari untuk mensyukurinya. Wallahu’alam

*hasil nguping diskusi dengan orang-orang canggih

-Y-

Selasa, 15 Juli 2008

Arus Utama Islam (Chapter 3)

Ada banyak alasan mayoritas muslim melakukan ibadah haji dan umroh seperti misalnya sebagai perjalanan ritual penyucian jiwa; tempat mendekatkan diri kepada Allah; mencari kedamaian; tempat menebus dosa dan taubat; serta melaksanakan haji sebagai kewajiban rukun iman Islam. Inilah main stream yang menjadi kontradiksi ditengah kecamuk resesi ekonomi yang memunculkan banyak kemiskinan. Bahkan dapat dikatakan prosesi spiritual yang ngotot ini mungkin hanya terjadi di kalangan umat Islam.


Ngotot yang sekuel dengan memaksa karena umat muslim berpatokan haji kepada rukun Islam yang notabene wajib dilaksanakan. Padahal esensi ibadah haji, menurut Drs KH Djudjun Djunaedi, MAg (pengasuh ponpes Garut - Antara) sebenarnya adalah ibadah "ghairu mahdoh", yakni ibadah yang lebih menekankan kepada hubungan sosial (hablun minannas), sehingga kuat dimensi sosial-kemanusiaannya.

Ada dua analogi. Pertama, jika kita membeli sebuah minuman jus maka hukumnya adalah mubah jika diminum (dalam status hukum dunia islam boleh dilakukan bahkan cenderung dianjurkan, tetapi tidak ada konsekuensi pahala-.id.wikipedia), namun akan menjadi haram hukumnya bila uang untuk membeli minuman tsb berasal dari hasil mencuri. Kedua, jika dihadapan kita terdapat daging babi maka jelas-jelas hukumnya (QS. 2:173, 16:115) adalah haram jika dimakan, tetapi adalah wajib hukumnya jika kita akan mati apabila kita tidak memakan daging tsb. Sedikit analogi yang menyiratkan fleksibilitas hukum dalam memberi sudut pandang pada sebuah kasus.

Haji adalah hak setiap manusia dalam memenuhi hasrat spiritualnya, dan karena dengan Allah adalah hubungan yang sangat pribadi maka wajar jika setiap insan memiliki cara masing-masing. Melihat pernyataan bapak pengasuh ponpres diatas maka ada baiknya jika kita melihat dari segi manfaatnya dari keutamaan haji ini.

Menurut MenAg tahun 2007 jumlah calon jemaah haji Indonesia mencapai 210.000 dan jumlah umat Islam Indonesia adalah jauh lebih besar dibanding jamaah haji dari 22 negara Arab (-Antara). Data ini menunjukan begitu besarnya antusias warga muslim kita dalam meraih pemantapan spiritualnya. Yah walaupun faktanya gelar haji yang didapat dari hasil perjalanan ruhani ini tidak juga banyak menelurkan jiwa-jiwa yang benar-benar mencerminkan esensinya (seperti si haji yang korupsi, si pak-bu haji yang sombong, yang masih doyan ngibul, yang masih senang bergunjing, yang masih senang judi) maka dikatakan ibadah wajib ber-haji ini korelasinya tidak signifikan terhadap keimanan. Lalu dimana letak hikmah haji?? Apa keistimewaannya??

Tidak sedikit biaya yang ditelan dalam perhelatan ibadah ini, minimal 25juta rupiah per orang. Sungguh ironi mengingat berjuta-juta rakyat Indonesia kelaparan, warga miskin yang tak mampu membayar biaya kesehatannya, penduduk direnggut kebodohan karena tak ada biaya, dan berbagai derita yang selalu menghantui, sedangkan melihat jumlah jamaah haji yang begitu besar menghamburkan uangnya untuk sekedar mengulangi ritual hajinya dengan dana yang sangat berarti bagi orang miskin. Andai separuh saja dari total jamaah mau menyalurkan kepekaannya terhadap penderitaan sesama maka minimal 2.5 trilyun rupiah adalah jumlah yang sangat besar ini dapat mengurangi jutaan perut-perut yang kelaparan.

Perspektif kepekaan sosial adalah cerminan utama realisasi dari keimanan, karena masalah dengan hubungan Allah adalah hubungan vertikal yang sifatnya tersembunyi. Orang lain akan lebih mudah menafsirkan manfaat dari keimanan seseorang apabila kita mau peduli akan kesejahteraan sosial. Kalau hanya menyerap kenikmatan bathin sendiri dengan cara memenuhinya ala ritual-ritual mahal itu sedangkan kita seolah-olah tak memiliki kepekaan terhadap sekeliling, kedengarannya terlalu egois.

