Kamis, 06 Agustus 2009

Pesona Baduy Dalam (Part 4-end)

19 Juli 2009


Setelah sarapan dengan mi instan didalam gelas, kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Baduy Dalam lainnya yaitu Cikartawana dan Cikeusik. Kedua kampung tersebut dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Luas kedua kampung ini lebih kecil dibandingkan dengan kampung Cibeo dan jumlah Kepala Keluarganya pun lebih sedikit. Pada saat kami singgah, tampak lenggang suasana kampung karena warga berladang. Hanya beberapa wanita dan anak-anak serta seorang pria yang bertugas menjaga keamanan kampung yang terlihat.

Paling kiri : Jama’. Paling kanan : Pulung. Anak-anak Baduy yang dianggap mulai besar. Keempat anak ini membantu mebawakan tas peserta rombongan.
Jalan tetap berbukit dan panas. Meski demikian, tak menyurutkan para pembalak liar memapah dipundaknya batang kayu curian yang kami temui dalam perjalanan pulang. Entah mengapa, begitu mudahnya para pembalak tersebut memapah batang demi batang gelondongan kayu tersebut. Jika hal ini terus dilakukan, maka besar kemungkingan keseimbangan hutan dapat terganggu.

Dari cikeusik hanya membutuhkan waktu 1,5 jam dengan berjalan kaki untuk sampai di desa Nanggerang. Rute pulang yang dipilih berbeda dengan keberangkatan. Padalah setelah jembatan terakhir yang memisahkan Baduy Dalam dan desa luar, dapat ditempuh dengan ojek. Sehingga dapat dikatakan dari desa Nanggerang, perjalanan relatif lebih mudah dan lebih cepat hanya 1 jam berjalan kaki.

Jembatan Pembatas Desa Nanggerang dengan Desa Kanekes (Baduy Dalam)
Catatan Penulis

Suku Baduy Dalam memiliki hukum adat yang berlaku sama untuk ketiga kawasannya yaitu kampung Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Dalam sistem yang terbentuk secara turun temurun tersebut sejak berabad-abad lamanya, tidak menggoyahkan keyakinan yang kuat dari setiap suku untuk mentaati. Aturan yang dengan setia dipatuhi oleh warganya, serta larangan bersekolah membuat warga tidak akan berpikir menyimpang dan berani membangkang. Tidak adanya listrik dan terputusnya jalur masuk informasi ke dalam kawasan adat merupakan sistem tertutup yang terbentuk. Selain itu, larangan dokumentasi dan ketiadaan informasi akan sejarah suku Baduy Dalam dapat meminimalisasi sentuhan dunia luar mengeksplorasi lebih dalam kawasan tersebut (yang besar kemungkingan malah dapat merusak sistem adat yang ada).

Meskipun setiap warga memiliki hak asasi untuk memajukan pendidikannya, namun dengan adat Baduy Dalam yang terbentuk maka kita patut berterimakasih kepada suku Baduy Dalam akan kearifan lokal yang mereka miliki. Ditengah hingar bingar kemajuan informasi dan telekomunikasi serta sarana dan prasarana, suku Baduy Dalam tetap mempertahankan budayanya. Dengan adat dan kebudayaan tersebut, maka konservasi alam terjaga dengan sangat baik. Tanah pegunungan Kendeng tetap terjaga berkat keyakinan pikukuh dalam berladang yang tidak mengubah bentang alam. Sehingga tanaman dapat dengan baik menyerap hujan dan menyimpan air tanah, dan erosi dan tanah longsor dapat dihindari. Hutan larangan yang merupakan hutan lindung dapat terpelihara dengan sendirinya tanpa sentuhan pemerintah (departemen kehutanan). Dengan demikian sumber mata air pegunungan (aquifer) dapat terpelihara, Keseimbangan ekologis hutan terjaga dan kebutuhan air bagi penduduk desa dan kota setempat dapat tercukupi. Ditambah lagi pemadangan yang indah dan segarnya udara pegunungan serta jernihnya air sungai yang mengalir masih dapat kita nikmati.

