Saya terkilir atau bahasa browsingnya adalah keselo ringan malam ini.
Konyol memang karena ini kecelakaan tunggal, ulah sendiri.
Ini terjadi karena saya sedang berjalan kaki di atas pembatas jalan yang memang bukan trotoar buat pejalan laki, tingginya kira-kira 30cm. Berjalan sembari menikmati lorhun, sedikit terburu-buru hendak menyebrang dan agak kesal karena di sebelah kanan ada motor hendak melawan arus. Namun, telapak kaki kiri sudah mendarat di jalan aspal yang lebih rendah permukaannya dari trotoar tadi tanpa perhitungan. Tubuh saya kehilangan keseimbangan dan goyah. Kaki kanan tak mampu mengimbangi badan yang terhempas ke depan karena sakitluar biasa di pergelangan kaki kiri. Sehingga ambruk dan dengkul kaki kananpun berusaha menopang badan yang tersungkur.
Sekitar lima menit lamanya saya tak bergerak, dalam posisi kedua tangan di aspal menahan sakitnya kaki kiri dan badan ditopang oleh dengkul kanan.
Tak ada yang membantu berdiri, padahal saya nantikan bantuan itu. Sempat merasa malu, tapi rasa sakit yang lebih kuat mengesampinkan pikiran malu. Satu orang mulai mendekati, sopir angkot yang agak jauh dari saya namun mencoba membantu, tapi kadung badan ini sudah mengumpulkan kekuatan untuk kemudian duduk di trotoar tadi yang membuat saya jatuh.
Rupanya masih sangat sakit kaki ini, tak mampu bangkit dan berjalan. Motor itu berisi 2 orang dewasa dan anak kecil, yang bikin kesal saya, tak bergerak sedikitpun untuk menolong saya. Padahal hanya berjarak 60cm dari saya, hanya melihat dan mencoba bersimpati tetapi tidak empati.
Saya pikir apalah cuma begini, saya mencoba berjalan menyebrang, gerbang rumah sudah di depan mata. O...o.. rupanya tak mampu kaki kiri ini menapak kuat. Usai menyeberang dengan tertatih, saya diajak duduk oleh 2 abang ojek yang mencoba menghibur dan bahkan menawarkan untuk dipijit. Tentu saya menolak dipijit, bukan karena takut, tapi memang sedang sakit sekali kaki ini.
Ketika hati merasa jauh terhibur dan menjadi kuat oleh keramahan abang ojek, saya melanjutkan berjalan kaki ke rumah dengan kekuatan kaki kanan yang menyeret kaki kiri agar bekerja sama membopong tubuh ini hingga ke rumah.
4 jam telah berlalu dan kaki kiri sudah bengkak, mulai merasa pegal.
Keseleo ringan seperti ini. Ya ampun. Gimana keseleo berat. Fiuhh..
Pelajaran hari ini!
- "Tak ada yang dapat menolongmu, selain dirimu sendiri". Maksudnya, ketika musibah terjadi, tetaplah berupaya keras kembali bangkit. Jangan menunggu pertolongan datang. Jikapun ada pertolongan, maka anggap saja sebagai bonus.
- "Asah empati!" Karena sedikit atau kecil saja bantuan yang tulus, akan sangat berarti buat mereka yang sedang butuh pertolongan. Helping other wont hurt you, right?!
- Selalu berhati-hati! Karena sial itu tidak melihat status atau keadaan apapun.
- "Tetap bersyukur". Pada dasarnya, kita harus tetap hidup untuk menjadi manusia, minimal bernapas dan otaknya berfungsi. Jadi, cobaan fisik apapun yang dialami, maka kita harus tetap bersyukur selama masih dapat bernapas dan otaknya berfungsi. Hal ini supaya kita selalu terus bersemangat dan berpikir positif untuk memberi arti pada jiwa dan raga ini.
Upaya sembuh!