Lagi pula bila alih-alih untuk dekat dengan Allah, kenapa harus jauh-jauh ke Arab? Berat diongkos bukan? Kenapa harus jauh mencari perwujudan Allah yang kata orang ada jauh diatas langit? Coba saja istilah, ‘berdoalah pada yang Diatas (Allah)’, pasti familiar bukan? Apa dengan haji untuk biar orang tahu bahwa kita termasuk orang alim? Malah jadi ujub (ria, pamera).

Persepsi umum umat muslim bahwa Allah seperti jauh dari kita adalah sebuah kontradiksi. Allah itu ada dimana-mana, Allah selalu bersama kita kemanapun kita berada (QS. 57:4). Tapi mengapa sepertinya kita jadi mengabaikan hakikat haji dengan alasan yang bermacam-macam. Ibadah adalah baik, namun yang lebih baik adalah yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi (agar tidak menjadi ria) karena Allah maha mengetahui (QS. 2:271).

Manusia adalah makhluk ciptaan-NYA, segala yang kita lakukan adalah kehendak-NYA, dan semua kejadian adalah takdirnya. Setiap sel dari tubuh kita adalah ciptaan-NYA. Segala aktivitas sel kita juga atas kehendak-NYA, dari mulai pertukaran proton, Na, K serta segala kekompleksan mekanismenya yang tak pernah kita sadari adalah atas kuasa dan kebesaran-NYA. Kumpulan sel membentuk tubuh kita ini adalah sudah takdir-NYA, yang dengan kuasa-NYA tidak ada satupun manusia yang sama persis padahal sudah ribuan tahun Tuhan menciptakan berbagai bentuk manusia. Bahkan benda-benda, tumbuhan, binatang, gunung, langit dan lautan tak ada yang memiliki kekuatan untuk menggerakannya selain Allah. Kedudukan manusia bisa jadi seperti pandangan Bang Cokhy bahwa manusia adalah makhluk kemungkinan (red-yang persepsi kemungkinan ini sama kedudukannya dengan benda2 lain dibumi), dimana tidak ada satu kejadian pun yang luput dari aturan Tuhan.

Jika manusia dan sekelilingnya serta segala kegiatannya adalah atas kuasa-NYA artinya Allah hakikatnya adalah selalu bersama kita, dekat bahkan selalu menyelubungi disetiap waktu dan keadaan. Lalu mengapa manusia melupakan keberadaan-NYA?

Untuk mendekat dan mencari kebenaran-NYA manusia harus kembali pada kesucian, kembali pada kemurnian hati, ketulusan menjalankan segalanya dalam hidup dan dikembalikan bahwa hidup adalah milik-NYA. Bahwa harta adalah bukan milik kita tetapi titipan-NYA, dimana hanya manusia makhluk yang diberi akal maka manusia adalah khalifah yang bertugas menjaga kehidupan dan keseimbangan sosial dan lingkungan yang adalah manifestasi ciptaan-NYA.

Mengambil istilah Cak Nun untuk ironi beratus ribu jamaah haji dan bahkan umroh ditengah jutaan kelaparan dan kemiskinan rakyat maka legitimasi yang diberikan adalah secara ekstrinsik melakukan ibadah tetapi secara intrinsik mereka tidak beragama.

Sekedar bahan renungan, yang ketika anda berkesempatan membaca inipun, sudah pasti Allah sudah memasukan kedalam catatan-NYA yang disebut takdir. Allah Maha Segala.

-Y-

Selasa, 08 Juli 2008

Arus Utama Islam (Chapter 2)

Kokohnya sebuah agama terjadi karena para penganutnya dengan setia melaksanakan tradisi dan ajaran-ajaran yang diwariskan dari pendahulunya. Penyebaran ajaran dilakukan secara berkesinambungan agar rantai kepercayaan tsb tidak terputus disuatu masa dan dapat selalu diturunkan pada generasi berikutnya.


Sebuah keluarga tanpa disadari memiliki tradisi secara paksa mewariskan keyakinan beragamanya kepada keturunannya. Memang adalah sebuah kewajiban jika memberikan pelajaran yang baik kepada anak mengenai konsep dasar pemahaman akan Tuhan akan tetapi bukanlah hak orangtua untuk marah dan kecewa jika ketika dewasa sang anak memilih agama yang berbeda. Karena agama manapun tidak ada yang mengajarkan untuk memaksakan keyakinannya kepada orang lain, walau anak sekalipun.

Namun tidak dapat dipungkiri, kebiasaan warisan keyakinan ini sangat efektif penyebarannya. Seperti Islam yang merupakan ajaran warisan Nabi Muhammad sejak tahun 610 M (tahun pertama keRasulannya) dapat dirawat penyebarannya melalui sahabat dan pengikutnya hingga kini.