Hal ini tak lepas dari kerjasama berbagai pihak. Pertama, tentu saja komitmen dari suku Baduy Dalam untuk mempertahankan budayanya ditengah arus perkembangan peradaban yang begitu cepat. Kedua, dukungan pemerintah baik pusat maupun daerah dengan memberikan sepenuhnya hak ulayat suku Baduy Dalam, serta menjaga dan memantau kawasan wisata sebagai cagar budaya agar tetap exist. Ketiga, warga desa diluar kawasan Baduy Dalam dan para pengunjung agar menghargai serta patuh akan ketentuan adat yang berlaku. Jika semua bekerjasama menghormati budaya yang ada, maka keharmonisan dan keseimbangan lingkungan dapat terjaga. Hal ini berkat Kearifan lokal yang terbentuk dari budaya suku Baduy Dalam, dan merupakan bekal bagi generasi yang akan datang untuk dapat menikmati lingkungan yang bersih dan sehat.

Namun apabila terjadi suatu keadaan dimana keterbukaan arus masuk menuju kawasan wisata budaya suku Baduy Dalam menjadi lebih mudah, contohnya jika tidak perlu lagi berjalan kaki dan tersedia sarana transportasi dengan mudah, maka hal ini berpotensi rusaknya sistem tertutup adat yang telah ada sehingga memungkinkan pudarnya hukum adat dan keberadaan suku Baduy Dalam itu sendiri.

-Y-

Pesona Baduy Dalam (Part 3)

Kepercayaan dan Sistem Tanggal

Tak ada data sejarah yang dengan jelas menerangkan asal muasal suku Baduy Dalam, karena tidak adanya budaya menulis dan menuangkan dalam simbol maka hanya dapat diperkirakan nenek moyang suku ini terbentuk. Mereka menganut animisme, tidak mengenal ritual dalam keseharian. Mereka hanya menjalankan laku sederhana dan patuh kepada hukum adat yang diyakini secara turun temurun. Kepercayaan mereka disebut Sunda Wiwitan.

Suku Baduy Dalam sangat menghormati pemimpin adat atau Puun, namun dalam keseharian kedudukan Puun setara dengan Jaro (semacam lurah) dan warga lainnya. Puun dan Jaro dipilih secara musyawarah, bukan secara turun temurun. Saat ini Puun telah memimpin suku Baduy selama kurang lebih 32 tahun. Mereka sangat yakin, dengan kepemimpinannya maka warga terhindar dari sakit dan selalu sehat.

Dalam sistem pertanggalan, dikenal 12 bulan yaitu: Kasa, Karo, Katilu, Sapar, Kalima, Kaanem, Kapitu, Kadalapan, Kasalapan, Kasapuluh, Hapid Lemah, Hapid Kayu. Saat kami berkunjung, warga meyakini jatuh pada bulan Kaanem. Karena mereka tak mengenal angka dan berhitung, maka usia pun dihitung dengan mengira-ngira. Jadi jangan berharap, mereka memiliki akte kelahiran.

Bagi para pendatang yang hendak mengunjungi kawasan wisata tersebut, Baduy Dalam tidak selalu membuka pintu bagi para pengunjung. Pada saat Upacara Kawaluh yang jatuh pada bulan Kasa, Karo dan Katiga. Bulan ini dianggap suci, sehingga suku Baduy dalam berpuasa dan melakukan mati geni (tanpa api). Kemudian Upacara Ngalaksa, seperti lebaran sebagai perayaan atas berpuasa selama tiga bulan. Suku Baduy Dalam tidak memperkenankan warga asing selain keturunan Cina berkunjung ke kawasan wisata. Nenek moyang mereka hanya menganggap saudara kepada keturunan Cina karena sebagai pedagang.

Perilaku dan keseharian suku Baduy Dalam sangat sederhana dan tanpa ambisi. Sebuah pertanyaan saya lontarkan kepada beberapa warga mengenai alasan kesederhanaan tersebut. Jawaban yang dilontarkan begitu cerdas dan masuk akal. Bagi mereka keseragamanlah yang membuat mereka tidak saling iri. Bentuk dan ukuran rumah yang sama, cara dan model berpakaian yang sama, luas ladang yang kurang lebih sama, serta mata pencaharian yang sama membuat mereka tak perlu iri dengan tetangga. Meskipun sudah mengenal uang dari hasil menjual kerajinan tangan dan hasil panen serta upah menjadi porter, yang tentunya jumlahnya akan berbeda pada setiap kepala keluarga, namun tetap tidak membuat mereka iri.