Rumah Sehat
Karena pikirnya hanya kecengklak saja, esok harinya saya ke Hj Naim. Antrian ke -35/tahap ke-2 di jam 3an sore. Tidak lama antrinya. Ada 2-3 yang urut di dalam. Ruangannya ber-AC, nyaman. Saat di depan abang urutnya, saya diajak becanda biar tidak terasa sakit saat diusap kaki kiri ini. Katanya retak ringan, lalu dia mencelupkan kapas ke cairan dingin yang pasangakan ke kaki saya. Kemudian di atasnya ditambahkan potongan semacam daun kelapa kering yang kokoh untuk memperkuat struktur, dengan terakhir dibalut dengan perban.
Kaki diperban supaya mengurangi pergerakan dan lebih aman mengurangi cidera berlebih. Abang urut minta saya kembali di hari Senin untuk buka perban dan pantau perkembangan. Kesan saya ke Rumah Sehat Hj Naim ini adalah puas, senang karena ternyata cepat antriannya. Ramah abang urutnya, dan tempat urutnya adem dan bersih. Antrian juga baik diaturnya. Untuk uang perban biayanya 80ribu dibayar melalui petugas di pintu depan. Sedangkan untuk biaya urut, langsung diberikan ke abang urutnya, seiklasnya. Saya berikan 200rb sesuai saran teman saya.
Untuk memudahkan mobilisasi saya di rumah, suami membelikan 1 kruk harganya 200ribu. Saya masih kagok memakai kruk ini. Lalu ada akal, di rumah ada kursi kerja yang pakai roda. Nah ini, saya pakai buat wira-wiri dari kamar, ke ruang kerja di rumah, ke kamar mandi, ke dapur, dan ke ruang nonton tipi. Aman!!!
Saya bisa mandi (dengan kaki diangkat satu yang sakit) dan lakukan aktifitas lainnya di dalam rumah.
Empat hari berlalu, karena jemu.. hari minggu saya request untuk makan siang di luar. Masih bisa ditangani, saya pakai kruk. Tapi rupanya saya tidak canggih pakainya, sehingga suami kerap menggendong saya di parkiran untuk kenyamanan saya (kebetulan lagi sepi.. hehe). Setelah makan siang, saya kapok karena repot, dan memutuskan akan ke luar rumah saat penting saja.
Kemudian, tibalah hari Senin. Saya masih merasa kaki saya nyeri dan ketika saya buka perbannya terlihat bengkak dan lebam. Kakipun belum dapat berjalan baik. Lalu saya memutuskan untuk kontrol saja ke RS, ke dokter ortopedi.
Rumah Sakit
Senin pagi dapat nomor antri yang pertama. Alhamdulillah rejeki. Setelah ceritakan kejadian, dokter meminta saya untuk rontgent. Hasil rontgent menunjukkan saya mengalami Jones Fracture, yaitu patah tulang pada metatarsal 5 atau ruang tulang jari kaki kelingking. Saking seringnya kejadian ini, maka sampai ada namanya Jones yang menemukan jenis patah tulang ini. Baca lebih lengkap tentang Jones Farcture. Dengan cukup panjang penjelasan, saran dokter untuk fracture jenis ini sebaiknya dilakukan tindakan antara lain memasang plate atau screw, screw adalah lebih maju teknologinya dibandingkan plate. Tanpa tindakanpun bisa saja sembuh, tapi waktunya akan lebih lama dan timbul nyeri kronis sangat memungkinkan.
Okeh.. kemudian dokternya membantu memberikan rekomendasi kepada RS agar mendapatkan persetujuan penjaminan biaya operasi dan rawat inap kepada pihak asuransi.
Sementara menunggu proses asuransi, dokter memberi gips pada kaki saya untuk tujuan imobilisasi. Gipsnya hanya separuh yang ditutup perban seutuhnya, jadi kita bisa copot perban dan melepas gips jika ingin mandi. Tapi.. hehe.. jadi berat banget kakinya. Tambah oleng saya pakai kruk satu. Dokter mengizinkan saya untuk meeting offline, asalkan tidak menapakkan kaki kiri.
Selama pakai gips, saya ada agenda meeting in person dengan klien dan mesti ke kampus, dan rasanya tidak mungkin saya pakai gips dan kruk karen berat. Lalu suami saya membelikan saya kursi roda, merek One Media (brand lokal paling wahid) harganya sekitar 800ribuan. Dengan kursi roda, kaki kiri saya lebih stabil keadaannya, jadi saya berupaya terbiasa dengan kursi roda. Sekaligus mencoba merasakan menjadi seperti rekan-rekan difable yang berkursi roda.