Dapat dipastikan bahwa metode utama warisan keyakinan Islam adalah belajar dengan ‘meniru’ (mungkin terdengar aneh), tapi coba lihat cara mengajar agama disekolah-sekolah atau ditempat-tempat pengajian atau mungkin dilingkungan rumah sendiri. Para anak didik dituntut untuk melakukan hal yang sama dilakukan gurunya (bisa orangtua atau guru agama) sebagai contoh seperti yang dikerjakan Rasul, dari mulai cara melaksanakan syariat (wudhu, sholat, puasa) hingga pemahaman-pemahaman akan gambaran tentang Islam dan konsep Sang Pencipta. Ada hal yang wajib dan yang sunah. Wajib hukumnya untuk sholat sedangkan sunnah adalah perbuatan yang dilakukan Rasulullah yang jika umat Islam menjalankannya maka mendapat pahala.

Arus utama pemikiran Islam saat ini adalah mengabaikan kontradiksi mengenai konsep “pahala dan dosa”; “surga dan neraka”; “takut kepada Allah”; "takut mati".

Warisan pemahaman mengenai “pahala dan dosa”, bahwa kita diajarkan untuk melakukan kebaikan agar mendapat pahala sebanyak-banyaknya untuk bekal diakherat nanti dan kalau berbohong atau berbuat jahat maka kita berdosa dan mengurangi timbangan amal kita.

Entah dari mana awal konsep perniagaan ini, namun agak janggal karena sepertinya dengan Allah kita menjadi hitung-hitungan. Bukankah nikmat dan anugerah yang diberikan-NYA sudah begitu berlimpah, seperti mata yang dapat melihat, organ tubuh yang berfungsi dengan baik, berpikir dan bekerja serta bergerak adalah pemberian-NYA yang patut kita jadikan alasan untuk bersyukur dan mengingat-NYA setiap saat. Setiap nafas saja yang merupakan limpahan nikmatnya kita tidak pernah menghitung, Tapi kok sholat yang hanya 5 menit saja kita minta pahala dan balasan??

Dengan kemelimpahan nikmatnya saja kita tidak mampu membalas kebaikan-NYA, tapi bila kita puasa sehari saja atau sekedar menyebut nama-NYA, lantas kita mengharapkan pahala dan balasan dari-NYA yang setimpal (bahkan ada yang mengharap limpahan rejeki dan tempat yang enak disurga). Apa tidak berlebihan namanya???

Sedangkan ada yang sholat dan puasa kemudian melakukan kejahatan, lalu untuk menutupi dosanya, ia tambahi pahala dengan bersedekah sebanyak-banyaknya dan berhaji tetapi kejahatannya tetap dilakukan karena konsep perniagaan dengan Allah tadi itu yang menurut perhitungannya sudah mencukupi hitungan pahalanya sebagai bekal akherat.

Begitulah contoh potret perniagaan dengan Allah. Dan kenyataannya, banyak yang melaksanakan kewajiban-kewajiban rukun Islam (syahadat, sholat, zakat, puasa, haji) yang masih mengharapkan pahala tanpa menyadari ketidak adilan sikap kita terhadap nikmat Allah atas 'gagasan jual beli' ini.

Kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan perintah-NYA dan menjauhi larangan-NYA. Sholat menjadi wajib karena hakikat sholat adalah mengingat Allah (QS. 20:14). Kewajiban bagi kita bersyukur dengan mengingat-NYA setiap saat karena sebaik-baiknya ibadah adalah mengingat Allah (QS. 29:45) dan ikhlas dalam berserah diri (QS 4:125). Ikhlas adalah tidak mengharap imbalan apapun, baik itu surga sekalipun.

Kemudian jika kita mengharapkan surga bagaimana? Boleh jadi surga itu sendiri sebenarnya tidak ada. Karena jika kita masih mengharap surga, maka akan sama halnya dengan kita melakukan ibadah dengan mengharap pahala. Kalau ikhlas, ya ikhlas saja, tidak meminta atau berharap sedikitpun akan balasan. Kalau kita masih mengharap surga, berarti sama saja kita tidak ikhlas. Terus bagaimana dengan neraka?

Bisa jadi tempat yang namanya neraka pun sebenarnya hanya kiasan dan bukan seperti yang digambarkan bahwa neraka itu ruangan penuh api dan tempatnya setan, bahkan lebih dahsyat lagi anggapan bahwa Allah tempatnya di surga sedangkan neraka tempatnya setan. Toh sampai saat ini belum pernah ada saksi yang benar-benar telah menyaksikan bagaimana gambaran neraka itu bisa disebut sebagai tempatnya setan dan penuh dengan api. Kalau setan di neraka, betapa hebatnya setan bisa menciptakan neraka. Surga adalah ciptaan Allah, maka berarti neraka pun juga ciptaan-NYA. Berarti, Allah berada baik disurga maupun di neraka.