Amanat Buyut yang digantung sebelum memasuki kawasan wisata Baduy dalam melalui Desa Naggerang. Papan tsb merupakan norma keseharian bagi suku Baduy dalam yang ditulis oleh Pemerintah Kabupaten Lebak
Sistem adat yang terbentuk, membuat setiap warga tidak ingin iri dan saling pamer. Salah seorang warga menjelaskan demikian : “beda dengan dikota, yang satu punya mobil, terus yang satu punya motor. Disinikan (Baduy Dalam) ga boleh punya apa-apa, jadi ga bisa ngiri”. Pernah ada seorang warga Baduy Dalam dititipkan barang dagangan oleh orang luar dengan menggelar makanan, padahal si warga tersebut tidak pernah bermaksud mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Namun tetap saja hukum adat mengusir warga tersebut dan dikeluarkan dari identitas sebagai warga Baduy Dalam. Ketentuan bagi warga Suku Baduy Dalam, hanya diperbolehkan menjual hasil kerajinan tangan sendiri dan hasil panen sendiri. Sehingga tak ayal, sesampainya kami disana disambut penjual dari desa sebelah yang menawarkan cenderamata seperti gantungan kunci, teko, centong nasi dan sayur, cincin, gelang dan slayer. Sedangkan dari warga Suku Baduy menawarkan tas anyaman kayu berwarna coklat seharga 20 ribu dan syal hitam seharga 30 ribu. Harga dapat bervariasi, tergantung si empunya cenderamata memberi harga. Dan ketentuannya, para pengunjung tidak boleh menawar. Meskipun demikian, warga Baduy Dalam tidak pernah berusaha mengambil keuntungan terlalu banyak.

Warga Baduy Dalam tidak pernah mengotori daerahnya dengan sampah anorganik. Bagi pengunjung dilarang menggunakan sampo, sabun dan pasta gigi di sungai. Dengan demikian terjaga kebersihan air dari polutan. Sedangkan sampah anorganik seperti plastik akan dikumpulkan menjadi satu dan segera dibakar. Selama perjalanan menuju Cibeo, ketua rombongan Daniel Ismandaru mengumpulkan satu kantong besar sampah plastik yang ditemukan di jalan. Kegiatan menjaga lingkungan ini telah lama ia lakukan sejak tahun 1992 pertama kali menginjak Baduy Dalam. Pada saat itu, medan perjalanan sangat berbeda jauh dengan saat ini yang jauh lebih mudah.

-Y-

Pesona Baduy Dalam (Part 2)

Saya begitu takjub dengan keteraturan ritme biologis yang dimiliki suku Baduy Dalam. Meskipun tidak mengenal jam dan adanya perbedaan pengaturan sistem bulan, namun mereka tetap dapat mempertahankan eksistensinya karena sistem tertutup yang telah dibangun dan dilaksanakan selama berabad-abad.

Suku Baduy bangun dipagi hari saat ayam mulai berkokok, kemudian bagi para wanita akan ke sungai atau menumbuk ani-ani dan melakukan persiapan sebelum berladang. Pada saat matahari terbit, wanita dan pria dewasa sudah meninggalkan rumah dan pergi ke ladang. Tak jarang mereka pun membawa serta anak-anaknya. Baru setelah kurang lebih pukul 4-5 sore mereka kembali dan menyiapkan makan malam. Menjelang senja, kampung sudah mulai sepi. Ketika gelap menyelimuti, mereka sudah masuk kedalam rumah. hanya sekitar 1-3 orang yang bertugas melakukan ronda demi menjaga keamanan kampung.

Bagi para wanita lajang, setiap malam minggu diadakan perkumpulan pada sebuah aula. Terkadang pria lajang akan menghibur dengan diiringi lantunan kecapi untuk dipersembahkan bagi para wanita lajang tersebut. Namun jangan sampai pada saat tersebut, pendatang mencoba untuk bergabung maka para wanita akan malu dan meninggalkan aula.

