Jumat, 10 Oktober 2008

Perkawinan dan Riyadhah

Perkawinan adalah sebuah institusi dalam memasuki dunia rumah tangga. Makna perkawinan banyak diidentikkan dengan suatu langkah legal yang menghalalkan hubungan seksual antara lelaki dan perempuan. Istilah yang lazim mengambil judul salah satu lagu penyanyi Spice Girl yaitu “two become one”, yang diartikan sebagai penyatuan dua insan melalui proses yang sakral dalam satu ikatan perkawinan.

Konsep penyatuan lelaki dan perempuan yang mengikuti aturan alam ini, ada baiknya kita telusuri maknanya. Dimulai dari konsep keseimbangan di yunani, era paganisme. Pagan yang berarti masyarakat pedesaan.

Sebelum kelahiran Yesus, telah terbentuk masyarakat pedesaan yang memiliki kepercayaan dengan menyembah dewa-dewi atau biasa disebut kaum pagan. Kaum pagan percaya bahwa segala dimensi hidup dapat selaras dan harmonis jika setiap pasangan suatu konsep tidak terganggu. Misalnya, kaum pagan menyembah Sang Dewa yang berarti lelaki dan sudah pasti memiliki pasangannya yaitu Sang Dewi yang berarti perempuan. Kedua pasangan dewa ini memiliki kekuatan dan kedudukan yang sama. Keduanya saling melengkapi keberadaannya. Contohnya, dewa kesuburan kaum pagan adalah Amon, oleh dunia simbologi biasanya tergambar dalam bentuk kambing dengan tanduk yang menjulang gagah. Sedangkan Dewi kesuburan biasa disebut Isis, atau Dewi Sri, Dewi padi. Pasangan dewa-dewi ini seperti Yin dan Yang, saling bertaut, berikatan dan saling melindungi.

Namun pada perkembangannya, ketika Vatikan mengambil alih peranan dalam dunia kepercayaan Kristiani setelah penyebaran agama yang dilakukan Yesus, banyak dilakukan propaganda untuk melemahkan dan melumpuhkan eksistensi perempuan karena adanya unsur politik dan kekuasaan. Pada akhirnya ketika doktrin itu menyebar luas, keseimbangan itu menjadi rusak. Harmoni tidak lagi berjalan, karena perempuan sudah tidak lagi dianggap setara dengan lelaki. Dan keadaan ini terus berlanjut dan menyebar hingga memasuki zaman kenabian Muhammad SAW. Perempuan menjadi manusia kelas dua didunia, yang pertama tentu saja lelaki.

Lebih dari 1200 tahun setelah Nabi Muhammad wafat, ketimpangan antara perempuan dan lelaki masih dapat dirasakan. Dan ini membawa dampak yang besar dalam sebuah perkawinan. Dimana peran lelaki dan perempuan memiliki porsi sendiri-sendiri. Dan kebanyakan menganut paham bahwa lelaki adalah pemimpin sebuah rumah tangga.

Inilah paham yang menggangu keharmonisan. Paham yang tidak mensejajarkan posisi dua insan dalam satu atap. Hal ini dapat memampatkan kebebasan berpikir dan menghambat produktifitas dipihak lain (baca-istri). Bahkan dalam urusan hubungan seksual pun biasanya ada salah satu pihak yang cenderung berlebihan sehingga melupakan hal-hal yang lebih krusial dalam hidup.

Padahal menurut sejarahnya, persetubuhan adalah penyatuan dua ruh yang menjembatani lelaki dan perempuan menuju Tuhan. Konsep bercinta adalah dengan tujuan untuk menyatu dengan Sang Pencipta. Bertemu dengan wujudNYA.