Kemudian kita diajarkan bahwa perbuatan baik itu dari Allah dan kejahatan berasal dari setan. Bukankah anggapan ini malah menyesatkan? Kan sama saja kita menganggap bahwa kedudukan Allah dan setan sama? Bisa jadi konsep setan sendiri juga bukan merupakan suatu zat atau makhluk. Tetapi anasir jahat yang kerap muncul disifat manusia. Dan kekuatan melakukan kejahatan yang ada dipikiran manusia adalah berasal dari Allah. Pikiran dan kejadian apapun yang ada dikehidupan ini adalah atas kuasa-NYA.

Kita mengenal Asmaul Husna (99 sifat Allah). Tetapi kita hanya dikenalkan sifat-sifat baik Allah, padahal dari 99 tsb juga terdapat sifat buruk. Sehingga ketika melakukan hal jelek maka diklaim berasal dari setan. Padahal yang mengendalikan setan pun berasal dari yang Maha Kuasa, Allah SWT Dzat yang Maha Berkendak.

Kemudian kita diajarkan untuk tidak takut kepada apapun selain Allah. Hal ini menjadi kontradiksi, karena bagaimana kita mau mendekati Allah jika takut? bukankah akan lebih mudah untuk kita mendekat kepada-NYA bila kita dalam keadaan menyayangi-NYA. Cinta-NYA terhadap ciptaan-NYA begitu besar, maka kita pun alangkah nikmatnya jika mampu membalas cinta-NYA.
Takut kepada Allah inilah yang menjadi sumber ide umum bahwa manusia jadi takut mati. Lah wong kita semua ini sudah pasti akan mati, inilah kontradiksi yang diabaikan bahwa kita takut akan hal yang pasti akan kita alami yaitu mati. Inalillahi wa inna Ilaihi Raji'un, kita berasal dari-NYA dan akan kembali kepada-NYA. Jika kita sudah tidak mengharapkan pahala-surga dan tidak takut akan dosa-neraka, hanya ikhlas saja bahwa setiap saat apa yang kita kerjakan adalah berasal dari kekuatan-NYA dan kekuasaan-NYA maka itulah Tauhid.

Pemikiran akan kontradiksi ini muncul karena mungkin saja terjadi distorsi pemahaman mengingat ajaran Islam terjadi sudah berabad-abad tahun yang lalu. Melalui proses pewarisan yang mungkin mengalami pergeseran pemahaman hingga akhirnya sampai kepada kita saat ini yang belum tentu sama seperti persis ajaran pada jaman Nabi Muhammad. (coba saja melakukan permainan berbisik berantai, dari sang pembisik dilanjutkan ke teman sebelahnya secara berbisik terus hingga ketika diucapkan sudah pasti akan berbeda dari sumber pembisik pertama dari mulai kata-kata, gaya mengucap atau tanda baca).
Atau mungkin saja pemahaman yang benar adalah yang menjadi arus utama umat islam saat ini yang mengabaikan kontradiksi tsb, atau bisa jadi sebenarnya kontradiksi itu tidak pernah ada.

Hanya Allah yang tahu, Wallahualam. Allah yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Pemberi Rahmat.

-Y-

Minggu, 06 Juli 2008

Arus Utama Islam (Chapter 1)

Mungkin tidak banyak yang tahu salah satu tesis Cak Nur yang temanya jika diangkat kemasyarakat akan mengurai banyak pro dan kontra. Prof.Dr.Nurcholis Madjid adalah seorang pemikir pembaharu yang mengedepankan gagasan pluralisme disaat Indonesia sedang mengalami degradasi integritas bangsa. Dalam tesisnya, beliau menguraikan kelemahan-kelemahan Islam yang oleh sebagian besar kaum muslim merupakan hal yang tabu. Padahal mengetahui dan memahami kelemahan sendiri adalah titik awal koreksi yang sportif guna membenahi kekurangan yang ada.

Sebelum membicarakan lebih lanjut, ada baiknya kita melihat sebuah rumus jitu yang tidak hanya berlaku untuk penulisan karya ilmiah tetapi juga bagi kebaikan sebuah pribadi maupun negara. Tahapannya yaitu kumpulkan masalah secara subyektif (dari obrolan dan opini) dan obyektif (berdasarkan fakta dan bukti); Identifikasi masalah (problem Identification); dan kemudian Pemecahan masalah (problem solving).

Perbedaan pendapat antar umat Islam hingga terjadi kekerasan (red-peristiwa monas FPI dan AKKBB) yang baru saja terjadi, mencoreng muka sendiri bagi negara mayoritas berpenduduk muslim ini. Sedangkan kasus ini, hanyalah hal kecil masalah yang menyangkut keadaan pola pikir dan sosialita masyarakat muslim di Indonesia. Dan memang masih sangat banyak kelemahan-kelemahan yang menjadi persepsi dari keyakinan umat Islam. Pertanyaannya apakah kita mau sedikit saja mengakui kelemahan-kelemahan itu?