Setiap sabtu malam, beberapa suku Baduy kerap berkunjung kedesa terdekat untuk melihat berita terkini mengenai dunia luar. Sehingga tak hanya bahasa sunda saja yang mereka kuasai, bahasa Indonesia pun dan sedikit bahasa Inggris mereka kuasai dengan cara otodidak. Pada bulan tertentu dan pekerjaan diladang sedikit longgar, mereka akan berkunjung kekota sekedar mengunjungi teman (mereka akan menganggap teman bagi setiap pengunjung) atau panggilan salah seorang pengunjung untuk keperluan riset atau ilmu pengetahuan. Bahkan untuk urusan klenik pun, menjadi alasan mereka mengunjungi dunia luar bagi orang yang memerlukannya. Atau untuk sekedar berbelanja kebutuhan dasar, seperti membeli manik-manik sebagai bahan dasar membuat kalung dan gelang yang dilaksanakan para wanita. Biasanya setelah berkunjung, mereka akan memperoleh uang untuk tambahan keperluan hidup.


Suku Baduy hanya diperkenankan berjalan tanpa alas kaki kemanapun tujuannya. Mereka dilarang menggunakan kendaraan. Oleh karena itu, butuh waktu 3-4 hari untuk sampai ketempat tujuan seperti Jakarta. Ini merupakan hukum adat. Mereka yakin akan tertimpa bencana jika melanggar aturan. Meskipun mereka belum pernah menemukan fakta tersebut, namun mereka tidak mau melanggarnya.
Dalam sistem pernikahan Suku Baduy melakukan monogami, jika pasangan meninggal barulah mereka dapat menikah lagi. umumnya satu keluarga memiliki banyak anak. Orangtua akan menjodohkan anak remajanya yang terlebih dahulu diajukan kepada “puun” untuk memperoleh persetujuannya. Tidak diperbolehkan menikah satu keturunan, namun apabila tak ada pilihan maka sesama cucu yang berbeda orangtua boleh menikah. Peradaban yang tertanam dengan baik selama bertahun-tahun, dimana jika incest (menikah satu keturunan) dilakukan maka dapat melahirkan generasi yang cacat.

Suku Baduy Dalam memahami arti hidup. Dalam perjalanan usia, pria dan wanita memiliki kewajiban mengolah dan mempertahankan adat setempat. Dari mulai bermusyawarah dalam pemilihan pemimpin adat, membangun rumah kampung adat, menjaga ladang dan kawasan kampung adat, serta mempertahankan sistem dan hukum adat Baduy Dalam dengan cara menyampaikan kepada keturunannya secara lisan.

Ketika melahirkan, suku Baduy Dalam memiliki dukun yang disebut Paraji. Jarang terjadi kasus sulit, kalaupun ada maka bidan dari Baduy Luar pun diperkenankan membantu. Meskipun demikian, kematian bayi tak dapat dihindarkan. Jenazah akan dikebumikan di bagian selatan kampung Baduy Dalam, dengan sebelumnya dimandikan terlebih dahulu.

Mata pencaharian suku Baduy Dalam adalah berladang. Mereka memiliki kepercayaan untuk tidak mengubah bentang alam atau disebut pikukuh, sehingga menanam padi dilakukan dengan huma atau disebut padi huma. Padi huma tidak memerlukan irigasi, menanamnya seperti tanaman biasa. Untuk memaksimalkan berladang, digunakan bambu (salah satu ujung batang dibuat runcing) yang ditancapkan ke tanah untuk menunjang daun dan batang. Selain padi, secara tumpang sari dilakukan selingan menanam singkong, kacang tanah. Setiap kepala keluarga memiliki kurang lebih 2 hektar ladang garapan. Dengan luas tersebut, suku Baduy Dalam ada juga yang menanam durian. Jika panen, mereka seringkali menjualnya ke luar. Namun demikian, mereka pun kerap mengalami kekurangan pangan. Dengan demikian, mereka akan ke pasar di desa sebelah untuk membeli pangan seperti tempe, ikan dan beras serta sayuran. selain tanaman, Baduy Dalam melepaskan ternak ayamnya di ladang. Kadang ayam menjadi santapan mereka, namun lebih khusus untuk acara tertentu seperti perkawinan dan perayaan.