Pada tingkat spiritual yang tinggi, mereka percaya dengan bercinta pada titik puncak dalam berhubungan seks, mereka mengalami kekosongan pikiran selama setengah detik yang memungkinkan manusia melihat Tuhan melintas sesaaat. Pada saat ini, bagi mereka yang sudah mencapai derajat spiritual yang tinggi, moment ini digunakan untuk semakin menyatu dengan-NYA sehingga mereka mampu melihat wajah-NYA. Pada tradisi Yunani dikenal dengan Hieros Gamos artinya pernikahan suci, dimana orgasme dianggap sebagai doa.

Persiapan yang dilakukan menjelang prosesi hubungan seksual adalah dengan sepenuhnya berserah diri dan memusatkan segala kesadaran pada keberadaan-NYA. Sehingga hubungan seksual dianggap sebagai puncak dari perjalanan spiritual manusia semasa hidup untuk dapat menatap-NYA sebelum benar-benar kita melebur dengan-NYA ketika kita kembali pada-NYA.

Hal yang dilakukan para pasangan selibat yang dengan tujuan untuk meningkatkan religius eksitensi dalam hidupnya. Hubungan seksual akan dilakukan dengan perhitungan dan niat yang ditujukan hanya karena Sang Pengasih. Mengisi hidup dengan produktifitas, dan berusaha mengenali diri dan menyatu kepada-NYA. Menurut Al Ghazali, kenalilah dahulu diri sendiri maka kemudian manusia akan mampu menegenal Tuhan-NYA

Penganut paham aliran perkawinan selibat ini melakukan latihan kerohanian atau biasa disebut riyadhah dengan cara mengendalikan nafsu dan berusaha membersihkan hati agar dapat memiliki hati yang bening sehingga mampu menangkap cahaya Allah dikedalaman relung jiwanya. Seperti teori cerminnya Imam Ghazali, bahwa hati manusia ibarat cermin, sedangkan petunjuk Allah ibarat nur / cahaya. Maka jika manusia benar-benar memiliki hati yang bersih, niscaya manusia dapat menerima cahaya Allah dan memantulkannnya kesekitar.
Semoga hati kita senantiasa mendapat petunjuk-NYA.

-Y-

Rabu, 08 Oktober 2008

Esensi Sejarah



Sejarah memiliki kedalaman makna yang tak terhingga bagi perkembangan pemikiran dan pemahaman akan apapun. Sejarah dapat tertuang dalam simbol, peninggalan-peninggalan berupa catatan, tradisi dan doktrin-doktrin melalui sebuah perkumpulan atau institusi baik resmi maupun tidak resmi. Kemampuan kita memahami masa lalu sangat menentukan kemampuan kita memahami masa kini. Jadi bagaimana kita membedakan kebenaran dari kepercayaan? Bagaimana kita menulis sejarah kita, personal atau kultural untuk menemukan jati diri kita? Bagaimana kita menembus tahun, abad dari penyimpangan sejarah untuk menemukan kebenaran hakiki?

Mengurai kebenaran sejarah adalah suatu hal yang wajib bagi berbagai dunia pengetahuan, namun akan lain halnya jika sejarah yang coba diungkapkan adalah mengenai kebenaran suatu agama. Hal ini masih menjadi polemik, karena kaum fundamentalis dan tekstualis menganggap tabu jika kebenaran yang terungkap jauh dari intepretasi yang selama ini sudah dijabarkan dan mereka yakini berdasarkan teks-teks pakem. Namun bagaimana jika kebenaran akan fakta lama bahkan ribuan tahun lamanya kemudian muncul seiring dengan teori-teori pendukung, dimana keberadaannya dapat menggoyahkan eksistensi keyakinan yang sudah lama kita jalani?

Di era keterbukaan dan kemudahan akses akan informasi, sangat besar kontribusinya dalam memuaskan dahaga kaum progresif dan religius refusenik untuk mencari kebenaran. Karena bagi mereka, mengeksplorasi keragu-raguan dapat merangsang kepercayaan diri dan menyingkirkan agama dari ruang publik bukan saja tidak realistis tetapi juga tidak produktif.