Islam berasal dari bahasa arab (Al-Islam) yang artinya berserah diri hanya kepada Allah. Namun bisa juga diartikan sebagai jalan keselamatan menuju-NYA. Tetapi konsep menyembah kemanunggalan dan menuju Sang Tunggal ini juga berlaku bagi agama lain seperti: Kristen dengan Trinitas yang satu, Hindu dengan Sang Hyang Widi, Budha dengan Sang Hyang Buddha. Meskipun kaya akan pola dan mekanisme beragam dan dianggap berbeda, tapi hakikatnya masing-masing agama menawarkan proses pembebasan kesadaran mutlak menuju Tuhan Maha Esa dan Maha Tunggal. Dan dalam Islam disebut Tauhid.

Bisa jadi sejatinya Tuhan yang kita sembah adalah sama, namun sejarah dan persepsi akan keyakinan yang nyangkut diotak manusia ini yang pada akhirnya menimbulkan banyak pola. Kalau memang pada intinya sama, berarti kedudukan agama tidak lebih tinggi dari Tuhan. Agama apapun judulnya tidak penting karena yang lebih penting adalah Tuhan yang kita yakini, tapi bukan berarti kita mengabaikan agama. Maksudnya begini, agama yang sekarang kita paling yakini kebenarannya adalah sebuah sarana untuk lebih mantap menuju yang Maha Benar. Oleh karena itu, kita tidak berhak menganggap agama lain lebih rendah dari agama kita. Karena semua itu kebetulan saja, kebetulan karena mayoritas kita sejak lahir sudah dalam keadaan agama yang kita yakin benar sekarang ini. Contohnya saya. Kebetulan saja sejak lahir saya lahir dalam keluarga beragama Islam dan didoktrin hingga saya selalu yakin bahwa inilah yang terbaik. Mungkin kalau saya lahir oleh orangtua yang beragama Hindu, hampir sudah pasti saya akan beribadah ke pura.

Karena Tuhan punya takdir. Takdir itu tidak bisa dirubah, sudah begitu mau-NYA. Tapi manusia punya pikiran dan khayalan (yang hal itupun Allah sudah memiliki catatan-NYA). Kalau saya berpikir kenapa Paus atau Dalai Lama tidak masuk Islam saja, kan (jika) saya anggap Islam paling benar. Tapi apa kabar dunia?? Pasti umat akan gempar. Karena sejak lahir beliau-beliau sudah dalam lingkungan agama yang dianut dan dipercayanya. Paus dengan Katolik Romanya, dan Dalai Lama dengan Budha di Tibet. Masing-masing memainkan perannya sebagai pemimpin spiritual. Jika ada yang berpindah keyakinan, itu hak pribadi yang mungkin dalam proses perjalannya mencari kebenaran-NYA, menemukan cara yang lebih tepat sesuai keyakinannya. Dan kita tidak berhak sedikit pun memusuhi agama lain.

Mari sedikit demi sedikit kita kembali mengulas Islam. Jika pada pengertian bahwa Allah adalah yang Maha Tinggi maka tidaklah pantas kita memperdebatkan perbedaan cara antar umat beragama, biar saja masing-masing dengan keyakinannya. Ahmadiyah dengan Mirza Gulham sebagai nabinya, toh apa bedanya kita melihat Kristen dengan Yesus. Lagi pula tidak ada yang lebih penting dari memperdalam keimanan sendiri. Apa dengan merecoki aliran yang berbeda, menambah keimanan sendiri??

Menurut Kang Jalal pemetaan Islam, ada 2 kategori yaitu pertama “Islam Konseptual” ialah konsep Islam yang berupa nilai-nilai yang terdapat dalam al-Quran, Sunah Nabi, narasi buku-buku dan ceramah-ceramah keIslaman; Kemudian yang kedua adalah “Islam Aktual” yaitu nilai dan etos keIslaman yang teraktualisasi dalam perilaku pemeluknya.

Boleh saja mengambil salah satu kebenaran dari sebuah ayat didalam al-Quran, namun tidak berarti mengabaikan dan menutup ayat-ayat lain yang lebih sesuai dengan zamannya. Misalnya, pembuatan film fitna oleh Meneer Wilders karena hanya mengambil petikan-petikan ayat suci Quran (Quran Surat (QS) Al-Anfaal 8:60, An Nisaa’ 4:56, Muhammad 47:4, An Nisaa 4:89, Al Anfaal 8:39) tanpa membedah asbabun nuzul (sebab musabab) turunnya ayat tsb. Kejadian itu dilakukan oleh umat bukan Islam. Tetapi kekerasan yang kerap muncul serta konflik antar sesama muslim boleh jadi juga disebabkan karena umat Islam sendiri yang terlalu secara literatur mencomot ayat-ayat seperti yang dilakukan pak Meneer itu. Padahal ayat QS diatas jika secara harfiah kita telan, maka sudah pasti tidak relevan lagi dengan masa sekarang.