Lumbung untuk menampung hasil panen. Foto ini hanya contoh yang diambil dari Desa Nanggerang di luar Baduy Dalam, karena larangan mengambil dokumentasi sehingga foto ini hanya digunakan sebagai ilustrasi. Suku Baduy Dalam pada saat panen, akan melakukan Seba atau kunjungan ke Bupati dan Gubernur sebagai bentuk penghargaan terhadap pemerintah dan menjalin silaturahmi.

-Y-

Rabu, 29 Juli 2009

Pesona Baduy Dalam (Part 1)

Informasi melalui internet yang mengantarkan saya mengunjungi suku Baduy Dalam di Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, Rangkasbitung - Banten. Bersama teman-teman dari rombongan Rumah Sakit Umum Adjidarmo yang diketuai oleh Daniel Ismandaru, pada tanggal 18 Juli 2009 kami melakukan perjalanan menuju daerah terpencil dengan jarak 40 km dari kota Rangkasbitung dengan minibus. Sesampainya di terminal Cibolegar (-merupakan desa terakhir yang masih dapat ditempuh dengan kendaraan), lima orang suku Baduy Dalam telah menunggu kami di depan sebuah toko kosong warga. Mereka adalah Kang Anas, Ki tua, Sengseng, Juli dan si kecil Jama’. Setelah dua jam dengan minibus dari RSU, lalu dilanjutkan dengan berjalan kaki kurang lebih 12 km untuk dapat sampai di Kampung Cibeo yaitu salah satu dari tiga kawasan Baduy Dalam.

Rombongan Berpose
Perjalanan sedikit ringan karena urang kanekes atau urang baduy (sebutan bagi orang baduy) terbiasa menjadi porter dan guide bagi rombongan pengunjung. Jama’ (10 tahun) pun turut serta membawakan tas teringan dari salah satu rombongan, baginya membawakan tas adalah sebuah latihan agar menjadi kuat kelak di usia dewasa. Meskipun paling kecil, kelincahan Jama’ tidak pernah berada di baris belakang selama perjalanan. Suku Baduy Dalam beranggapan bahwa anak seusia Jama’ merupakan permulaan menuju kedewasaan sehingga wajib menggunakan ikat kepala berwarna putih seperti bapak-bapak dan remaja pria suku Baduy Dalam lakukan. Pakaian pria dewasa pun dibuat seragam, yaitu kain dari katun berwarna putih atau biru kehitaman yang dibeli dari daerah Majalengka. Kain tersebut lalu dijahit oleh para wanita suku Baduy Dalam tanpa menggunakan mesin jahit. Pola baju pria tanpa menggunakan kerah, kantong dan bagian leher hanya berbentuk ‘V’ sampai bagian dada. Pada bagian tepi bahan dijahit dengan benang berwarna warni dan tertata sangat rapih. Pakaian ini sering disebut dengan jamang sangsang. Dan Pria Baduy menggunakan rok berupa kain panjang yang dililitkan sepanjang lutut berwarna biru kehitaman.

Ada baiknya kami melakukan perjalanan disaat musim kemarau, sehingga jalan setapak berupa tanah dan sebagian berbatu (dipinggir sungai) menjadi kering dan lebih mudah dilalui. Sehingga tapak sepatu kami mudah melekat pada tanah dan bebatuan. Karena hampir sebagian besar medan yang dilalui berupa bukit dan tanjakan. Dalam keadaan seperti itu pun masih dibutuhkan kehati-hatian untuk menghindari resiko terperosok ke jurang. Meskipun demikian, tak ayal kerap terjadi kecelakaan kecil yang dialami peserta rombongan karena letih dan panasnya cuaca sehingga merosot beberapa meter dari pijakan akhir.

Setelah tiga jam berjalan kaki, akhirnya kami sampai di kampung Cibeo. Rumah panggung yang berjajar dan tertata rapih menghadap utara dan selatan dibuat seragam dalam bentuk dan ukuran yang sama. Dalam satu kampung kurang lebih dihuni oleh 90 Kepala Keluarga. Setiap kampung Baduy Dalam di pimpin oleh adat tertinggi yang disebut Puun. Rumah pemimpin adat ini, terpisah dari rumah warga dengan pekarangan rumput hijau dan dibelakang rumahnya adalah hutan larangan (maksudnya tidak untuk berladang).