Hingga saat ini kedudukan agama dan ilmu pengetahuan masih dipisahkan oleh sekat, ibarat memisahkan air dengan minyak maka hal ini akan sulit dilakukan. Agama menuntun kita untuk percaya dulu, jika terjadi ragu-ragu dan mulai berpikir maka kita harus mencari alasan-alasan pembenaran keragu-raguan untuk dapat kembali percaya.

Agama berbeda prosesnya dengan pengetahuan. Pengetahuan diawali dari perkembangan filsafat yang didasari atas keragu-raguan, pertanyaan-pertanyaan, adanya masalah yang muncul, adanya fenomena yang belum pernah dibahas. Kemudian semuanya diproses dengan cara berpikir dan mencari jawaban. Jika jawabannya sudah mampu membuang keragu-raguan, baru menyatakan yakin akan jawaban kebenaran yang didapat. Hasil berpikir tersebut disebut pengetahuan.

Sikap apologetik kaum fundamentalis nampaknya tidak sesuai dengan cara berpikir kaum progresif. Sikap kaum puritan tsb bahkan dapat memunculkan sikap untolerir terhadap terkuaknya suatu kebenaran baru. Pada akhirnya mereka akan semakin mengagungkan agama mereka dan menganggap bahwa hanya agama merekalah yang paling benar. Nampaknya fenomena ini mengakar dalam pada sebagian besar umat Islam di Indonesia seperti contoh FPI yang ngotot mengganyang Ahmadiyah.

Hal ini menimbulkan stigma bahwa umat muslim dianggap belum dewasa. Coba saja kita sedikit belajar pada saat umat Kristiani ketika menanggapi terbitnya novel The Da Vinci Code karya Dan Brown. Meskipun tertuang dalam bentuk novel yang sudah pasti tidak perlu dianggap benar isinya, namun dalam novel tsb menguak fakta-fakta yang dapat mengguncangkan eksistensi gereja dan ajarannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti kaum kristiani kemudian menghujat sang penulis dan melakukan somasi. Mereka mampu mentolerir dan berpikir kembali bahwa keyakinanlah yang terpenting. Terlepas apakah yang mereka yakini selama ini adalah salah jika dirunut fakta sejarahnya. Namun mereka tetap meyakini bahwa jika apa yang selama ini mereka yakini membuat mereka hidup lebih baik sebagai makhluk Tuhan, maka itulah yang mereka jalani.

Umat Kristen sudah mampu menerima kritik. Mereka dapat dengan tenang menjalani keyakinannya, meskipun banyak fakta yang menunjukkan bahwa Yesus bukanlah anak Tuhan. Namun bagi mereka Yesus adalah inspirasi umat manusia. Bahwa nilai-nilai kemanusiaan yang Yesus jalankan, dapat dijadikan panutan hidup manusia. Itu saja bukti yang sudah dibuktikan.

Bagaimana dengan Islam? Apakah Islam sudah siap jika Al-Quran dikritik? Atau apakah sudah benar fakta ke-empat mashab yang menjadi pedoman kaum salafi adalah yang terbaik? atau apakah gerakan sholat yang selama ini kita jalani sudah sesuai esensinya? Dan apakah bacaan-bacaan Quran yang kita coba baca dengan tartil itu sudah benar-benar kita pahami maknanya atau hanya sekedar mengejar pahala? Lalu bagaimana relevansinya antara syariat yang kita jalankan dengan pembentukan karakter mental kita? Berapa banyak dari sekian umat yang mampu membentuk generasi khalifah selanjutnya?

Padahal kritik datang karena kecintaan kita untuk mengoreksi yang telah ada. Kritik untuk mencari kebenaran hakiki yang relevan dengan zamannya. Meskipun pada akhirnya parameter kebenaran akan bermuara pada keyakinan diri sendiri.