Semacam kompetisi saja agama itu dimata dunia, masing-masing saling menjatuhkan. Tapi ada negara yang mengedepankan isu agama untuk keperluan politisnya, dan agama yang tertuduh semakin menajamkan kuku bersiap menangkis dan menusuk isu-isu yang dilontarkan dengan caranya sendiri. Arus utama yang terjadi didalam Islam saat ini adalah sebanyak-banyaknya mencuplik ayat-ayat yang menunjukan kebaikan dan kekuatan Islam serta beranggapan bahwa Islam adalah yang terbaik, dan tentunya sebanyak kebaikan yang ditonjolkan, maka pihak musuh (yang tentunya dari agama selain Islam) akan menarik pula sebanyak kelemahan-kelemahan ayat Quran sebagai propaganda.

Sebagian besar umat Islam menganggap Yahudi dan Kristen adalah musuh Allah, main stream pemikiran mayoritas muslim menyebutnya - musuh Islam-. Padahal agama tsb adalah warisan dari nabi-nabi umat Islam terdahulu yaitu Nabi Musa dan Nabi Isa. Kitab suci Yahudi dan Kristen pun adalah kitab terdahulu cikal bakal umat Islam, Taurat dan Injil. Maka bukankah berarti Tuhan merekapun sama yaitu Allah SWT. Bahkan mestinya kita (red-umat Islam) berterimakasih pada Yahudi dan Kristen karena berkat mereka maka sampailah Nabi Muhammad sebagai Rasul terakhir yang membawa ajaran kebenaran Allah SWT. Keadaan saat ini terlihat bahwa banyak penafsiran menjadi sesat karena hanya memenggal sedikit-sedikit ayat Quran tanpa mau mempelajari isi dan memahami relevansinya.

(Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran diantara mereka , dan tidak pula mereka bersedih hati. QS AlBaqarah 2:62).

Sangat mungkin konflik kebencian antar umat beragama ini tidak hanya dalam kubu Islam, bisa jadi Nasrani, Yahudi, Budha dan Hindu pun memiliki permasalahan umat yang sama. Tetapi mari kembali pada fitrahnya, bahwa hidup diisi dengan mencari jalan-jalan menuju kebenaran-NYA yang relevan dengan keadaan saat ini yaitu konsisten melakukan hal terbaik dalam hidup agar dapat menemukan frekuensi yang sesuai dengan-NYA jika kita kembali pada-NYA kelak.

-Y-

Rabu, 02 Juli 2008

Imajinasi

Imajinasi adalah kekuatan menghasilkan ide atau gambaran atau citra diri. Hampir semua orang (yang sudah mampu berpikir) dipastikan pernah berimajinasi akan satu hal, bisa mengenai cita-cita atau sesuatu yang diimpikan.


Imajinasi atau fantasi memiliki korelasi linier dengan kreativitas. Dengan kata lain orang yang suka berimajinasi biasanya orang yang kreatif atau berpotensi menjadi kreatif. Misalnya bila kita mendengar kata kreativitas seringkali yang kerap muncul dalam benak kita adalah pelukis, penulis dan musisi. Namun tidak semua buah kreatif itu bagus karena hasil dari imajinasi ada yang produktif dan ada yang kontraproduktif. Sifatnya bisa konstruktif atau destruktif.

Contoh imajinasi yang menelurkan kreativitas yang produktif dan konstruktif misalnya cerpen, novel dan film. Bagi pencinta buku, cerpen dan novel dapat menularkan nuansa tertentu usai membacanya. Begitupun dengan film, acapkali kita akan merasakan sensasi yang berbeda setelah pertunjukan selesai. Dikatakan produktif karena hasil mengkhayal penulis ini mampu memberikan antusiasme positif bagi orang lain. Didalam film dan novel, orang akan mendengarkan dan seolah-olah menjadi saksi didalam alur cerita tsb. Juga ada kata-kata bijak dan hal positif untuk diambil hikmahnya. Banyak yang terinspirasi atau bahkan menjadi wahana pengembangan fantasi tersendiri setelah menonton film atau membaca novel. Padahal baik cerpen, novel, komik ataupun film adalah karya fiksi dari hasil imajinasi sang penulis.

Mengarang adalah bentuk imajinasi yang dituangkan bisa dalam bentuk tulisan atau sekedar diceritakan kepada orang lain. Pelawak juga produktif karena mampu mengarang cerita yang menghibur. Tapi dampak dari mengarang ini bisa dalam bentuk yang kontraproduktif.