Rumah kampung Baduy Dalam terbuat dari kayu dan daun lontar untuk atapnya. Dengan luas kurang lebih 100 m2, setiap rumah dibangun dengan cara gotong royong warga yang terdiri dari 20-25 orang. Suku Baduy tidak mengenal budaya menulis dan membaca. Menurut hukum adat, mereka tidak diperkenankan sekolah. Namun demikian mereka dapat menghitung. Pengetahuan itupun mereka peroleh pada saat berinteraksi dengan pendatang atau saat berkunjung ke desa dan kota. Oleh karena itu arsitektur rumah, ukurannya dibuat dengan mengira-ngira. Setiap kepala kelurga harus memiliki satu dapur sendiri. Apabila dalam satu rumah terdapat dua kepala keluarga maka harus dibuat dua dapur dan dua kamar. Mereka tidak diperkenankan memasak atau menyalakan api ditanah, sehingga dapur tetap berada diatas rumah panggung dengan ditaburi tanah terlebih dahulu agar tidak membakar alas rumah yang terbuat dari kayu. Hukum adat menyiratkan aturan untuk tidak mematikan api sebelum kayu bakar terbakar habis, meskipun masakan telah matang. Hal ini menarik, karena bagi para wanita berkewajiban memperhatikan si bungsu (sebutan bagi ujung kayu bakar yang telah lebih dari separuh terbakar) agar tidak melebihi kotak tanah dan membakar alas kayu rumah. Jika mereka lalai menjalankan kewajibannya, maka akan memicu kebakaran yang akan menimpa seluruh rumah warga.


Rumah warga hanya berjarak kurang lebih dua meter. Tidak ditemui paku dalam pembuatan rumah, mereka hanya menggunakan pasak dan serabut dari kayu yang berfungsi sebagai pengikat. Begitupun jembatan diatas kali kanekes, hanya menggunakan bambu atau batang pohon dan ikat tali tambang yang terbuat dari kayu berwarna hitam.

Jembatan tanpa menggunakan paku yang berada diluar Kawasan Baduy Dalam, daerah antara Kampung Cikartawana dan Kampung Cikeusik. Ditangan kanan Kang Jali menggenggam gelas dari potongan batang bambu. Gelas tersebut baru saja dibuatnya dengan memotongnya menggunakan sebilah golok yang selalu diselipkan dipinggangnya jika bepergian. Gelas dari bambu merupakan piranti dapur yang digunakan sehari-hari oleh suku Baduy Dalam. Bisa juga digunakan mangkuk atau piring yang terbuat dari keramik, selain dari bahan tersebut, maka tidak diperkenankan.
-Y-

Kamis, 12 Maret 2009

Pencerahan

Pada abad ke-18, istilah pencerahan atau illuminate / enlightenment pertama kali diperkenalkan oleh Immanuel Kant. Pada essaynya tertulis : “Answering the Question: What is Enlightenment?”. Definisi pencerahan menurut Kant dalam bahasa latin yaitu Sapere aude (dare to know). Dalam bahasa umum definisinya adalah ‘berani’ untuk mengemukakan penalaran yang baru, penalaran yang berbeda dari asumsi umum.

Penekanan pencerahan ada pada kata ‘berani’ yang wajib ditonjolkan untuk dapat mengungkapkan nalar –nalar (yang berbeda) pada orang lain. Karena kalau tidak berani untuk mengatakannya, maka pencerahan tersebut tidak akan berlari kemana-mana, hanya berhenti dikepala. Sehingga dapat dikatakan bahwa pencerahan adalah berani mengutarakan yang tidak sesuai dengan mainstream.

Nalar yang belum (atau tidak) matang biasanya ter-conserve pada satu dogmatis tanpa mencoba untuk berani menalarkan dogma tersebut atau disebut konservatif. Secara filosofis, konservatif berasal dari kata conserve (konservasi) dari suatu nilai, paham, dogma tertentu. Dalam hal ini maka pencerahan dapat juga diartikan untuk berani keluar dari nalar yang belum matang.

Meskipun illuminate sudah lama dikumandangkankan oleh para filsuf terdahulu, namun era ini baru dapat beredar bebas semenjak masa demokrasi berkiprah di Negara kita. Kebebasan dalam bentuk apapun, kebebasan subyektif maupun kebebasan obyektif. Kebebasan subyektif maksudnya kebebasan pada ranah internal pribadi atau dalam pikiran, misalnya kebebasan berimajinasi, kebebasan mengolah asa dan cita. Sedangkan kebebasan obyektif yaitu kebebasan yang ada didunia nyata, contohnya bebas untuk melakukan apapun seperti memukul, telanjang, berlari, bergerak dan semacamnya.