Saat saya memiliki keterbatasan fisik, namun otak saya masih dapat berfungsi sehat. Saya berkursi roda, namun saya masih memiliki privilege. Saya memiliki kendaraan sendiri dan dapat ditemani bepergian oleh sopir suami. Saya tahu dunia tidak adil! tapi poin saya adalah saya ingin bercerita bagaimana kolega dan klien melihat saya (dari perspektif saya tentunya, dengan berkursi roda). Ada anggapan kasian dan ingin selalu membantu saya setiap saya bergerak. Padahal saya tidak ingin menyusahkan orang, jadi menahan gerakan agar tidak menarik perhatian. Saya tidak ingin fisik saya menjadi halangan untuk saya produktif.
Lalu saya sampaikan hal ini kepada 1 kolega saya. Ternyata hanya salah paham saja, dia bilang pikirnya membantuku itu terbaik dan akhirnya dia jadi tahu saya ingin diperlakukan seperti apa. Akan tetapi, tidak mungkin saya katakan ini pada semua orang. Jadi saya cenderung menerima saja jika mereka ingin membantu meringankan saya. Beda lagi ketika saya ke kampus. Kebetulan teman kuliah saya banyak yang paham artinya kesetaraan. Mereka bersimpati melihat saya untuk merasakan menjadi difabel. Jadi mereka dengan santai membiarkan saya mengayuh kursi roda saya sendiri dan mencoba tak acuh dengan polah saya, meskipun saya tahu mata mereka mengawasi gerak saya. Senangnya memiliki support system seperti ini.
Saatnya Operasi!
Setelah melalui proses adminsitrasi, persetujuan asuransipun diterbitkan. Jumat sore saya diminta ke RS untuk melakukan cek darah di lab, rontgen torax, dan ke dokter internis untuk persiapan sebelum tindakan. Malamnya saya menginap. kemudian diminta puasa mulai jam 11 malam, rencana tindakan jam 7 pagi di hari Sabtu.
Pada hari Sabtu jam 4.30 pagi, Suster memberikan saya infus NaCl, lalu beberapa saat suster melakukan skin test untuk antibiotik yang akan diberikan. Antibiotiknya aman, lalu cairan infus diganti dengan antibiotik hingga habis dan diganti lagi dengan NaCl.
Jam 6.30 suster menjemput saya untuk dibawa ke OT (Operating Theater atau kamar operasi). Di OT, karena ruangan steril maka saya pakai baju operasi pasien bersiap dibius untuk operasi. Biusnya setengah badan, jadi suntiknya lewat spinal (tulang belakang). Saya diminta duduk dan memegang bantal agar rileks. Dokter memberikan suntik anestesi awal agar suntik anestasi spinalnya tidak terlalu sakit, jadi dua kali suntikan, tapi saya ga tau yang pertama itu apa. Tapi bekerja baik sekali. Saya tidak merasa sakit disuntiknya. Setelah dibius, kaki merasa hangat dan kemudian kesemutan. Selanjutnya ya kebas dan tidak bisa bergerak. Dengan demikian, selanjutnya adalah tugas dokter bedah tulang, ditemani dua perawat OK dan satu petugas radiologi. Sebelum dioperasi, kami berdoa bersama untuk kelancaran operasi.
Operasi berjalan lancar sekitar 1.5 jam. Kemudian saya diantar ke kamar pemulihan. Lalu dikembalikan ke kamar rawat inap. Mati rasa pada kaki perlahan-lahan hilang mulai ujung kaki kanan, ujung kaki kiri, hingga ke pinggul. Saya baru bisa buang air kecil karena mulai bisa merasakan hilang kebasnya di bagian vagina, sekitar 6-7 jam kemudian. Selanjutnya dokter memberikan saya obat anti mual dan pereda rasa nyeri selama masa observasi sekitar 10-12 jam setelah tindakan.
-YA-