Mengkhayal suatu cerita yang kemudian diceritakan kepada orang lain dengan percaya diri seakan-akan buah dari suatu peristiwa nyata merupakan kebohongan. Cerita ini jadi destruktif atau merugikan karena menciptakan karakter buruk bagi sang pencerita. Memang mengarang cerita bohong adalah kreatif, akan tapi bersifat merusak. Sama halnya dengan pembual.

Dalam cerpen AA Navis (Robohnya Surau Kami), seorang pembual yang kerjanya setiap hari membual dari satu tempat ketempat lain dapat membuat seorang penjaga masjid yang dicintai, bunuh diri setelah mendengar cerita sang pembual. Keasyikan membual bisa menjadi kebiasaan yang mungkin sangat merugikan diri sendiri dan orang lain.

Kebiasaan buruk harus segera disadari dan berusaha kembali kejalur yang benar agar tidak terlanjur mengakar dan membentuk watak. Jika saja imajinasi yang tercetus kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan seperti cerpen, maka kreativitas destruktif tsb akan berubah menjadi hal yang positif.

Karena bagaimanapun, kreativitas harus selalu ditingkatkan. Semakin banyak membaca (apapun: cerpen, novel, komik) dan menonton film (apapun: kartun, sciencefiction, drama), akan semakin mengembangkan daya imajinasi dan berfantasi maka semakin berpotensi kita menjadi produktif demi menuju maqam tertinggi dalam hidup.

-Y-

Jumat, 27 Juni 2008

PSK dan Korupsi

Sekedar menilik topik lama yang mungkin hingga kini masih ada yang memperdebatkan, keberadaan kaum Pekerja Seks Komersil (PSK). Sebagian besar sudah pasti menjatuhkan vonis tersangka kepada mereka. Padahal bak mencari asal muasal mana lebih dulu ayam dengan telur, kasus ini jelas tak jauh berbeda. Kontroversi kerap muncul jika forum diskusi dibuka, hal ini wajar karena masing-masing pihak memiliki sudut pandang sendiri dalam menilai cara kerja dan dampak dari kegiatan para PSK.

Kalau Surabaya punya Gang Dolly, Semarang dengan kawasan Sunan Kuning, Sarkem di Yogyakarta dan Bandung dengan Saritemnya, maka Jakarta dulu terkenal dengan Kramat tunggaknya. Tempat yang terkenal dengan transaksi malamnya, kini semakin banyak merebak. Lokalisasi menjadi arena perputaran uang yang sangat signifikan dan secara gamblang merupakan sumber nafkah potensial.

Istilah PSK mengalami penghalusan makna, artinya profesi dalam hal transaksi seksualitas yang memiliki harga tersendiri. Alasan utamanya adalah untuk mencari makan. Walaupun tidak sedikit yang mempertahankan gaya hidupnya dengan tambahan pendapatan dari profesi ini. Biar bagaimanapun fenoma ini memunculkan reaksi keras dari para ibu-ibu yang merasa rumah tangganya terganggu karena ulah jual beli seks ini. Padahal perlu diingat, para pelaku penjual jasa seks ini membuka bisnisnya karena terdapat permintaan dipasaran. Sama halnya dengan prinsip ekonomi, dimana kebutuhan masyarakat akan menciptakan peluang baik bagi dunia perdagangan baik barang ataupun jasa. Kemudian inovasi bervariasi guna memberikan pelayanan terbaik kepada para pelanggan.

Pengguna setia jasa dunia seks ini jangan disangka hanya dari golongan orang yang kesepian tanpa istri, kurang pendidikan dan bobrok moral. Mereka yang aktif datang ketempat remang-remang ini banyak dari kalangan berduit, rumah tangga yang baik-baik saja, pejabat negara (lihat saja contoh anggota DPR, Al-amin Nasution), kaum intelektual dan tidak jarang yang terlihat bernuansa religi juga mencicipinya.

Makanya tidak adil jika kita hanya menganggap pelacur sebagai biang aib, padahal penjaja seks ini ada karena pembeli mencari. Transaksi pun dilakukan karena kesepakatan. Layaknya jual beli yang sah, antara sipenjual jasa dan sipembeli sama-sama mendapat untung. Dan mereka tidak merugikan orang lain, lepas apakah akibat sipembeli kemudian membawa malapateka kerumah karena penyakit atau lebih menyukai sensasi diluar rumahnya. Karena kadang menjadi dilema bagi pelacur seperti misalnya, pemakaian kondom yang disosialisasikan. Ada banyak pelanggan yang lebih suka tidak menggunakan kondom, dari pada tidak laku dan kalah bersaing, si PSK menerima saja permintaan konsumen tsb. Akibatnya penyakit dapat ditularkan dari lokalisasi dan dibawa pulang oleh sipembeli, padahal ini bukan salah sipenjual.