Namun kebebasan obyektif seseorang seringkali berbenturan dengan kebebasan obyektif orang lain. Misalnya si A merasa bebas untuk mengeruk Sumber daya di hutan Kalimantan, namun pada prakteknya si A akan berbenturan dengan suku Dayak yang juga merasa memiliki dan bebas memperlakukan hutan Kalimantan sebagai wilayah pemenuhan kebutuhan sehari-harinya. Atau masih banyak lagi contoh dimana kebebasan obyektif seringkali tidak dapat terpenuhi karena orang lain juga dapat memiliki kebebasan obyektif yang sama. Benturan antar rebutan akan pemenuhan masing-masing hak kebebasan obyektif ini, tak dipungkiri malah timbul gesekan yang akhirnya menjadi sebuah konflik.

Padahal di zaman reformasi ini, kebebasan obyektif menjadi salah satu pedoman dalam menjalankan roda demokrasi. Namun jika melihat side effect dari kebebasan obyektif (red-konflik) ini, maka lebih mungkin jika model kebebasan subyektif lebih kondusif. Atau lebih mungkin lagi jika memang ingin kebebasan obyektif yang dijalankan, namun tetap menyelipkan unsur tirani-demokrasi yang dianut Negara kita mengingat kebiasaan kita yang seringnya kebablasan dalam mengintepretasikan kebebasan demokrasi.

Bebas akan terus diperjuangkan, karena pada dasarnya manusia ingin hidup dengan bebas. Namun dalam menterjemahkan bebas ke dalam diri maka perlu paradigma (world view) yang menjadi patokan manusia agar dapat hidup damai dalam pencitraannya mewujudkan hakikat diri. Dalam hal ini skala preferensi harus menggunakan logika untuk menentukan keputusan yang akan diambil.

Dalam mengartikan hakikat hidup, biasanya akan berbeda pada tiap-tiap individu. Secara filsafat akan banyak aliran yang akan ditempuh untuk mendefinisikannya, dan pada akhirnya para pemikir akan sampai pada pencarian kebenaran dibalik dimensi hakikat manusia yaitu Sang Khalik. Walau kebenaran belum tentu dapat ditemukan titik temunya, dan meski tidak juga semua aliran filsafat mencari kebenaran akan hakikat sejati kebenaran ini. Namun pada perkembangan ketauhidan, terdapat dua macam ilmu dalam upaya mengimani ketauhidan akan Sang Pencipta. Pertama secara teologi yaitu bertauhid dengan cara mengimani wahyu yang diyakini bersumber dari-NYA. Dan yang kedua adalah secara filosofi dengan cara menalarkan ketauhidan. Bahwa Sang Akbar dapat dinalarkan. Dimana dalam nalar yang sehat terdapat Iman yang kuat. Karena menurut al-Farabi filsafat itu setara dengan wahyu, hanya saja wahyu zaman rasul, yang notabene rasul diyakini sebagian orang sudah tidak ada di abad ke-8, maka buah pikir para filsuf seperti ‘cogito ergo sum’ (saya berpikir maka saya ada)nya Rene Descartes merupakan sebuah wahyu masa kini untuk mengajak manusia memiliki pola berpikir nalar. Menalarkan keTuhanan.

Dalam suatu tulisan atau asumsi, wajar bila terjadi kesamaan dengan orang lain. Karena manusia biasanya belajar dari meniru. Kemudian wajar bila kemudian memiliki pemikiran yang sama. Namun dalam dunia akademis maka hal ini dapat dikatakan plagiat jika tidak mencantumkan nama sipenulis sebelumnya. Padahal logikanya, dunia yang sudah ribuan tahun ini eksis dihuni makhluk hidup, maka mungkin saja sesuatu yang di klaim sebagai karya pertama yang dipublikasi itu sudah ada sebelumnya. Tapi jika saja dunia akademis mau sepakat untuk tidak sepakat, mungkin saja logika ini dapat diterima, Wallahualam :)

-Y-

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...