-Y-

Pulau Onrust dan Gelar Haji

Diantara beberapa pulau-pulau kecil yang ada dikepulauan seribu, mungkin sebagian besar sudah banyak yang mengenal satu pulau yang bernama pulau Onrust. Pulau seluas 12 hektar yang hingga kini masih terdapat puing-puing bekas bangsal dan sejenis tempat karantina. Namun masih saja terlihat mempesona dan menarik bagi para pecinta pantai dan eksotis pulau karena letaknya dilepas pantai utara teluk Jakarta. Di pulau ini masih terlihat bangunan-bangunan peninggalan penjajah Belanda seperti benteng dan pelabuhan kuno.

Pulau Onrust merupakan pelabuhan VOC sebelum pindah ke pelabuhan Tanjung priok, Jakarta Utara. Pulau Onrust ini juga merupakan markas tentara penjajah Belanda sebelum masuk Jakarta dan mendudukinya. Di pulau inilah tentara Belanda melakukan aktivitas bongkar muat logistik perang.
Tahun 1920-an, Pulau Onrust juga menjadi asrama haji sebelum diberangkatkan ke Arab Saudi. Pada masa itu Indonesia masih dibawah kekuasaan Hindia Belanda. Pergerakan rakyat Indonesia dari tokoh panutan dan intelektual dianggap sebagai pemberontakan yang dapat merugikan pihak Belanda.

Belanda memanfaatkan tradisi islam Indonesia yang menganut paham wajib pergi haji ke Arab Saudi. Belanda melakukan propaganda dengan alih-alih untuk membantu menunaikan Rukun Islam tersebut dengan membantu biaya akomodasi bagi para intelektual dengan satu syarat.

Pada waktu itu, transportasi yang digunakan adalah kapal laut yang dapat memakan waktu perjalanan bolak-balik hingga empat bulan lamanya, sedangkan lamanya proses haji di mekah memakan waktu satu bulan. Untuk itu perlu untuk membangun tempat karantina calon haji di Pulau Onrust sebelum kapal-kapal mereka diberangkatkan dari pulau ini. Para calon haji di Pulau Onrust diadaptasikan dengan udara laut sebelum menuju ke Arab Saudi

Setelah selesai menunaikan ibadah haji, pihak Belanda mengajukan syarata yaitu mereka harus menerima label bersertifikat, dengan gelar ‘Haji’. Hal ini merupakan kebanggaan karena tidaklah mudah pergi haji dan tidak sedikit jika harus mengeluarkan biaya sendiri. Gelar haji ini digunakan sebagai gelar panggilan dan menjadi penanda bahwa seseorang telah selesai menunaikan rukun Islam yang ke-5.

Namun dibalik labelisasi ini, sebenarnya Belanda memiliki maksud untuk menandai pemberontak yang telah dibiayainya ini. Belanda mengamati orang-orang yang berlabel haji ini, karena ketika mereka pergi haji dan mengetahui dunia luar, mereka mengalami perkembangan pemikiran yang menyebabkan mereka menjadi pemberontak.

Contoh tokoh-tokoh pergerakan yang mudah terdeteksi oleh Belanda misalnya Kyai Mojo dan K.H. Agus Salim. Mereka dibiayai dan diberangkatkan ke Mekah agar mudah terpantau keberadaannya. Karena tidak banyak yang sudah berhaji dan dimanapun mereka berada maka masyarakat tetap menjuluki dengan gelar ‘Haji’ ini, sehingga mudah bagi Belanda untuk mendeteksi lokasi sang pemberontak.

Sayangnya hingga kini, masyarakat kita masih banyak yang begitu bangganya dengan gelar ‘Haji’ ini, terlepas dari pengetahuan akan asal muasal gelar ini muncul dipermukaan bumi Indonesia. Bahkan dijadikan titel resmi sekaligus ‘plakat tingkat keimanan dan kekayaan seseorang’ yang bisa sangat besar kemungkinan rianya pada struktur sosial kita. Dan ironisnya, gelar dan kebanggaan haji ini hanya ada di Indonesia :)

Belajar Menari dengan Legowo

Saya sedang belajar menari. Dengan belajar menari, saya dapat merasakan bahagia, menikmati raga yang sehat, dan rupanya satu hal lagi yang s...