Memang pekerjaan ini adalah jenis yang terburuk karena dimasyarakat kita ini merupakan praktek perzinahan. Tetapi alangkah bijaknya jika melihat dari sudut tertentu, misalnya profesi ini menyelamatkan banyak keluarga untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-harinya dari desakan ekonomi yang kian menjepit mereka toh daripada mencuri. Alternatif pekerjaan ini dilakukan guna mencukupi kehidupan sehari-hari bagi mereka yang memilihnya dengan segala konsekwensi. Melacurkan diri walau dimata masyarakat adalah hina, namun sejatinya profesi ini tidak mengambil hak apapun dari orang lain. Ini murni layaknya aktifitas pasar karena tidak mengurangi hak pembeli sedikitpun, bahkan tidak mengurangi timbangan seperti yang biasa dilakukan para pedagang dipasar pada umumnya yang dianggap pekerjaannya lebih mulia. Dan bisnis ini tidak merugikan siapapun karena dilakukan oleh pihak-pihak yang memang ingin mencemplungkan diri, mereka tidak hina seperi para koruptor.

Para pejabat dan petinggi korup yang berdasi dan intelek malah jauh lebih menjijikan dari para PSK karena mengambil hak dan merugikan banyak orang. Namun dengan selubung yang lebih rapih lagi (karena dianggap dipercaya dan jabatan halal sehingga tidak mudah terendus), semakin lama berkuasa maka semakin besarlah kerugian negara. Moral mereka jauh lebih buruk dari pada pencuri ayam yang hanya mengambil seekor ayam tetangga kemudian mati dikeroyok karena hanya untuk makan keluarga. Juga bahkan jauh lebih maksiat dari pelacuran.

Memberantas kawasan prostitusi sama susahnya dengan memberantas korupsi. Karena budaya korupsi sudah terlalu mengakar dan sulit diberantas. Kasus terbongkarnya konspirasi dan terima suap dikalangan kejaksaan yang seharusnya menjadi arena peradilan menjatuhkan pamor MA karena ternyata menjalar dan sudah mendarah daging hingga kepetinggi negara yang seharusnya terpercaya.

Bea cukai juga ikut terkuak padahal sudah menjadi rahasia umum praktek suap menyuap ini terjadi di Dirjen pajak, walaupun cuma shock terapy paling tidak kerja KPK sudah menunjukan hasil. Padahal bukan tidak mungkin praktek korupsi masih banyak bercokol didepartemen lain misalnya Setneg dan atau kepresidenan???!. Para koruptor akan memelas jika tertangkap dan meminta keringanan hukuman padahal mereka dan keluarganya hidup mulia dengan makan dan tidur yang serba enak dari hasil hak orang lain.

Jika saja pemimpin kita dapat dengan tegas memberantas korupsi ini dan mau menampari serta menciptakan budaya malu (agar pejabat korup segera mengundurkan diri seperi di korea selatan) maka berapa trilyun uang negara akan terselamatkan. Presiden itu seperti wartawan yang serba tahu segalanya tentang kondisi dan seluk beluk rakyatnya sebelum sampai ke khalayak umum. Oleh sebab itu bukan tidak mungkin jika presiden pun sebenarnya sudah tahu praktek-praktek dan zona aman para pelaku korupsi ini sebelum tim KPK menyelidiki. Tinggal kebijaksanaannya saja untuk menyelamatkan nasib bangsa. Toh, keppres masih sangat sakti di Indonesia.

Atau mungkin masih ada indikasi menyelamatkan diri sendiri? Atau pura-pura tidak tahu atau pura-pura tertipu. Lah wong kasus gampang saja seperti Blue energy-nya si Joko Suprapto bisa (red. pura-pura) tertipu.

Bicara soal bohong-berbohong sepertinya sudah menjadi salah satu budaya terburuk dinegara kita. Padahal satu kebohongan akan menciptakan puluhan kebohongan lain untuk menutupi kebohongan yang pertama. Lihat saja Jampidsus Kemas Yahya dan Jamdatun Untung Udji. Mereka seolah-olah bicara pada orang dungu agar dipercaya tanpa memberikan fakta dan bukti-bukti. Dengan percaya diri mereka mengatakan kebohongan dan berusaha menutupi kebohongan lain tatkala ada penyangkalan dari pihak luar.
Saat ini banyak orang-orang yang dengan percaya diri berbohong dan menganggap seolah kita semua adalah orang blo’on yang mau mempercayainya tanpa disertai fakta dan bukti. Bahkan ada yang sudah jelas-jelas tertangkap berbohong pun masih percaya diri mempertahankan kebohongannya, tinggal gantian kita yang waras untuk bersikap bijak menanggapinya.

-Y-

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...